Sapi Gila

Oleh: Nurhidayat*

Ilustrasi: Reza Yahya
Ilustrasi: Reza Yahya

Kopi keruh malam ini menjernihkan suasana. Dilengkapi dengan asap pekat yang kuisap, ternyata berhasil mengencerkan pemikiran. Keduanya berhasil menjadi kawan lekat obrolan yang rutin ini. Ya, pertemuan dengan Bari Si Kades baru memang bukan hal baru. Aku tak pernah bosan, selalu antusias dengan yang dibahas kala beradu. Bari yang jago pidato dan debat itu memang tak punya banyak kawan bicara, makanya dia sangat bahagia ketika aku bertamu. Aku pun begitu, hilang segala urusan kala bertandang. Dan selalu disambut dengan kopi cap Djempol, meski harus bermodal udud sendiri. Udud kita tak sama, udud adalah prinsip.

Oh ya, ini fakta empiris yang cukup penting sebagai alasan kenapa aku selalu hadir Sabtu sore. Hampir lupa aku bercerita bahwa di desa, cuma Dewi, anak Bari, yang matanya berani menantangku untuk beradu. Yang lain tertunduk setiap mataku menghadap kening. Setiap kali aku hadir, anak tunggal yang menurut Bari sangat mirip ibunya itulah yang mengedepankan kopi beserta pacitan. Usia sudah cukup, kukira. Sepertinya, Bari juga menginginkanku jadi menantu melalui Dewi ini. Aku menduga saja, sambil berharap. Tak pernah ada bahasan tentang itu, namun kode kudapat jelas.

Diskusi rutin ini sudah berjalan sejak enam bulan, tepat ketika aku hijrah ke desa. Aku yang baru sesemester tinggal, sesungguhnya beruntung karena dengan cepat bisa merapat kepada ilmu asli desa. Dari sore setelah isya hingga pagi-pagi azan subuh, aku selalu mendapat jatah diskusi tentang desa, jika aku mau. Ya, bagi kami, sore bukan saja ketika matahari bersandar pada arah barat. Perlu diketahui, sebenarnya aku menjaga agar diskusi dengan Bari tidak terlalu kerap, takut kehabisan tema, hanya sekitar seminggu sekali aku berkunjung, atau sebaliknya, aku yang harus menggulai kopi jika dia berkunjung ke rumah. Dan tak lupa, hampir selalu, setiap hendak berkunjung, aku mampir untuk membeli dua bungkus udud di warung Lik Slamet. Harus dua, tak bisa satu, karena pasti tak cukup menemani hingga pagi.

Tema terbaru diskusi malam ini adalah soal kembalinya ternak sapi di Desa Setrodaya. Yang jika Bari berhitung, delapan tahun pascapenyakit sapi gila–penyakit yang datang dari Eropa–lenyap dari Setrodaya. Warga Desa Setrodaya mulai berani memasukkan sapi putih –yang kebanyakan mereka beli di pasar dekat terminal lawas–ke dalam kandang yang juga baru, meski sebagian ada yang kandangnya tidak baru dan masih ada sisanya. Tapi, ya perlu perbaikan sana-sini.

Semua ditata ulang sehingga hampir semua warga desa kembali membangun sebuah gambaran desa lumbung daging yang dulu sudah terkenal hingga tlatah Pasundan sana. Namun, kepala desa idealis yang baru dua bulan dilantik itu, dalam setiap pidatonya, di acara mantenan hingga sunatan, selalu membantah bahwa desa ini adalah lumbung daging. Kepala desa yang menang tipis dalam pilkades ini tidak suka dengan kemunafikan. Dia hanya menyebut desanya sebagai lumbung sapi.

Dengan begitu meyakinkannya, ahli debat itu menyebut bahwa warga desa tak punya daging, hanya punya sapi. Mereka berbeda dengan peternak ayam yang setiap hari bisa makan ternaknya sendiri, bahkan dengan sengaja, bukan hanya karena ayamnya sakit. “Nah, apa kalian pernah sembelih sapi dengan sengaja untuk dimakan?” tanyanya kepada hadirin resepsi nikahan tiga hari lalu, dan diulang kepadaku. Tentu saja tak ada yang sanggup menjawab, kecuali dalam hati sadar bahwa warga hanya memelihara, tak menikmati daging. Aku pun mengulang itu kepada Bari, tak perlu dijawab sudah terjawab. Itu hanya retorika realita. Orang ini, kades baru ini, kemampuan olah bicaranya makin diakui oleh khalayak, semenjak tiga bulan lalu menang dengan mengejutkan, karena Bari tak modal uang. Si Wanto, justru amblas dagangan tokonya karena nekat menandingi si ahli debat. Meski menang tipis, rupanya Bari tak pernah keluar dana, kecuali untuk acara moyog, ya sekedar rokok kretek, penganan kecil, sesekali makan besar–tapi bukan lauk daging sapi, dan tak lupa kopi. Bagi Bari, itu tak begitu mengganggu lumbung padi.

“Tak ada sapi yang disembelih di desa ini. Warga lebih suka makan daging ayam dengan sambal terasi, atau dengan sambal goreng kangkung, daripada sapi,” ujarnya.

“Ah, apa ketika Idul Adha mereka tidak sembelih sapi, tak santap daging hingga kikilnya, Pak Lurah?” tanyaku. Ya, di desa ini, juga desa sekeliling daerah ini, kepala desa tetap saja dianggap lurah, meski jelas adalah kepala desa, dipilih dengan voting rebutan giting.

“Ah! Kau memang orang baru, Mas. Tak ada sapi sejak sewindu lalu, mereka lebih suka kambing atau domba. Asal kau tahu, Lebaran Haji kemarin saja masjid itu potong selusin kambing. Tak ada sapi disembelih di desa ini. Takut sapi gila,” ucapnya sambil menunjuk arah masjid terdekat.

Ah, benar, aku belum pernah menemui bulan Haji di sini. Dan Bari melanjutkan kuliahnya tentang sapi, tetap dengan artikulasi mantap yang diselingi asap. Dulunya, Lurah Bari berprofesi sebagai blantik. Pekerjaannya sederhana, dia cukup mengambil margin harga antara peternak sapi dan konsumen, si kaya yang doyan menyembelih sapi. Lurah ini pernah kaya karena itu, hingga dikabarkan ngingu tuyul. Maklum, orang desa. Orang desa memang sederhana, mudah ditebak dan selalu begitu.

Namun, kini sudah tidak. Tepatnya semenjak lima belas tahun yang lalu, si Bari muda berhenti jadi blantik, ketika ramainya penyakit sapi gila. Namun dia berhenti bukan karena itu. Suatu saat, ketika dia bertemu kawan lamanya yang gila koperasi, mengajak debat Bari, dan ternyata, sehebat-hebatnya Bari berdebat, dia pernah kalah juga.

“Pekerjaan kau jadi makelar sapi tidaklah akan berkah,” kata Bari menirukan si fulan yang tak disebutkan namanya. “Lalu aku berhenti jadi blantik. Aku bertani jagung hingga kini. Ternyata hasilnya tak jauh beda, ditambah aku punya sawah, kutanam padi, beberapa petak kutanam beras ketan.”

Namun, pada puncak serangan penyakit sapi gila, sembilan tahun lalu, yang warga desa tidak peduli dengan istilah medisnya, Bari dengan segala tabungannya kembali membeli sapi, khusus sapi yang mau mati. Dia bahkan berebut dengan pedagang spesialis sapi sakit. Terutama sapi-sapi yang suka menyeruduk tuannya, dan jika dibuka otaknya telah berkurang dan membusa. Meski berhenti jadi blantik, uangnya hampir habis guna membeli sapi. Yah, dia tak menjual, hanya membeli.

Pedagang sapi bangkai marak pada saat itu, meski bangkai sapi gila dilarang pemerintah untuk dijualbelikan, masyarakat tidak mau rugi, atau lebih tepatnya enggan untuk sangat rugi. Dijuallah sapi penyakitan itu kepada pedagang sapi bangkai. Musuh pedagang itu adalah Bari. Bari hanya membeli, kemudian membakar bangkainya di terbis sawahnya.

“Aku dianggap gila, Mas. Aku rela bongkar lumbung guna membakar sapi gila. Jangan sampai orang-orang ketularan gilanya sapi.”

Namun, warga pun akhirnya tidak enak hati, mereka dengan segera bergunjing kebaikan Bari di setiap sudut Pasar Senin, pasar teramai sekaligus tersenyap di Setrodaya. Banyak yang menyatakan Bari orang yang sangat baik, namun tak usah terlalu heran jika tak sedikit pula yang menganggap sok-sokan. Sekali lagi, ini desa.

Orang yang menganggap Bari baik, tanpa disuruh pun mendukungnya, mereka membawa sapi sakit mereka ke sawah kemudian disembelih dan dibakar. Yang tidak suka dengan Bari, mereka akan tetap menjual sapinya ke orang luar, meski Bari mau membayarnya dua kali lipat dari harga itu. Orang yang netral, tetap saja menjual pada harga tertinggi, sesuai kaidah ekonomi.

“Padahal mereka tahu lho, Mas…. Bangkai itu akan dibawa ke pabrik untuk digiling menjadi tepung lalu dijual untuk menjadi pakan, pakan sapi pula. Lagi-lagi ini sebenarnya dilarang oleh pemerintah. Namun, sekali lagi mereka orang desa, negara tidak banyak hadir di desa,” cerita Bari sambil menyindir nasionalisme. Memang, tak kujumpai upacara tujuh belasan di balai desa.

Kabar baiknya, menurutku, Bari tak benar-benar berhasil menghabiskan sisa tabungannya, meski dia tetap bisa membakar bangkai banyak sekali. Hampir lima ekor tiap hari. Sebulan penuh. Aku heran kenapa Bari begitu semangatnya dulu untuk membakar sapi, bahkan rela untuk menghabiskan segala tabungan gabah untuk membayar sapi hampir mati. Aku belum menemukan jawaban. Wajar lah, mungkin dia merasa saking perhatiannya dengan warga, sampai segila itu. Sambil menunggu Bari yang sedang ke kamar mandi, aku merenung dan menimbang, juga teringat kopi yang sudah hampir membeku. Aku menyeruput sambil mengencangkan alur pikir, memikirkan soal kewarasan Bari.

Bari datang melenyapkan lamunan. Lalu, dia mulai lagi kuliahnya, kali ini kuliah dini hari. Dia bercerita dengan gamblang kenapa dia sangat suka membeli sapi mati, atau setengah mati, waktu itu. Aku mendengar sambil mencari kata-kata yang membuktikan Bari tak pernah sinting, supaya aku tak bermertua sinting juga.

“Ketika desa terkena wabah sapi gila, aku pergi ke sana-sini, mencari pakar. Aku bertanya pada semua orang yang dianggap ahli tentang penyakit ini. Intinya, pada kesimpulan bahwa penyakit ini beredar begitu pesat karena sapi diberi pakan gilingan sapi yang penyakitan itu juga. Sama saja, yang gila ternyata tak hanya sapi,” ucapnya menghujat pengusaha sapi giling yang tak manusiawi. Menganibalkan sapi. Bari, yang mengerti, lalu melakukan tindakan yang dianggap tidak waras untuk membuktikan kewarasannya. Dia membeli semua sapi sakit terutama yang terkait sapi gila, yang nama ilmiahnya tak pernah Bari bisa eja. Baginya, ejaan bukanlah esensi.

Di ujung diskusi, tanpa direncanakan, aku mendapat sebuah rahasia baru tentang sapi gila. Suatu saat, Bari dan keluarganya, yang ternyata dulunya suka makan sapi, tapi tak pernah memotong sendiri, selalu membeli di Pasar Senin. Tak lama berselang, seorang yang menurut Bari sangat mirip anaknya, sakit keras. Kian lama kian terlihat menderita. Otaknya membusa, berkurang beberapa senti, kata dokter tenar dari kota. Lama-lama mati. Sialnya, Bari baru tahu bahwa penyakit ini bisa menular ke manusia, justru langsung ketika istrinya mati, dengan otak yang membusa. Namun Bari tetap waras.

*Penulis adalah Editor Senior LPM Skëtsa, Pemimpin Redaksi 2014, dan Pemimpin Umum 2015 pada lembaga yang sama.

 

Catatan Redaksi:

Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017 pada Rubrik Sastra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *