Oleh: Emerald Magma Audha*
Sesungguhnya aku hanyalah sebintik semi, tumbuh di selingkung batang berserak. Kala merasai sekeliling, dadaku sesak. Koyak. Lantas itu menuai getir yang merisak. Lalu mendesak. Sudahnya aku cuma terisak. Meski terisak, suasana tetap nyenyak. Paling hanya bunyi kersak. Ingin rasanya aku berteriak. Supaya getir ini bisa usak.
Tubuhku masih lunak, tapi cuma aku yang khali dari tebasan. Banyak sesamaku suah dicacah. Mandala ini, lama-lama bisa gersang. Aku malah ngeri membayangkan bila aku menebal sebagai pokok kayu kelak, apa nasibku bakal sama? Ah, aku bahkan ragu mampu menebal, lebih-lebih melebat. Uhh! Aku jadi ingat sesamaku, aku kembali sesak. Namun, aku sekadar memendam, lantaran aku bisu.
Memang hadirku di sini masih anyar, tapi aku tahu ini ulah siapa. Dari segala gema suara di mandala ini, bisa aku rasai. Selain dari tuturan sesamaku yang mendahuluiku. Aku memang tak kelewat paham benar, tetapi aku cukup tahu apa yang sedang terjadi di sini. Ini jelas ulah kalian! Ingin sekali aku menyentak, memburaikan segala berang yang terbenam. Lagi-lagi aku sadar, aku bisu. Kalau aku bisa bicara, pasti, tentu pasti akan aku sulihkan segala apa yang terpendam di dada ke bahasa suara, seperti ini:
“Hei, kalian! Sudah tidak waraskah kalian, atau memang sengaja menumpulkan waras kalian? Kewarasan dibuat tumpul dengan proyek menggiurkan semata demi keuntungan? Atau, sebenarnya memang masih waras, namun nurani kalian yang membatu? Ya, semua waras kalian berkiblat pada nalar ekonomi. Nurani kalian dibuat batu oleh nalar ekonomi yang menghamba borjuasi bangsai yang hanya acuh pada labanya?”
“Apa telinga kalian tuli, atau malah kalian yang menulikannya? Tidak terdengarkah jeritan-jeritan penolakan di kuping kalian? Kuping kalian kotor, sesak oleh congek-congek bercampur nanah dengan janji-janji manis kesejahteraan dan kelayakan hidup di dalam nanah itu? Bau anyir nanah itu pula yang kalian hirup dalam-dalam, diisap sekuat-kuatnya oleh hidung peyek beringus itu. Kalian anggap bau anyir itulah yang membuat kalian bisa bernapas lega seperti sekarang? Tidak sadarkah kalian malah itulah yang sebenar-benarnya membikin kalian sesak napas, yang menyumbat rongga paru kalian, yang menghentikan aliran oksigen di udara?”
“Mata kalian sudah buta, atau memang kalian butakan? Rabun oleh bayangan gemilang hidup bahagia yang kental keegoan, kilauan uang yang paling mengikat, memenuhi isi ininya kalian sendiri, lalu semuanya itu mengerak menjadi katarak di mata kalian? Oleh sebab itukah pandangan kalian sepekat gulita, menjadikan kalian tidak memeka pada sesama kalian yang mulai memelas pilu?”
“Kalian masih saja menjadikan nyala mesin-mesin penghancur jenggala bertuah yang menjadi jantung yang menyawai bermacam siklus kehidupan di atasnya. Deru mesin-mesin itu begitu memekikkan sampai mampu membungkam teriakan sendu. Jenggala itulah senantiasa berdenyut, mendetakkan nadi segala ekosistem di punggung Slamet. Segala siklus itu telah hidup sebelum Soekarno melantangkan teks naskah proklamasi, sebelum Multatuli menyuarakan karya penentangan terhadap tanam paksa ala Van den Bosch, sebelum Cornelis de Houtman melabuhkan kapalnya di Banten, bahkan jauh sebelum itu, sudah berlangsung sejak beratus-ratus abad silam. Maka itulah jenggala itu dituahkan, dari zaman baheula hingga sekarang masyarakat lokal sekitar punggung Slamet itu yang setia bersusah pikir dan berpeluh raga untuk menjaganya, merawatnya. Mereka-mereka tahu, dedaunan hijau bersemak di ranting juga berbelukar di batang-batangnya itu yang mengaliri sungai-sungai supaya tetap deras dan jernih. Air itu yang membasahkan lalu menggenangi lahan-lahan mereka agar tidak mati kerontang. Sebagaimana pula bagi mereka ambil manfaatnya mulai dari sekadar membasuh jelaga di muka periuk nasi, untuk dimasak lalu dimasukkannya ke dalam mulut dan diteguknya yang berguna menggantikan tiap keringat mereka selepas mencangkul. Atau, dimasak untuk membikin kuah sayur asam. Juga untuk cebok sehabis buang air kecil sampai buang air besar dan mandi kecil sampai mandi besar. Bahkan, orang-orang zaman dulu telah biasa menggunakan air untuk bercermin diri lantaran saking beningnya. Sekarang? Terlalu keruh meski hanya sekadar memantulkan bayangan.”
“Mereka-mereka juga tahu, akar-akarnya berjenjang lagi selebar paha yang mengokohkan tanah supaya tidak lebur dan tercerai berai. Akar-akar yang menembus masuk ke tanah lalu mengaitkannya dengan erat dan melilitkannya dengan kencang supaya tanah-tanah itu tidak hanyut diseret oleh gerimis deras yang lama-lama bisa menjadi arus yang keras. Hidup akar-akar itu yang paling berjasa menahan tanah supaya tidak gugur dan meluncur cepat ke bawah. Semua itu karena tanah senantiasa diteguhkan oleh akar-akar. Makanya kawasan jenggala itu terlindung dan mesti dilindungi, namanya saja kawasan lindung. Disebut kawasan lindung sebab melindungi beraneka mata rantai kehidupan. Mereka-mereka yang kalian anggap niradab dan serba kekolotan itu malah paling mafhum soal itu. Mereka tidak dungu macam kalian!”
“Sudah dungukah kalian? Barangkali akal budi kalian lenyap ditelan ketamakan? Ah, tidak, bukan begitu. Tidak mungkin orang dungu tak berakal akan sanggup menebas terlampau habis pepohanan di kawasan lindung. Lalu, kalian biarkan bangkai-bangkainya meranggas sampai rontok daunnya, luruh kering batangnya, akarnya menciut kisut, dan sangat kecil kemungkinan kalian akan sudi menghijaukannya lagi. Bukan akal kalian yang lenyap, tapi budi kalian berhasil dijarah oleh ketamakan. Atau, pura-pura dungu? Ya, benar, ini yang paling mungkin terjadi pada kalian. Kepandaian kalian simpan di mana? Di dengkul kalian yang kopong keropos itu? Keropos lantaran dengkul yang menjadi wadah kepandaian itu sering digunakan untuk berlutut. Lantas lidah kalian julurkan keluar dari batas bibir, lalu menjuntai ke bawah sambil meliuk-liuk hingga melebihi pangkal kerongkongan. Sampai-sampai liur yang mirip riak itu terlepas dari lidah, jatuh mengental pekat. Kemudian kalian berebut menjilati ketamakan kalian, sesekali saling menyikut bahkan mencakar. Kalian hinakan diri kalian demi menyenangkan rasa tamak masing-masing.”
“Apa kalian juga berlagak tak tahu menahu jika kawasan lindung itu adalah surgaloka nutrisi bagi segala organisme berjasad hidup di situ? Celeng, tikus, ular, kera, kadal, biawak, kera, bisa mengenyangkan hasrat laparnya berkat segenap berkah yang disajikan surgaloka nutrisi. Kawasan itu juga jadi habitat paling layak bagi hewan-hewan itu untuk melepaskan laku kebinatangannya secara liar: memburu atau diburu, memangsa atau dimangsa, menerkam atau diterkam, atau untuk sekadar kawin dan berbiak. Apa jadinya bila kalian merenggut jenggala yang mulanya rimbun lagi riuh aktivitas hewani, kini kalian ratakan semua menjadi sebatas onggokan yang tak sampai melebihi batas mata kaki? Banyak satwa hutan turun ke lereng dekat permukiman. Petani-petani di lereng, rautnya selalu suntuk, tapi tak membuat kendur otot-otot jemarinya, tegang menggenggam tongkat kayu, harus selalu siaga dan terjaga kalau tak mau lahan garapannya gagal panen lagi lantaran diserbu gerombolan kera yang lapar. Sudah banyak lahan yang berserakan, mulai dari lahan yang ditanami tanaman padi, palawija, jagung, pisang hingga ketela, semuanya rusak. Hal tersebut kerap terjadi belakangan. Lalu, celeng-celeng juga ikut-ikutan turun menyeruduk kebun, malah pernah sampai mengais pakan di rumah petani. Ada pula yang mengaku harimau juga menampakkan belangnya. Meski hewan-hewan itu cuma mengandalkan insting bertahan hidup. Kalian tahu kan, kalianlah yang merampas sumber penghidupannya!”
“Hah, kalian bilang, semua yang kalian lakukan benar dan dibenarkan demi memuluskan proyek setrum itu? Atas nama legitimasi hukum, kalian lumat kawasan lindung yang telah menghidupi macam peradaban selama beratus-ratus abad itu menjadi remuk dalam sekejap dengan mesin-mesin raksasa penghancur jenggala, terus kalian cabik remukannya menjadi potongan-potongan paling kecil dan paling lembut, tak bersisa? Sergah kalian, proyek setrum itu ramah dengan alam Slamet? Saking ramahnya sampai kalian rapuhkan segala mata rantai kehidupan di sini! Kalian mengaku, jika semua laku kalian semata demi tujuan mulia, yakni kesejahteraan masyarakat sekitar, kemakmuran negeri ini bersama rakyat, iya, begitu? Yakin, bukan demi asing? Tapi, cara kalian untuk mencapai tujuan itu, muliakah? Muliakah cara yang menjadikan derita terhadap sesama itu? Tidak! Lantas, masih muliakah sebuah tujuan bilamana tujuan mulia itu dicapai dengan cara yang tidak mulia? Jawab! Hah? Apa kata kalian? Ahhh… Omong kosong!”
Kalian selalu saja berusaha menggenggam semuanya di tangan kalian! Mencoba mengendalikan semuanya semau kalian! Itu benar-benar membuatku merasa tercekik! Perih! Lebih menikam dada dan menusuk hati ketika aku menyadari, aku merasa tak berdaya apa-apa.
Purwokerto, 4 Juli 2017
*Emerald Magma Audha, pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Skëtsa Unsoed. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2014.
Penulis cuma mau bilang, “Selamatkan Hutan Lindung di Gunung Slamet.”
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Esai.