Oleh: Vicky Nurul Islamiyah
Aku berdiri di depan pintu ruang kerja bapak. Tangan kananku berusaha meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Seketika itu, hawa pengap bercampur debu menyergap penciumanku. Langit-langit mulai dipenuhi jaring laba-laba. Beberapa hewan kecil tersangkut di dalamnya. Maklum saja, semenjak bapak dibawa pergi ke “tempat” itu, ruangan ini dikunci rapat oleh ibu. Seakan ibu ingin menutup semua kenangan buruk yang menimpa bapak.
Di sudut ruangan dekat jendela, sebuah lukisan berukuran 80×40 cm tergeletak di lantai. Lukisan itu tampak usang. Kayu yang membingkainya tampak berbahan dasar kayu jati asli. Hanya saja, kaca yang menutupi bagian depan lukisan itu tinggal separo.
Aku berjongkok dan mengambil lukisan itu. Memoriku kembali terbang mengenang kejadian demi kejadian yang membuat bapak terpuruk karena lukisan yang kini berada di tanganku.
Bapak selalu berapi-api ketika mengisahkan objek dalam lukisan ini. Dulu, sebelum bapak menceritakan semua perihal tentang lukisan ini, aku tak pernah tertarik dengannya. Aku tak mengenal siapa objek dalam lukisan ini. Pelukisnya pun tak terkenal, bukan Affandi, Basuki Abdullah, atau Henk Ngantung. Di pojok kanan bawah lukisan, tertera sebuah nama beserta tahun pembuatan.
“Soekarni, 1942,” aku mencoba mengejanya.
“Siapa Soekarni itu Pak?” tanyaku pada bapak di suatu sore yang cerah. Ketika itu usiaku baru menginjak 15 tahun.
“Sekar, Giri, sini Nak! Bapak ingin bercerita kepada kalian berdua,” panggil bapak kepadaku dan Mas Giri. Mas Giri adalah kakak laki-lakiku satu-satunya dari istri pertama bapak. Bapak menceraikan ibu Mas Giri sebulan sebelum menikah dengan ibu. Usiaku dan Mas Giri selisih lima tahun.
“Ya Pak,” aku dan Mas Giri menyahut serempak. Kami berdua duduk di sofa ruangan ini. Bapak berdiri di hadapan kami. Bapak bercerita sambil memandangi lukisan tanpa bingkai yang tergantung di dinding belakang meja kerjanya.
“Soekarni itu Mbah Kakung bapak. Jadi, Soekarni itu mbah buyut kalian. Mbah Karni lah yang membuat lukisan ini. Mbah Karni melukisnya pada tahun 1942, saat Indonesia mulai dijajah Jepang. Lukisan ini dibuat setelah Mbah Karni melakukan topo geni di sebuah gua selama 40 hari. Setelah lukisan ini selesai digarap, Mbah Karni melakukan transfer aura magis ke lukisan ini,” terang bapak.
“Lukisan ini selanjutnya diwariskan secara turun-temurun dan dijadikan jimat. Dulu, Mbah kakung kalian dipercaya menjadi lurah di desa ini berkat lukisan ini juga. Lukisan ini bisa mendatangkan kesuksesan bagi pemiliknya. Jika pemiliknya seorang pemimpin, maka ia akan semakin kuat dalam menguasai rakyatnya,” jelas bapak penuh semangat.
“Kalau objek lukisan ini, namanya Bima.”
“Kalian tahu pandawa dalam tokoh pewayangan?” tanya bapak kepada kami.
“Bima itu salah satu anggota pandawa yang kuat, gagah berani, dan berhati teguh. Bima bersifat kasar, tetapi sebenarnya Bima itu berhati lembut. Ia bersifat kasar supaya musuh-musuhnya takut padanya. Mbah Karni memilih Bima sebagai objek lukisannya karena ia ingin seperti Bima, kuat dan berani melawan penjajah,” jelas bapak.
“Bima itu tokoh favorit Presiden Soekarno. Presiden Soekarno sering menggunakan nama Bima sebagai nama samaran dalam beberapa tulisannya,” kini giliran Mas Giri yang bercerita. Mas Giri memang penggemar berat Presiden Soekarno. Ia melahap habis buku-buku tentang Soekarno.
“Betul sekali apa yang dikatakan kang mas mu barusan, Sekar,” bapak mengamini perkataan Mas Giri. “Satu hal yang perlu kalian ingat anak-anakku, jangan pernah coba-coba untuk menyentuh apalagi memindahkan lukisan ini tanpa seizin Bapak!”
“Memang kenapa Pak?” tanya Mas Giri.
“Itu namanya pantangan, Giri! Kekuatan lukisan itu akan berkurang jika dipegang selain pemiliknya. Bahkan hilang.”
***
Ponsel di kantongku bergetar. Sejenak membuyarkan ingatanku tentang bapak dan lukisan Bima yang cukup membuat bulu kudukku berdiri. “Ah sial, ternyata SMS dari provider,” gumamku lirih. Aku masukkan lagi ponselku ke dalam saku. Aku kembali memandangi lukisan Bima dan pelan-pelan melepaskan bingkai dari lukisannya. Aku memang sengaja masuk ke ruang kerja bapak untuk membersihkan lukisan ini. Aku tak ingin lukisan kesayangan bapak merana seperti kondisi bapak sekarang.
Hingga detik ini–usiaku sudah memasuki 25 tahun, aku masih heran dan tidak pernah paham dengan pemikiran bapak. Hampir tiap bulan bapak gonta-ganti smart phone , bolak-balik luar negeri, update status di berbagai media sosial, tetapi masih saja bapak percaya dengan mitos macam itu. Bapak selalu percaya bahwa Bima lah yang membuatnya dapat bertahan menjabat kepala desa selama dua periode.
Aku ingat betul pada saat bapak terpilih menjadi kepala desa untuk yang pertama kali, bapak menang mutlak karena semua warga desa mendukungnya. Hal itu terjadi karena warga desa merasa berhutang budi kepada Mbah kakung, ayah dari bapak. Konon, Mbah kakung telah berhasil memajukan desa ini. Ketika Mbah kakung wafat, warga desa sepakat memilih bapak sebagai penggantinya. Warga berharap bapak bisa meneruskan perjuangan Mbah kakung. Tapi, tetap saja bapak menganggap Bima yang telah membuat warga memilih dirinya menjadi kepala desa.
Lima tahun kemudian bapak kembali maju dalam pemilihan kepala desa. Awalnya beredar rumor kalau bapak akan bertarung melawan kotak kosong karena tidak ada satu pun warga desa yang ingin bersaing dengan bapak. Tentu saja rumor ini membuat panas kuping bapak yang terkenal gengsi. Akhirnya, bapak membayar seorang warga untuk menjadi saingannya di pemilihan kepala desa. Dengan syarat orang itu harus tutup mulut dan pihaknya bersedia kalah. Akhirnya bapak berhasil menang.
“Karena lukisan itulah aku seakan menjadi Bima sehingga ditakuti oleh musuh-musuhku!” ucap bapak ketika itu penuh keangkuhan.
***
“Aow !!” aku setengah menjerit, meringis, menahan sakit. Kali ini tak sengaja jari telunjukku tergores potongan kaca lukisan ini. Jariku terluka ketika aku berusaha memasukkan bingkai yang rusak dan potongan kaca lukisan ke dalam plastik hitam. Kuisap darah dari jari telunjukku dan meludahkannya ke luar jendela.
“Luka di jari telunjukku pasti tak sebanding dengan penderitaan bapak dua bulan yang lalu,” batinku dalam hati. Ah, aku kembali teringat kejadian itu. Tahun ini tepat satu tahun bapak lengser dari jabatan kepala desa. Tiba-tiba pada awal tahun, rekan bapak dari salah satu partai politik ternama di negeri ini mengusung bapak menjadi bupati. Haji Wagimun, petani kaya desa sebelah menjadi wakil bupatinya.
Awalnya bapak merasa tidak percaya diri, tetapi atas desakan rekannya bapak pun siap maju dalam pilkada. Apalagi bapak merasa aman karena ada lukisan Bima. Setiap akan memulai pertemuan, menyusun strategi kampanye, hingga debat terbuka antar calon bupati dan wakil bupati, bapak terlebih dahulu merenung di depan lukisan Bima. Mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Bapak seperti memiliki hubungan spiritual magis dengan lukisan Bima.
Setelah pencoblosan, bapak jarang di rumah. Bapak sibuk dengan hasil suaranya. Bapak digadang-gadang menjadi pemenang dalam pilkada kali ini. Bapak terlihat yakin kalau ia akan menjadi orang nomor satu di kabupaten ini. Akan tetapi, takdir berkata lain. Hasil akhir penghitungan suara menunjukkan bahwa bapak berada di urutan kedua dari lima calon bupati-wakil bupati.
Barulah setelah pengumuman penetapan bupati-wakil bupati yang baru, bapak pulang ke rumah. Bukan wajah semringah dan langkah gagah yang kami lihat. Bapak terlihat seperti orang mendem , rambutnya berantakan, matanya merah, dan jalannya sempoyongan. Ibu berlari kecil ke arah bapak. Aku membuntutinya dari belakang.
“Bagaimana Pak hasilnya?” tanya ibu.
“ Aaaarg, aku kalah. Siaaal!! Bisa-bisanya aku kalah,” teriak bapak. Kursi di depannya melayang karena ditendangnya. Bapak mengamuk sejadi-jadinya.
“Sabar Pak, istigfar,” seru ibu sambil mengelus dada suaminya. Air mata ibu mengalir deras. Bapak masuk ke ruang kerjanya. Dari dalam kamar bapak berteriak. Suaranya menggelegar, mengagetkan kami yang ada di ruang tengah.
“Ada apa lagi Pak?“ tanya ibu sambil terus menangis.
“Siapa yang berani kurang ajar menyentuh dan memindahkan Bima?” teriak bapak sambil mengarahkan jari telunjukknya ke arah lukisan itu. Lukisan Bima yang sejak dulu selalu berada di belakang meja kerja bapak, kini terpasang di dekat jendela. Lukisan itu tampak lebih terawat. Ada bingkai dari kayu jati menghiasi lukisan usang itu.
“Saya, pak,” jawab sebuah suara yang terdengar parau dari arah pintu ruang kerja bapak. “Saya ingin memberi kejutan kepada Bapak. Bukankah lukisan itu tampak lebih indah Pak?” tanya Mas Giri.
“Kurang ajar! Anak tak tahu tata krama kamu ya. Sudah kubilang jangan ada yang berani menyentuhnya tanpa seizinku!” bentak bapak. Bapak mengambil lukisan itu dan membantingnya. Lukisan itu pun jatuh dan separuh kacanya pecah berkeping-keping. Mas Giri hanya tertunduk pasrah. Aku merangkul ibu yang tak henti-hentinya menangis.
***
“Yeeah, akhirnya aku berhasil membuat lukisan ini kembali seperti semula. Lukisan dari kanvas kuno tanpa bingkai,” seruku dalam hati. Aku memasang kembali lukisan Bima di belakang meja kerja bapak. Aku memandangi lukisan itu lekat-lekat. Bima yang kulihat kini tak segagah dulu. Bima seperti sedang gelisah karena ditinggal majikannya.
Semenjak kekalahannya dalam pilkada, bapak hanya diam dan mengurung diri dalam kamar. Aku sering melihat bapak tiba-tiba tersenyum sendiri, tiba-tiba menangis sejadi-jadinya. Bapak sering berbicara sendiri. Aku dan ibu hanya bisa pasrah.
Sampai suatu hari bapak berteriak-teriak penuh semangat seakan sedang berkampanye. “Pilih saya sebagai bupati kalian! Jika saya terpilih seluruh biaya pendidikan dan kesehatan gratis,” seru bapak sambil tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian bapak menangis, meronta-ronta.
“Uangku amblas!! Oh, utangku delapan miliar.”
“Oh, Bima tolong aku!”
“Semua gara-gara kamu anak tak tahu diuntung!” bapak menunjuk Mas Giri dengan mata melotot. Ibu hanya bisa menangis dan memintaku menenangkan bapak.
“Kasihan bapak, bukan kedudukan bupati yang ia dapat, tapi malah bapak terlilit utang. Aku tahu utang itu sebagian besar digunakan untuk membiayai pilkada. Mulai proses saat pencalonan, ‘politik uang’ saat kampanye, sampai ‘pengamanan’ suara saat pencoblosan,” batinku kala itu.
Tiba-tiba bapak lari ke dapur mengambil tali dadung dan kursi. Bapak membawanya ke bawah pohon beringin di halaman rumah.
“Istigfar, Pak!! Eling ,” ibu menangis sesenggukan sambil menarik tangan bapak yang berusaha ingin gantung diri.
Mas Giri yang duduk di sampingku merogoh kunci mobil dalam saku celananya dan bergegas mengambil mobil. Mobil Mas Giri berhenti di depan bapak dan ibu. Mas Giri memegang tangan bapak, menali dengan dadung yang dipegang bapak. Bapak meronta sambil memaki-maki Mas Giri. Mas Giri yang bertubuh lebih besar terlihat sedikit kerepotan memasukkan bapak dalam mobil.
“Mau dibawa ke mana bapakmu, Giri?” tanya ibu berteriak.
“Bapak sudah gila Bu. Dia hanya akan merepotkan dan membuat malu keluarga. Aku akan memasukkannya ke rumah sakit yang tepat untuknya,” jawab Mas Giri. Mobil itu melaju kencang. Aku dan ibu hanya bisa menangisi kepergian bapak. Tubuh ibu lemas dan akhirnya jatuh pingsan.
Andai saja bapak jujur dalam pilkada, semua ini tidak akan terjadi. Andai saja bapak tidak terjebak pada mitos lukisan itu, bapak akan tetap di sini bersama kami. Tapi bagi ibu, semua kesalahan disebabkan oleh ulah Mas Giri.
***
Setelah berlama-lama bernostalgia dengan lukisan Bima, aku pun kembali mengunci pintu ruang kerja bapak. Dari arah pintu utama terdengar ada orang mengetuk pintu. Aku pun bergegas membuka pintu.
“Haji Wagimun?” sapaku kepada mantan pasangan bapak dalam pilkada.
“Boleh aku meminta waktumu sebentar, Sekar?” pinta Haji Wagimun.
“Ya, tentu saja,” jawabku mantap.
Sore ini aku berbincang-bincang dengan Haji Wagimun di balai-balai. Baru saja aku mendapat kabar dari beliau kalau ternyata Mas Giri adalah tim sukses lawan terkuat bapak.
***
Klaten, 1 November 2015
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.