Oleh: Nurhidayat*
Pintu besi baru saja terinstal pada sudut presisi
Penuh kalkulasi, semua dikerjakan tukang las terakreditasi
Pak tua yang sudah seharusnya dikremasi
justru mencaci hasil produksi
Kala menyiapkan lidah untuk mengkritisi
Dadanya sesak terisi frustasi
Pergulatan sengit dalam isi pangkal uban,
meski tak ada serapah tumpah
Si Bangka protes perihal warna terlalu cerah
“Warnanya terlalu menyala. Tak seperti besi tua,” keluhnya
dengan sisa nafas orang tua yang payah
Mata pengelas mencelik,
persis penis anak SD belum disunat yang dimain-mainkan
Urat-urat merah di bagian putih mata mencekik
orang tua yang renta beruban
Si pengelas enggan merevisi,
dia hanya mau membuat yang terlihat gres
Pengelas yang idealis berpikir dua menit lalu
membuyarkan stres
“Kakek tunggu saja sewindu,
pasti pintunya sudah sesuai pesananmu.”
Kakek tua pilu tanpa tepi
Pintu mengkreasi sendu sore tadi
Dia hanya menunggu.
Memuatluarkan kesabaran secara maksimalis
“Sang pengelas hanya berpikir bisnis,” gumamnya sinis
dia tua seorang diri sederhana nan lugu
hanya hidup dengan menjual kelapa dari gelugu di buritan
Ada dua puluh tujuh gelugu dan rata-rata berbuah sebelas
Dan, untuk membuat pintu besi yang itu,
dia harus menebang satu kesayangan
Dan dia sudah bernazar untuk tidak lagi pada sembilu
Anaknya yang semata wayang akan datang suatu saat,
dan mewarisi rumah beserta gelugu-gelugunya yang menjulang
Siapa tahu
Dan
Sewindu kemudian, anaknya pulang
Membawa mobil ceper warna merah
Dan menangislah dia melihat pintu besi yang terpalang
Besi tua yang karatan menyedihkan sudah menyerah
*Nurhidayat, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2015,
menulis beberapa puisi, cerita, dan esai pendek.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Sastra.