Oleh: Anisa Faqot
“Aku berjanji, ini terakhir kali aku berbuat curang.”
Tangan kanannya mengepal kuat dan bulat, lantas kepalan tersebut ditepuk-tepuk pada dada bagian kiri. Seolah mengikrarkan sesuatu, laki-laki tambun ini bermonolog sembari terus membolak-balik koran di hadapannya.
Tersenyum dia mendapati dirinya yang ternyata menjadi headline surat kabar ternama di kota ini. “Ghulam Madani: Pejabat terbersih tahun ini versi Derum Pers.” Dia tak menyangka akan sebaik ini kinerja oknum yang menerima suapnya pekan lalu.
“Sehalus mungkin, buat berita tentang saya, tangkis semua pemberitaan miring tentang saya dengan data akurat.”
“Sip, asal Bapak bisa diajak koordinasi saja, semua beres,” laki-laki berkulit cokelat tersenyum meyakinkan, tak lupa membuat isyarat tanda ‘uang’ dengan jemari tangannya.
“Ah, itu soal gampang mas, nih!” laki-laki tambun ini menyerahkan amplop cokelat yang kembung oleh rupiah.
“Sip. Bapak tinggal duduk manis.”
Kini dia benar-benar duduk manis di ruangannya. Melihat wajahnya yang tampan– menurutnya–terpampang jelas di halaman depan koran. Dia terlihat sangat gagah, namun seketika dia mengerutkan kening melihat ada yang salah dengan foto dirinya. “Ah, dasar bodoh, nggak becus ngedit.” Dia menyesalkan tak menekankan poin ini, harusnya perut buncitnya jangan terlalu diekspos, sedikit mengurangi wibawa, pikirnya.
“Tak apalah, yang penting konten beritanya,” dia terus bermonolog dengan batinnya. Entahlah, sudah sesering apa dia melakukan ini.
Perlahan, dia membaca satu per satu kalimat dengan saksama, sesekali memicingkan mata dan menjauhkan objek bacaan, mengingat matanya kini hipermetropi, namun dia tetap tak mau mengenakan kacamata plus, culun pikirnya.
“Hakim agung kelahiran 1956 ini merupakan sosok penegak hukum paling jujur yang tak kehilangan idealismenya hingga saat ini, ketika mahasiswa dia dikenal sebagai orator handal (oral) ketika memimpin demonstrasi…..”
Dia tersenyum merekah, memang benar, paragraf ini tak sepenuhnya salah meski pada awal kalimat dia muak sendiri, betapa hiperbola-nya ungkapan si penulis berita.
“Ejawantahkan idealisme kalian selama menjadi mahasiswa, karena ketika sudah terjun di lapangan kerja, idealisme itu akan menguap entah kemana!”
“Saya kurang setuju Pak, idealisme tetap idealisme, akan tetap ada hingga nafas berhenti berhembus.” Dia mengingat bagaimana beraninya dulu menentang pendapat salah satu dosen yang telah ringkih, hampir pensiun.
“Bagus kalau kau meyakini itu, buktikanlah!” Kini dia membuktikan bahwa dosen ringkih itu memang benar.
Ah, dia rindu sosoknya yang dulu, kaya akan idealisme. Selaksa peristiwa ketika dia masih mahasiswa tiba-tiba menjelma nyata di hadapannya, begitu jelas dan lugas.
“Hari ini, kita akan merobohkan tirani yang telah melukai nurani rakyat. Kita akan membongkar pagar-pagar kesewenangan penegak hukum negeri ini, mana bisa hukum disamakan dengan daging sapi yang bisa dijual beli. Seharusnya hukum tak pandang bulu.” Matanya memerah waktu itu, ribuan peluh melengkapi semangat juangnya berorasi di depan gedung kejaksaan.
Dia ingat jelas suara riuh rendah kawan-kawannya yang jua memiliki gelora juang yang membara.
“Hidup mahasiswa!” pekikannya lantang, membakar semangat massa.
“Hidup mahasiswa!” mahasiswa lainnya mengekor meneriakkan pekikan perjuangan.
“Hidup rakyat Indonesia!”
“Hidup rakyat Indonesia!”
“Hidup hukum dan keadilan Indonesia!”
“Hidup hukum dan keadilan indonesia!” gemuruh suara lautan mahasiswa benar benar menggetarkan gedung megah di depan mereka.
“Merdeka!”
“Merdeka!”
Suara mereka terus membahana, tak ada tanda-tanda untuk mengakhiri kegiatan demonstrasi ini. Sejam, dua jam, hingga petang, kerumunan ini tak jua bubar.
Kesabaran mereka berbuah, pegawai kejaksaan membuka sedikit gerbang tinggi yang menjadi batas demonstrasi. “Hai kau yang di atas podium, kemarilah! Pak Jaksa ingin berdialog denganmu!”
“MERDEKA!” Ghulam mengepalkan tangan dan menonjokkannya ke udara, membuat suasana semakin riuh dan gemuruh oleh tepuk tangan.
“Merdekaaaaaaaaaaaa!” suara massa menyambut pekikan Ghulam.
Ini adalah sejarah besar dunia demonstrasi, jarang sekali pejabat yang didemo memanggil pemimpin demonstran, langka terjadi dialog seperti ini, mahasiswa ini memang berbeda.
Segera dia memenuhi panggilan Pak Jaksa.
Sementara massa di luar pintu gerbang tak menurun semangat mereka barang sesenti, mereka terus memekikkan kata-kata pemantik semangat, gabungan mahasiswa jurusan ilmu hukum seluruh Indonesia ini benar-benar tak ingin main-main memperjuangkan nasib hukum negeri ini, setidaknya selama mereka kuat dan masih menyandang status mahasiswa, mereka tak akan luput beraksi demi satu nama: keadilan.
Selang beberapa menit, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar, wajahnya lusuh dan lemas. Tertunduk lesu. Perlahan menaiki kembali podium, yang unik adalah dia dikawal oleh beberapa pegawai kejaksaan, dan yang luar biasa, di belakangnya Pak Jaksa yang tengah ramai didemo dengan gagah berani menyeret Ghulam. “Bicaralah sejujurnya wahai pemuda!” Pak Jaksa membungkam suara kerumunan yang sedari tadi bising seperti suara lebah, suasana benar-benar senyap kini. Beberapa media massa yang sedari tadi penasaran dengan ending demonstrasi ini, kini tengah siaga menyorotkan kamera ke fokus utama, Pak Jaksa dan seorang mahasiswa bernama Ghulam.
“Baiklah, saya Ghulam Madani akan mengakui suatu hal yang tidak pernah kalian tahu,” suara Ghulam tak semeyakinkan tadi, kini suaranya benar-benar lemah. Di sampingnya Pak Jaksa tersenyum merekah. “Cepatlah! Agar kekacauan ini tidak berkepanjangan,” hardik jaksa.
Ghulam menghela napas panjang, mengambil pengeras suara, memegangnya eraterat. “Pak Jaksa ini,” sejenak dia melirik samping kanannya, Pak Jaksa yang tersenyum pongah. “Pak Jaksa ini benar-benar patut untuk dirajam berkali-kali, dia benar-benar telah memakan uang rakyat. Lihatlah! Ini amplop cokelat yang tadi dipakainya untuk menyuap saya agar berkata dusta. Lihatlah, saksikanlah, sepuluh juta untuk membungkam mulut seorang mahasiswa. Lihatlah!” Ghulam melempar amplop cokelat tebal itu ke arah wajah Pak Jaksa. Seketika, beberapa polisi berusaha menurunkan Ghulam. “Lihatlah, polisi-polisi ini melindungi orang biadab yang telah rakus memakan keringat rakyat, kita tak bisa diam. Wahai pers! Liputlah ini semua, hari ini kita telah sama-sama mencium bau busuk penegak hukum kita!” Melotot sudah Pak Jaksa, memerah wajahnya, anak bau kencur ini telah menipunya, telah mengelabuinya, perkataannya ketika audiensi di ruangannya berbanding terbalik dengan apa yang diucapkan di depan massa. Menyogoknya ternyata tak semudah menyogok para polisi yang menjaganya kini, Ghulam segera diringkus dan dijebloskan ke penjara.
Meski dia pernah merasakan dinginnya lantai penjara selama seminggu, namun kebenaran selalu mengalahkan kecurangan dengan telak, di pengadilan, bukti dirinya tak bersalah sangat kuat, ribuan pasang mata rela menjadi saksi kebenaran dirinya.
Hatinya tergetar, mata bulatnya berlinang, mengingat masa perjuangan ketika itu membuatnya terenyuh, betapa jungkir baliknya dia kini, kini dia adalah jaksa yang dulu didemonya, bahkan lebih jahat dan licin. Sudah tak terhitung berapa amplop cokelat yang telah masuk tas hitamnya. Embun di matanya meleleh sudah. Dia benar-benar sudah bertekad bulat untuk menghentikan kecurangan ini, berhenti untuk menzalimi rakyat.
Tiba-tiba dia teringat mendiang ayahnya, seorang pengrajin gerabah yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk politik. “Nak, tak peduli sebesar apapun badai menghantammu, kau tak boleh menggadaikan harga diri, ingat namamu adalah Ghulam Madani, pemuda yang beradab, semoga kelak kau tumbuh menjadi sosok yang beradab.”
Kenapa bisa dia tumbuh menjadi sosok yang sangat tidak beradab, seharusnya nama lengkapnya adalah Amadani, tidak beradab sama sekali. Dia benar-benar tergetar, belum lagi ketika mengingat anak bungsunya yang kini juga berkecimpung dalam dunia hukum, mahasiswi hukum internasional ini sungguh membanggakan sosok yang dipanggilnya Ayah, bidadari kecilnya itu mewarisi penuh idealismenya ketika muda. “Ana akan melanjutkan perjuangan ayah, Ana akan seperti ayah, menjadi hakim terbersih di negeri ini.” Gadis berkerudung itu memeluk dia penuh kasih, orang yang dipanggilnya ayah ini justru adalah seorang serigala berwujud manusia. “Ana bangga punya ayah yang tetap memiliki idealisme kuat, kejujuran tinggi, Yah.” Sebenarnya ketika anak bungsunnya berkata seperti ini, dia ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok di hadapannya, sungguh dia adalah pembohong kakap yang telah mengelabui siapa saja. “ Aku benar-benar bertekad, tekadku bulat, tak akan lagi aku menerima suap juga menyuap. Aku janji, ini terakhir kali, pers Derum ini adalah yang terakhir.” Untuk ke sekian kalinya dia bermonolog. Menguatkan diri dengan tekadnya yang sudah benar-benar bulat.
Getaran handphone menyadarkannya dari berbagai selaksa peristiwa yang telah menjelma, dua pesan singkat masuk.
Pesan pertama: Pak, tolong menangkan kasus saya, Polisi Hutan Kalimantan sedikit bandel, dia harus diberi pelajaran oleh Bapak. Soal uang kerjasama, gampang Pak, perusahan menyiapkan anggaran 500 M untuk Bapak. Mohon dipertimbangkan.
Dengan lugas dan gerakan cepat dia me-reply pesan itu: TIDAK!
Kemudian segera dia membuka pesan kedua: Ayah, Ana lolos seleksi kuliah hukum di Amerika, mudah-mudahan Ayah ada rezeki untuk membiayai sekolah Ana. Ana ingin jadi penegak hukum, bukan hanya Indonesia, tapi internasional, hakim jujur seperti Ayah.
Hatinya tersentak. “Bukankah butuh biaya besar jika harus sekolah di negeri itu?” “Saya berubah pikiran, kita bisa kerjasama.” Klik, tanpa pikir panjang dikirimnya pesan ini kepada orang yang mengirim sms pertama. “Ini demi anakku, demi anakku.” Dia lagi-lagi bermonolog, entah sudah berapa kali “Ah lama-lama aku bisa gila nih.” Dia menghela nafas panjang, menepuk-nepuk ringan perutnya.
“Ah, ternyata tekadku belum sebulat perutku. Maafkan aku.”
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.