Judul Penulis Muda

Oleh: Nurhidayat*
Ilustrasi: Reza Yahya

Awalnya dia bercita-cita jadi wartawan, namun karena gajinya kecil dan dia tentu sudah membaca kasus Udin, dia ngeri juga. Lalu setelah jadi sarjana sastra, dia ingin menjadi penulis saja. Harapannya, dia bisa mengkritik masyarakat dengan tulisan-tulisannya. Penulis lebih aman lah, ingat bahwa wartawan yang kritis bisa jadi akan dibunuh seperti Udin. Konon, wartawan Jogja itu kena batangan besi di bagian kepala. Tapi sungguh, dia ingin jadi wartawan. Ketika dia bertemu seorang wartawan, apalagi wartawan yang independen, dia selalu menyorongkan proposal tanda tangan. Wartawan adalah profesi paling mulia, karena bekerja dalam senyap untuk mengungkap tabir. Tentu bukan yang malah suka jualan iklan.

Dan dia kini mulai akan menulis, tepat seminggu sejak euforia kelulusan. Dia harus dekat dengan cita-cita, maka dia segera saja mengawali debutnya. Ada ribuan ide yang menghantui jarinya. Ribuan yang lain adalah ketakutan akan ide itu sendiri. Dia yakin bisa menuliskannya dengan cepat. Namun, dengan cepat pula niat mengetik itu diredam kekhawatiran. Dia takut apa yang pertama dia tulis akan menjadi cap sejati dan abadinya. Makanya dia benar-benar memilih frasa pertama dari jenis tulisan yang sudah dia tentukan: cerpen. Dari ratusan buku yang dia baca, dari yang paling barat sampai yang paling timur, dari paling merah sampai yang paling hitam, atau paling putih, dari yang kiri, kiri tengah, kanan tengah, sampai yang paling kanan. Sudah khatam semuanya. Tak ada yang belum dibaca. Seminggu dia khatam dua setengah buku sejak lulus SMA, dan kini dia sudah sarjana. Hitung sendiri berapa buku yang sudah dia makan?

Jika dia seorang penulis senior, atau penulis yang hidup di zaman susah, maka dia hanya perlu ide dan atau keberanian. Jika dia seorang penulis karena dia seorang pengembara, maka dia hanya perlu menulis untuk menggambarkan perjalanan, dengan sedikit dramatisasi. Jika dia adalah penulis yang lahir dari orang kaya atau keturunan bangsawan, dia cukup saja menulis dan semuanya akan baik-baik saja, karyanya tidak akan dilupakan orang. Jika dia adalah penulis yang dibayar oleh orde baru, dia cukup menulis apa saja yang disiarkan TVRI dan buku-buku departemen. Selesai sudah dan dia akan hidup dengan layak.

Yang jadi masalah adalah sebaliknya. Dia hidup di era semua orang sudah bisa menulis. Semuanya ingin bisa menulis hingga ada grup Facebook yang isinya ratusan ribu orang milik suami seorang penulis wanita. Dia, penulis yang tulisannya jelek itu. Oh ya, jika dia penulis yang semacam Dia, maka dia cukup menulis dan dia akan dielukan oleh penghuni grup Facebook Komunitas Bisnis Menulis. Semuanya aman. Yang tidak aman hanyalah penulis yang satu ini.

Ilustrasi: Reza Yahya

Ketika dia ingin menulis tentang sejarah, maka dia bukanlah orang yang benar-benar mengerti sejarah. Mungkin tahu, tapi dia tahu kalau sejarah tak boleh diluruskan. Ketika dia bercerita berdasarkan buku plat merah, dikiranya antek rezim, dia ogah disebut dengan itu. Ketika dia ingin bercerita dengan dasar buku-buku alternatif, maka ia akan dianggap makar. Jika menulis berdasarkan napas Islam, maka ia akan banyak cabang tuduhan: liberal; Syiah; Wahabi; radikal. Jika dia menulis dengan napas Kristiani maka dia akan disebut misionaris. Dan jika dia menulis dengan mencampurkan beberapa kebaikan agama, maka dia akan disebut penista, bid’ah, kafir, dan lain-lain. Jika dia menulis dengan pandangan ateis, maka bukunya akan dibakar oleh umat. Itu pun masih beruntung jika pribadinya tak ikut dibakar.

Di tengah kebingungannya memilih tombol huruf apa yang ditekan, ada kemajuan. Ide berkilat-kilat muncul. Namun tak lama, dia menghapusnya lagi. Hanya tersisa kursor yang berkedip menyedihkan. Di saat itulah dia sejenak melupakan calon isi tulisan. Dia mulai memikirkan jalur apa yang akan digunakan untuk menyalurkan tulisannya.

Dibagikan di sosial media seperti teman-temannya? Pasti banyak yang membaca. Dia punya ribuan teman dan minimal enam ratus pengikut di sana. Tapi, dia ngeri membayangkan dia akan dirisak dan cemoohan itu pasti akan lebih panjang dari tulisannya sendiri. Sudah ada contohnya, anak dari Banyuwangi yang masih lugu itu. Katanya banyak yang ingin membunuh gadis tak berdosa itu. Jika memang menulis bukanlah dosa.

Bagaimana jika tulisannya dijadikan buku kumpulan cerpen? Nah ini, katanya sekarang justru penulislah yang harus membayar sendiri ongkos cetaknya. Penerbitan sudah terlalu banyak naskah. Dia yang baru saja lulus jurusan sastra tak punya ongkos itu. Menurutnya tak logis lagi, masa pengarang harus membiayai pencetakan padahal dia mengatasnamakan penerbitan? Tapi ini masih menjadi pertimbangan. Lebih mulia mencetak sendiri daripada tidak sama sekali. Namun, dia menuntut supaya penerbit yang bertanggung jawab atas biaya percetakan, tentu hanya dalam hati. Namun dia segera insaf siapa dirinya, penulis baru yang belum punya portofolio.

Akhirnya dia menentukan untuk mengirimkannya ke koran. Meski honornya tak seberapa, namun lumayan jika sebulan ada satu atau dua cerpennya yang dimuat. Belum lagi jika ada bonus jadi cerpen pilihan terbaik koran itu. Diundang untuk duduk di kursi yang dilapisi kain, dan mendapat tepuk tangan saat pembacaan pengumuman. Luar biasa, meski baru dalam bayangan. Dia bahkan tersenyum meski belum satu huruf pun yang terketik, kecuali yang sudah dihapusnya lagi itu dan meninggalkan kursor berkedip seperti mata ayam yang sakit flu burung.

Belum juga dia mulai mengetik, dia mewawas diri. Dia tak mungkin mampu bersaing dengan Seno, Laksana, atau si tua Pardi dan Hari. Kecuali jika redakturnya segera insaf bahwa koran itu bukan milik komunitas, tidak mungkin tulisan sebagus apapun dari jari jemari penulis muda ini akan dicetak dan kemudian honor ditransfer kepada penulis muda ini. Mereka seperti keluarga yang saling menulis cerpen untuk anggota mereka juga. Bisa saja salah satu dari mereka akan menulis cerpen enam kata dan dimuat oleh koran, seperti penulis legendaris penyandang Nobel, Ernest Hemingway, dengan taruhan beberapa Dollar. Kalau Hemingway bertaruh bahwa cerpen enam katanya bisa membuat orang menangis, mungkin komunitas ini akan bertaruh, “Redaksi berani menolak cerpen Seno atau tidak?”

Tiba-tiba ide judul datang dan penulis muda itu mengetik keras: “UNTUK APA MENULIS?”. Namun dia buntu, hanya judul saja yang keluar. Kemudian dia berganti ke fail baru dan menuliskan lamaran kerja. Ada sebuah bank yang sedang melakukan rekrutmen terbuka. Toh, dia itu punya orang dalam di sana.

*Nurhidayat, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2015, menulis esai dan cerita pendek juga puisi bebas.

 

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Sastra.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *