Oleh: Permadi Suntama
Tetes embun menyelinap dan membungkusi daun pisang yang menetaskan sayap kupu-kupu untuk terbang. Menjemput serbuk sari pada bunga-bunga yang telah membuka kuncupnya. Sayup suara bayi kelelawar yang menangis karena terjepit di ujung kuncup daun pisang. Suaranya tidak mau kalah dengan bunga-bunga yang bermekaran. Tamparan kepak sang induk kelelawar, menjadi mula dari perjalanannya. Bersamanya, mengembara keheningan yang memupuk keharuman bunga temboja. Kelopak-kelopak bunganya yang harum merebahi tanah, menjadi perantara jalan untuk mendekatkan manusia pada sang Pencipta. Burung Prenjak melompat-lompat riang mendapati setundun pisang matang di samping sebuah rumah. Tanpa peduli ada sepasang kelelawar bersaudara, yang merintihkan sakit dan lapar di dekatnya.
Bunga-bunga mulai terbangun dihinggapi sinar matahari yang datang malu-malu. Menjatuhkan setetes air mata, dari embun yang enggan mengucap maaf pada bayi kelelawar. Meski kehadirannya telah melanggengkan pedih, pada tubuh yang kedinginan. Embun tidak pernah peduli. Karena kepedihan yang tergambar di wajah bayi kelelawar adalah pesakitan seekor iblis yang kehadirannya terkutuk dalam kitab-kitab dan menjadi kurawa bagi kehidupan.
Satu demi satu, waktu menyelinap dan menyampaikan pesan yang mengembara. Burung gagak yang terus berputar-putar, merindukan elang yang kelewat bebas meninggalkannya. Katak-katak yang berpesta semalaman menyambut hujan, tergeletak tak berdaya di atas bunga teratai. Perjalanan sebagaimana pun akan dilangkahkan, pada akhirnya akan kembali menemui titik awal, bagaimana semua dimulai. Suara kuda yang baru keluar dari kandang, dipaksa berlari mengantar pesan kepada bunga temboja.
Tanah yang basah, gerimis berkepanjangan itu baru usai. Meninggalkan bekas-bekas telapak perjalanan yang digenang air pengharapan.
“Kakang, engkau pasti mengerti, mengapa aku tidak bisa melepaskan engkau pergi melaksanakan titah baginda ratu. Untuk sekali ini, aku mohon kepadamu untuk sejenak melepas segala titah yang harus dilakukan seorang prajurit.”
“Adikku, untuk seorang prajurit, titah raja adalah takdir yang harus dijalankan. Seorang prajurit seperti aku adalah tiada takdir yang lebih baik daripada mengangkat pedang di medan pertempuran untuk membela kepentingan negara.”
“Tapi engkau tidak sedang mengangkat pedang di medan perang. Engkau tidak diiringi bala tentara yang senantiasa membantumu melawan musuh. Engkau akan berperang sendiri, laksana Bhisma yang tidak akan melawan meski di depannya ada Srikandi yang mengacungkan pedang ke jantungmu.”
“Kakang, aku melihat engkau sebagaimana prajurit yang tidak pernah aku harapkan terjadi padamu.”
“Bila itu memang jalan yang akan terjadi padaku, biarlah aku menghadap sang waktu, sebagaimana aku menjemput kemenangan. Biarlah aku menjadi Bhisma yang merelakan dirinya mati untuk menjalankan takdir yang harus terjadi.”
“Tapi engkau bukan Bhisma putra Santanu, yang merelakan kematiannya untuk sebuah janji yang ia ucapkan untuk perdamaian wangsa bharata . Engkau tidak ditakdirkan untuk berakhir dalam tugas yang tidak masuk akal ini.”
“Bila aku memang tidak ditakdirkan untuk berakhir dalam tugas ini, maka aku akan kembali menemui engkau di sini. Jangan kau takutkan aku pergi untuk selamanya, karena semua jalan akan menemui ujung. Perpisahan kita pasti akan terjadi, dalam bentuk yang tidak bisa kita tentukan sendiri.”
“Haruskah aku melihat bagaimana engkau akan bercinta dengan api dan aku akan menaburkan bunga-bunga untukku? Menyaksikan bagaimana aku menyiasati cara untuk melambaikan salam terakhir untukmu.”
Hidup memang benar memilukan adanya dan kita tidak akan pernah bisa lepas daripadanya.
***
Hujan yang mengalir pada pipinya tak kunjung reda. Mata air yang ada dalam kedua kelopak mata, masih deras mengucurkan genangan yang menenggelamkan diri nya dalam pelepasan sang kekasih. Kekhawatirannya pun mengajari, bahwa ia tak bisa lagi menjadi seorang kekasih lelaki yang amat ia cintai.
“Kakang, seandainya engkau tahu! Kekhawatiranku bukan karena aku melihat perjalanan yang akan membuat engkau pergi untuk selamanya,” perempuan itu kembali mengenangkan apa yang ia lihat dari perjalanan sang kekasih.
Ksatria yang menunggang kuda itu terus berjalan masuk ke dalam hutan. Ia berhenti pada sebuah pohon dan merenungkan bagaimanakah ia nanti. Sang ksatria belum juga mendapat keyakinan bahwa ia akan mampu kembali dengan selamat. Ia tahu, siapa yang akan dihadapinya. Kekuatan yang ia miliki belum sebanding dengan kekuatan musuh. Namun dia tidak mau menjadi seorang pecundang, yang takut pada dirinya sendiri. Ia ingin menjaga nama baik keluarganya dan juga nama besar Ksatria-ksatria Majapahit.
Sang ksatria turun dari kuda dan berjalan menuntun kudanya. Ia tidak berjalan menuju istana musuh, tapi terus masuk ke dalam hutan sembari memikirkan cara untuk menuntaskan tugas dan kembali untuk bertemu dengan kekasihnya.
“ Aaaarrrg! ”
Tiba-tiba terdengar suara erangan yang diikuti dengan teriakan perempuan minta tolong, serta orang-orang yang tertawa.
“Tolong! Tolong! Tolong!”
Sang ksatria berlari menuju suara teriakan itu dan melihat banyak darah berceceran serta mayat-mayat prajurit yang tergeletak.
“Jangan ganggu perempuan itu!” bentaknya pada dua orang berandal yang tertawa, seperti anak kecil mendapat mainan baru. Kedua berandal itu semakin tertawa terbahak-bahak, melihat seorang lelaki krempyeng menggertaknya.
“Siapa sampean? Berani-beraninya membentak kami?” ucap salah seorang berandal itu sambil terus tertawa.
“Tuan, tolong kami!” pinta dua orang wanita yang sedari tadi berteriak meminta pertolongan.
“Lepaskan wanita itu! Atau kalian akan berurusan denganku.”
“Urusan?” berandal itu semakin keras tertawa, tanpa memedulikan pemuda di hadapannya.
Sang ksatria menarik pedang dan menunjukkan kelihaiannya dalam seni permainan pedang. Berandal yang merasa dihina karena ditantang oleh pemuda krempyeng, langsung menarik pedang dan siap untuk membantainya. Tapi nahas, ketika baru mengeluarkan pedang dari sarungnya, pedang itu justru mengenai kepala temannya sendiri. Kepala itu pun menggelinding di atas tanah, seumpama kelapa yang jatuh tengah malam.
Melihat darah menempel pada pedangnya, berandal itu kaget dan setengah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sepotong kepala manusia tergeletak di atas tanah.
“Kakang! Oh, bagaimana mungkin aku melakukannya padamu.”
Sang ksatria yang melihat kesempatan emas itu, langsung menghunuskan pedang pada berandal yang sedang meratap. Pertempuran singkat itu pun usai.
“Terima kasih Tuan, karena engkau telah menyelamatkan kami dari orang-orang jahat itu,” ucap salah satu putri yang terlihat lebih tua.
“Bagaimana kami akan membalas kebaikan Tuan?” tanya yang lebih muda.
***
Kuda meringkik, menyaksikan bunga-bunga menanggalkan kelopaknya yang bersetubuh dengan bumi. Jerami basah menyembunyikan jamur yang muncul dari tanah dan mengakar dari batang-batangnya yang kering. Katak-katak bernyanyi, menasbihkan kehidupan dalam zikir hitam yang panjang. Lalu tiga ekor curut bergembira, mendapatkan sisa singkong bakar tergeletak di dalam gubuk. Ketiganya bercengkerama dan sesekali mulut mereka yang panjang saling bersentuhan. Alam pun membuai mereka, dalam rasa dan dahaga yang tidak terelakan.
Seekor cicak yang mengintip di atap gubuk, ikut melayang jauh mengikuti jalan alam. Tiba-tiba seekor curut menepis cicak dengan ekornya yang panjang, hingga cicak terpelanting. Seolah ia telah berdosa karena menangkap basah tindakan curut . Cicak itu pun harus terjerembab dalam lumpur dan matanya terganjal tanah.
Ketika ia membuka mata, ia bukan lagi seekor cicak yang menyaksikan tiga ekor curut sedang memadu kasih. Perempuan itu terus saja menangisi kepergian lelaki yang dicintainya.
***
Hujan yang turun rintik-rintik, mengaliri samudra raya. Para pujangga menyanyikan kata-kata cinta nan indah. Sementara sufi yang jatuh cinta, menangisi dirinya sendiri yang telah melupakan perjalanan panjang yang ia catat. Karena pada akhirnya, semua yang diabadikan menghilang bersama ketidakberdayaan dirinya akan keindahan. Karena sebagaimana keindahan, telah membuat manusia lupa pada apa yang seharusnya dilakukan.
***
Di sini bersemayam segala harapku, terkubur bersama raga yang tidak menghendaki pengkhianatan atas nama segala kehormatan. Aku mengerti, bahwa pengkhianatan yang ditujukan padaku adalah keterpaksaan yang harus dilakukan untuk sebuah keselamatan. Namun, aku menghendaki kejujuran pada diriku. Maka, biarlah kusemayamkan raga yang menuntut kesempurnaan ini untuk melebur, menemui ketidaksempurnaan akan kebenaran dirinya.
Kutinggal selembar sutera dan bunga-bunga yang hidup di dalamnya. Aku tidak ingin ada yang menaburkan bunga-bunga, karena aku tidak menghendaki keharuman hilang karenaku. Bila engkau ingin memberi salam perpisahan padaku, tulis yang ingin kau sampaikan pada kain sutera ini dan kuburkan bersama tangan yang kau letakkan di atas pusaraku. Aku telah mengetahui yang terjadi padamu dan aku tidak sanggup mendengar kebohongan yang akan kau ucapkan.
Ksatria yang pulang dari tugas negara, menemukan rumah, namun tidak menemukan tempat singgah untuk kembali.
***
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.
[…] untuk waktu yang lama. Berapa musim berganti yang akan aku lewatkan tanpa melihat semua itu. Berapa banyak peristiwa yang akrab akan alpa dari mataku, sampai aku dapat kembali, melihat semuanya […]