Memajang Nini

Oleh: Muhammad Qadhafi
Ilustrasi: Ari Mai Masturoh

Ini malam bukan purnama. Tiada perayaan panen. Sedang di hadapan nyala neon museum, mata kantuk penonton bayaran, serta handycam pelancong yang berkedip merah—Nini tanpa kaki itu dipaksa menari.

“Mengapa dipegangi begitu?” tanya George lirih, sambil pasang perekam pada tripod yang berdiri dua langkah dari batas teritorial menari Nini.

Seorang pemandu bernama Dendi menerangkan, “Kalau tak dipegang, dia bisa kabur. Terbang, Mister.”

“Terbang? Oh, itu akan jadi video menggemparkan!”

“Ya. Tapi kalau terbang, tentu dia tidak menari.”

“Tapi sekarang dia tidak terbang, tidak juga menari. Hanya gemetaran begitu.”

Hampir lima belas menit berlalu. Gejog Lesung sudah tumbuk tiga lagu. Syair-syair tembang yang disukai Nini pun telah terlantun. Tapi, Nini masih enggan menari. Yang berjoget hanyalah para Unthul—empat lelaki yang bertopeng putih, tanpa alas kaki, mengitari Nini sambil melenggok sekenanya.

“Anda tidak sedang menipu kami, bukan?”

“Tidak biasanya begini, Mister. Sebentar.”

Pemandu yang notabene pelopor dan pengelola kampung wisata itu merayap jauh ke belakang, menghampiri asisten pawang, lalu berbisik, “Cip, sepertinya ada yang janggal. Kenapa Nini ndak nari-nari? Bule itu komplain. Lakukan sesuatu. Nanti kutambah jatahmu.”

Cipta, asisten pawang dadakan yang minim pengalaman mistis namun pernah dua kali pentas ketoprak itu, tergerak oleh hembusan udara komersial yang merayu telinganya. Ia berdiri, langkahi sesaji. Kemudian meraunglah ia hingga kerumunan terbelah, membentuk lintasan menuju Nini yang dipengangi tiga wanita bermata lelah itu.

George buru-buru arahkan perekam: Cipta hampiri Nini dengan mata berapi-api. Angin membuat rambut gondrong pemuda berbelangkon itu melecuti pundaknya sendiri. Otot-otot lehernya menggelembung. Kedua telapak tangannya menghadap Nini, merentang, mengencang, dan guncang. Seolah jari-jari itu menjulurkan benang-benang kasat mata ke lengan, dahi, dan pinggul Nini. Ia pertontonkan betapa susah payah dirinya mengendalikan Nini supaya tergerak, menari.

Pada saat Dendi mengendap-endap kembali ke tempat bersila para pelancong, polusi akustik meletup lagi dari mulut Cipta yang sedang sariawan, “Melenggoklah Nini!”

Sekejap setelah seruannya tak digubris, tiba-tiba Cipta seperti tersedot ke arah Nini. Langkahnya terseret-seret, sampai tikar kumbuh di bawah tapak kakinya amburadul.

Tiba di sepetak karpet merah tempat Nini dipegangi, Cipta berbisik kepada salah seorang pemegang Nini, “Yu, cepat goyang-goyangkan pinggul Nini. Bikin nari.”

“Ndak bisa gerak, Mas. Kram,” jawabnya tersendat-sendat.

“Semprul!”

Cipta yang dapat sedikit bocoran dari pawang Jaya—bahwa Nini tidak suka dipegang laki-laki—segera raih pinggul Nini lalu ludahi muka yang diliputi bedak itu tiga kali, “CUIH! CUIH! CUIH!”

Seorang bocah menepuk temannya sambil tunjuk-tunjuk, “Bangun, bangun. Hantunya keluar tuh! Keluar kepala Nini! Buruan lihat, kayak asap!”

Bocah yang tersentak dari tidurnya menimpali, “Males ah. Paling kamu ngibul lagi,” lalu ia menyelinap ke dalam sarung.

Sementara seorang bocah terpukau penampakan hantu–yang sesungguhnya berasal dari kepulan asap keretek pemain Gejog Lesung yang kecapekan–para wanita pemegang Nini perlahan sembuh kramnya. Mereka sudah bisa mengangkat-turunkan, menggoyang-goyangkan tubuh Nini dengan enteng. Maka, terlihatlah Nini yang make-upnya luntur karena ludah itu—terayun-ayun lengannya, seperti menari-nari. Bersamaan dengan mulai menarinya Nini, Cipta mundur dua langkah dan meraung lagi–mungkin karena liang sariawannya tertusuk ujung gigi sendiri. Adalah penyaruan rasa malu yang mengagetkan lagi menyakitkan. Sekonyong-konyong ia mementalkan diri dengan setengah salto yang ceroboh. Cukup pantas jika lantas ia tergelincir. Bergulung- gulung. Punggungnya menggilas batu sebesar manggis yang dirahasiakan oleh tikar kumbuh. Cipta kejang-kejang. Beberapa petani serabutan yang jadi penonton bayaran malah tepuk tangan dan bersorak riang. “Tarung! Tarung! Tarung!” Rupanya mereka telah sepakat kalau kejang- kejang semacam itu mengisyaratkan perkelahian sengit antara manusia melawan makhluk halus.

George menggerutu, “Ou, epilepsy!”

Gejog Lesung kian beringas temponya. Jogetan Unthul lebih awur-awuran dari sebelumnya. Sedangkan para penembang yang kering tenggorokan pun terpaksa menyesuaikan, suaranya kocar-kacir, naik-turun. Akibatnya, kantuk penonton sembuh. Begitu juga si bocah kepompong, lantas keluar sarung. Selang tujuh menit yang berdebu, setelah capek kejang-kejang, Cipta bangkit. Ngos-ngosan. Ia kenakan belangkonnya yang sempat copot.

“Huh, kalah tua, kalah awu. Tapi, untung ndak kalah ilmu!” Ia tepuk-tepuk baju hitamnya yang gelepot debu, kemudian mengumumkan, “lihat saudara-saudara, Nini mulai energik menari!”

George beserta pelancong rambut karat lain—terbujuk kembali memusatkan perhatian kepada Nini. Sebentar mereka amati. Lalu George lempar rasa herannya,

“Bukankah dia tidak menari ? Dia digoyang-goyang orang!”

“Ngawur!” sela bocah pembual yang pindah duduk dekat bule-bule karena pengin lihat handycam.

“Terbang aja bisa, apalagi cuma nari.”

George terperangah. Ia selalu anggap seorang bocah adalah lidah keluguan, kejujuran.

“Malah bengong,” si bocah cekikikan sambil jinjit mengamati pertunjukan dari layar handycam. “Bilang sama Nini itu: Nini. Nini. Anakmu tak culik. Tak umpetne neng nduwur uwit. Golekana! Golekana! Tiga kali. Aku pernah iseng bilang gitu waktu dolanan. Terus Nini terbang, nyari anaknya.”

Buru-buru George keluarkan kertas dan pena dari tas pinggang, “Tulis di sini, please.”

Selesai tulis dan memberikannya kepada George, si bocah bilang, “Nih, bule kere! TVmu jelek. Layarnya kecil!” Kemudian ia lari terbahak, balik ke duduknya semula.

Sementara di panggung yang tanpa level, di sebelah para pemegang Nini bersimpuh, Cipta terlihat komat-kamit. Ia angkat dan mainkan kedua tangannya. Seperti seorang dirigen. Dan memang demikian. Dalam kitaran para Unthul, tubuh Nini menari-nari menuruti ayunan tangan kaku Cipta: berputar lambat, sedang, cepat, semakin cepat, dan henti mendadak. Begitu juga tembang dan Gejog Lesung, irama dan temponya dalam kendali tangan kosong dirigen dadakan itu.

Untuk kedua kalinya, si dirigen mainkan komposisi ayunan tangan yang monoton, dan, “hop!” lagi-lagi laju tangannya direm mendadak. Seperti yang ia harapkan, Nini pun berhenti menari mendadak.

Tangan ia ayunkan kembali. Tapi kali ini Nini sekadar gemetar. Sebentar Cipta komat-kamit, kemudian berlagak dirigen lagi. Nini membangkang, tetap bergeming. Para Unthul, penggejog lesung, dan penembang pun kikuk jadinya.

Cipta lirik para wanita pemegang Nini yang mandi keringat seperti kuli. Ia membatin:

Duh, abang-ireng semua mukanya. Mereka capek. Aku juga capek. Seminggu ini harus layani request tiga rombongan yang datang giliran, yang semua nanggap Nini. Dari dua rombongan awal saja sudah nguras banyak tenaga. Yang pertama, bikin Yu Ipeh semaput pegangi Nini. Yang kedua, Nini ngamuk njedot bibirku, sampai jadi sariawan begini. Jangan-jangan ruh Nini masuk lagi? Duh, mana Eyang Jaya yang waktu itu kerepotan redam amuk Nini, sekarang minta libur, refreshing. Dan aku yang baru sebulan di sini—diserahi Pakde Dendi gantikan tugas Eyang Jaya. Hanya karena aku ponakannya, dan bisa acting. Semprul.”

“Waktunya dolanan,” bisik Dendi yang maju menepuk pundak Cipta.

“Tapi sepertinya ruh Nini masuk lagi, Pakde.”

“Ya malah bagus. Ruh Nini kan memang suka dikasih pertanyaan. Dia mesti njawab.”


Cipta mengangguk tak yakin. Kemudian berkata kepada pengunjung, “Saudara-saudara, selain menari, Nini ini juga bisa menjawab pertanyaan maupun perintah Saudara, apa pun. Yang ingin mengujinya, silakan kemari, monggo.”

“Saya!” George tawarkan diri. Sebelum maju, ia mohon kepada rekannya, “Roslav, rekam momen saya ini baik-baik, please.”

“Mister, sembunyikan koin ini di salah satu genggaman Anda, lalu mintalah Nini menebaknya,” kata Dendi sambil memberi George sekeping uang logam.

Thanks.” George terima dan masukkan koin itu ke saku celana.

Melangkah George ke karpet merah. Sampai di hadapan Nini, George keluarkan kertas dari kantong celana. Ia baca keras-keras, terbata: “Nini. Nini. Anakmu tak culik. Tak umpetne neng nduwur uwit. Golekana! Golekana!”

Baru dibacakan sekali tapi sudah bereaksi. Ketiga pemegang Nini kontan terangkat dari duduk mereka. Tersentak oleh tenaga Nini yang berontak. Tangan mereka lengket di badan Nini. Lalu terseret. Menuju George.

Nini mematuki George. George menangkis dengan kedua lengannya. Penonton bangkit. Penasaran campur panik. Si bocah pembual tertawa riang. Cipta berusaha menahan amuk Nini, hidungnya mimisan kena sikut salah seorang pemegang Nini. Tapi ia sempat mendaratkan sentuhan dengan efek kejut yang dramatis, ke bokong Nini. Dan lepaslah pegangan ketiga perempuan dari tubuh Nini—jatuh dan menghisap debu.

Nini, memedi sawah yang didandani serupa manusia itu gerak sendiri. Beberapa kamera handphone beringas memberondongkan blitz. Nini melompat, melaju seperti banteng, menyeruduk handycam George yang berkedip merah itu. Kemudian terbang ke pohon, ke beberapa atap rumah penduduk. Menjauh. Berangsur hilang—menyusul sawah-sawah, padi, kerbau, bajak, dan keluguan yang lebih dulu hilang dari tanah kelahiran Nini.

Gejog Lesung, tembang, dan joget unthul disudahi. Cipta serta para pemain, baik yang terluka maupun yang baik-baik saja—naik ke teras museum, menundukkan kepala, memberikan salam penuntas pentas. Para penonton bayaran bertepuk tangan.

Dendi tersenyum. George dan bule-bule lainnya puas, meskipun perekam mereka rusak.

Ini malam bukan purnama. Tiada perayaan panen. Tiada lagi Nini menari. Ruh desa ini telah pergi. Yang tertinggal hanyalah tubuh-tubuh masa lalu—terpajang beku dan berdebu—di bawah neon museum.

***

Jogja, April-Mei 2015

 

 

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *