Oleh: Wisnu Sumarwan*
“Ayahmu sedang merantau, Nak….”
“Untuk apa merantau, Bu?”
“Untuk pulang lagi nanti, Nak….”
Ibu berbisik padaku di suatu malam sunyi pekat seperti kopi tubruk yang kini sudah dingin di meja menyisakan ampas-ampas getir di dasar gelas. Aku ingin bertanya lagi sebenarnya. Tapi, waktu itu aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami perkataan ibuku. Jika hanya untuk pulang lagi, mengapa tidak pulang sekarang saja? Apakah ia tak mau bertemu denganku seperti aku yang begitu ingin bertemu dengannya?
Sejak aku lahir, aku tak pernah melihat raut wajahnya. Bahkan fotonya tidak ada. Aku ingin bertemu ayahku. Semua teman-temanku punya ayah. Mengapa aku tidak?
“Ayah merantau kemana, Bu?” tanyaku suatu ketika yang lain.
“Kau lihat itu?” ibuku menunjuk ke luar jendela. Tampak bulan penuh bersimaharaja di langit hitam legam. Bulan emas seperti tampak berpendar-pendar. Aku terkesima.
“Bulan, Bu? Ayah ke bulan?”
Ibuku mengangguk. Ada sempat terlintas dalam senyumnya, aku masih terlalu kecil untuk mengetahui maknanya.
“Apakah ayah astronot?” tanyaku lagi.
“Sejenis itu,” jawab ibuku.
Aku bingung. Jika ayahku astronot mengapa ia tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah yang kudapatkan di sekolah seperti Neil Armstrong atau Yuri Gagarin?
“Karena ayahmu tidak merantau ke sisi bulan yang terang, anakku,” jawab ibuku.
“Sisi bulan yang mana, Ibu?”
“Sisi bulan yang gelap…”
“Adakah sisi bulan yang gelap?” tanyaku.
Ibu mengangguk. Membelai rambutku sambil menyanyi “Nina Bobo”. Aku tertidur, bermain-main ke bulan. Ada padang rumput di sana. Aku terbang ke sisi gelapnya. Ayah tak ada di sana.
***
Ambilkan bulan, Bu… Ambilkan bulan, Bu…
Yang sedang bersinar di langit…
Hari itu aku pulang berlari-lari. Tadi di akhir pelajaran aku dan teman-teman diajari sebuah lagu baru oleh Bu Guru. Bu Guru memarahi aku hanya karena bertanya.
“Bu Guru, bolehkan saya meminta untuk diambilkan sisi bulan yang gelap saja?” Ibu guru mengernyit.
“Lagunya memang begitu, Malik! Untuk apa mengambil bulan yang gelap?”
“Ayah saya ada di sana, Bu Guru,” jawabku yakin.
“Tidak mungkin, Malik. Tidak mungkin ayahmu ada di sana. Dan bulan itu terang.”
“Tapi, kata ibu ayahku ada di sana. Dan bulan punya sisi gelap.”
“Ibumu berbohong,” ucapnya singkat. Wajahnya jahat, itu yang kutahu.
“Ibuku tidak bohong,” bisikku sambil menunduk.
“Apa kamu bilang?”
“Ibu saya tidak berbohong! Ayah saya astronot! Dia sedang merantau ke sana! Bu Guru yang berbohong!”
Teman-teman menertawai aku dan wajah Bu Guru itu memerah. Sungguh aku tidak mengerti apa yang lucu. Aku hanya menceritakan apa yang diceritakan ibuku. Lalu aku dihukum menulis aku-harus-sopan-dan-tidak-akan-berbohong-lagi. Sungguh, aku tidak mengerti. Dan aku lebih tidak mengerti saat ibu memanggilku. Ia dipanggil kepala sekolah. Ia dimarahi.
“Anakku, jangan semua yang ibu katakan kau sampaikan kepada orang lain. Termasuk cerita tentang ayahmu.”
“Apakah Ibu menyuruhku berbohong?” aku protes.
“Tidak, Nak. Tapi, tidak semua orang mau mendengar kebenaran.”
“Ibu, aku tidak mengerti.”
“Pokoknya, jangan bercerita apa-apa tentang ayah. Kelak kau akan mengerti, Nak…”
“Kelak? Kelak itu kapan?”
Dari sebuah halaman buku IPA kuketahui bahwa bulan menjadi karena matahari menyinari sisi yang menghadap bumi. Dan bulan purnama yang kulihat dari balik jendela adalah sisi bulan yang terang benderang itu. Matahari menyinari satu sisi dan di sisi lainnya hanya selalu gelap gulita sahaja. Lalu aku berpikir. Mengapa matahari tidak adil? Mengapa sisi di sebelah sana selalu dibiarkan gelap? Bagaimana keadaan ayah? Apakah ia gelap-gelapan? Ia pasti bisa berjalan ke sisi terang seperti aku yang berjalan ke sekolah setiap hari. Aku berpikir lalu ketiduran. Aku ke bulan dan ayahku tak juga ada di sana.
***
Bulan terjebak ranting pohon lalu terseok dalam bingkai jendela. Sudah beberapa waktu aku mencoba melambai-lambai pada bulatnya purnama, berharap ayahku melihat dari sana. Aku ingin menyuruhnya pulang. Sayang, purnama terjadi hanya beberapa hari. Apakah melihat bumi dari sana sama seperti melihat bulan dari sini? Bulan sering tak bulat sempurna, hanya separuh, sebentuk arit, atau bahkan hilang sama sekali dari langit.
Dari buku aku mengetahui bahwa bulan sesungguhnya tak pernah benar-benar hilang, ia hanya sedang dalam sudut yang tak bisa memantulkan cahaya matahari. Bulan tetap ada di langit meski aku tak melihatnya, meski yang kulihat hanya gulita hingga ke seluruh pojoknya.
Aku menunggui purnama datang. Kupandangi langit malam berhias bulan moncer , tak bosan kupandangi juga gelap sempurna, dan kupandangi seluruh langit hitam dengan bintang terserak di antaranya. Hingga pada saat seorang guru baru bertanya satu per satu pada kami saat pelajaran bahasa.
“Apa hobi kalian?”
Bermain bola, bermain boneka, membaca, berjalan-jalan, dan aku menjawab: memandangi bulan. Teman-temanku menertawakan. Guru itu mengernyit, bertanya mengapa. Mulutku hendak menjawab saat kuingat pesan ibuku untuk tidak bercerita apa-apa tentang ayah. Aku diam. Aku diam saat aku dipaksa untuk menjawab. Kututup mulutku rapat-rapat. Aku tidak mau bohong tapi aku juga tidak mau cerita. Ia memaksa. Aku tetap tidak mau cerita. Ia terus memaksa.
“Ibu tidak boleh memaksaku berbohong!”
Guru itu marah. Aku tak mengerti. Lagi, aku lari pulang. Aku dihukum menulis di papan tulis Aku anak yang patuh dan akan selalu jujur.
Apakah aku sudah tidak jujur? Aku ingin bertanya pada ibu.
***
Aku mulai mengerti. Aku mulai mengerti bahwa dunia adalah tempat yang berbeda bagiku. Teman-teman (yang sesungguhnya selalu asing itu) bahkan tak peduli bahwa ada sisi gelap di sisi balik raja purnama. Bagi mereka, bulan hanyalah terang adanya. Jelas seperti siang, sementara dunia makin menjadi tempat yang sulit aku pahami. Mereka terus membuatku bingung dengan julukan-julukan yang tidak kumengerti artinya.
Aku diam. Aku tak boleh bicara tentang ayah.
“Ia sudah sembilan tahun sekarang. Artinya sudah sepuluh tahun lalu. Tidakkah kau akan jujur padanya?” kudengar pakdeku berkata. “Kasihan ia terus-menerus melihat bulan, Lasmi.”
“Kelak ia akan tahu. Sekarang ia masih terlalu kecil,” ibuku berkata serak sambil terus membungkusi kerupuk legendar yang baru tiris.
Pakdeku terus berbisik, “Ia akan segera tahu, Las. Kau tahu mulut orang-orang. Lebih kejam lagi jika ia tahu dari mulut-mulut itu. Belum lagi, jika….”
“Hentikan!” ibuku meradang dan mulai mencairkan awan dari matanya.
“Kau bisa menghentikanku, Lasmi. Tapi, kau tidak akan bisa menghentikan mereka!
Mereka akan membunuhnya pelan-pelan seperti dulu mereka membunuh ayahnya!”
Aku yang terduduk di balik tembok hanya bisa diam. Tidak mungkin! Tidak mungkin ibu berbohong! Ayah merantau ke sisi gelap bulan! Malam ini aku akan ke bulan untuk mencari ayah!
***
Kemanakah orang mati pergi? Apakah ke balik sisi gelap bulan? Atau hilang begitu saja? Saat kutanyakan pada temanku apakah ayah mereka pernah ke bulan, aku ditertawai lalu ditimpuk dengan batu.
“Dasar PKI! Pantas ayahmu mati!”
Aku tak pernah benar-benar punya teman. Bukan karena aku tak mau berteman, tapi mereka tak pernah benar-benar menyukaiku. Entah apa salahku hingga perlu dihujani kata-kata yang sepertinya menjijikkan. Apa artinya? Apakah mereka mengerti? Apa yang diajarkan ayah-ayah mereka yang ibuku tak mengatakannya?
“Ibu, PKI itu jahat, ya?”
Akhirnya aku bertanya. Ibuku mengernyit heran.
“Mengapa kau bilang begitu?” wajahnya memerah.
“Begitu kata bu guru. PKI menculik dan membunuhi orang-orang. Apakah ayah diculik oleh PKI? Itukah sebabnya ayah tak pernah kembali? Ia diculik PKI?”
Aku mulai ragu pada sisi gelap bulan yang suhunya melebihi kebekuan.
Ibuku terperangah mendengar perkataanku. Lalu ia menangis. Aku terkejut. Aku tidak mengerti. Apa salahku? Aku makin tidak mengerti.
“Ibu tak tahu semuanya. Tapi, PKI tak menculiknya, anakku…”
“Lalu siapa?”
“Entahlah…”
“Ibu bohong! Ibu tahu siapa yang menculiknya!”
“Sungguh, Nak. Ibu tidak tahu.”
“Bukankah Ibu yang berkata manusia harus jujur. Mengapa Ibu bohong?”
“Sumpah, demi Allah. Ibu tidak berbohong…”
Lalu ia menangis lagi dan… pingsan. Pakde membawanya ke dipan. Membaringkannya. Aku hanya bisa duduk di sebelahnya. Ikut menangis. Usiaku baru sebelas tahun, aku tak tahu bahwa rasa penasaranku pada sisi gelap bulan akan berakibat seperti ini.
“Le, jangan sedih. Ini bukan salahmu.”
Pakde mengelus-elus kepalaku. Aku diam. Ini salahku. Aku tahu ini salahku
***
Bisa kukatakan bahwa aku salah saat berpikir bahwa aku telah cukup memahami kegelapan. Aku sama sekali tak paham sedikit pun tentangnya, tentang kegelapan yang mencoba menyelingkuhi malam. Malam yang turun seperti selimut kabut menutup sebuah bukit.
Bukit yang mencoba melindungi seorang perempuan dari kejaran orang-orang yang tak dikenalnya. Orang-orang yang ia tak pahami mengapa menjadi begitu dendam padanya. Apa salahnya hingga kesumat mengobarkan amarah begitu rupa? Kesumat apa yang menyala?
Dan aku makin paham tentang kebodohanku sendiri saat kulihat seorang perempuan hamil diseret dari dalam kegelapan. Sepatu lars berlapis baja menendang perut buntingnya. Membuatnya mengerang laksana induk serigala terjebak dalam jebakan pemburu. Memaksa seorang bayi untuk melorot dari lindungan rahim yang tak kuasa lagi memberi damai sebelum habis masa sembilan bulan. Bayi itu aku! Dan aku kini tahu, bahwa dalam gemerlap cahaya bisa ada kegelapan maha sempurna. Kegelapan dari sisi balik bulan.
***
Sudah 38 tahun sejak itu. Aku berdiri dalam sebuah bilik suara, ibuku sudah bercerita pada orang-orang yang tak kukenal. Tentang saudara-saudara secinta yang menjadi seteru dalam dendam yang ia tak pahami sepenuhnya tentang alasan di baliknya. Aku berharap kali ini orang yang kupilih berani membawa kebenaran.
Aku kini tahu bahwa kebohongan akan terus ditutupi kebohongan berikutnya. Dan semakin aku tahu, makin aku tidak tahu kebenaran mana yang bisa kupercaya. Meski…meski aku memilih untuk tetap percaya pada sebuah kebohongan. Ayahku ada di sisi gelap bulan. Ia sedang menunggu. Menunggu ibuku.
Tadi malam aku bermimpi. Ibuku telah tiba di sana.
Dan ia berkata, “Nak, damailah dalam cahaya.”
***
*Pemenang pertama dalam Lomba Cerpen Nasional LPM SKetsa 2015