Rombeng

Oleh: Japal Fauzi

Ilustrasi: Rachma Amalia
Ilustrasi: Rachma Amalia

Usianya sekitar tiga puluh lima tahun, beristri dan punya satu anak. Dia memiliki pekerjaan yang lumayan penghasilannya. Dalam keseharian, dia juga berlaku wajar, berangkat bekerja  pagi hari dan pulang sore hari. Jika malam tiba, dia pun ikut beristirahat, bahkan tidurnya mengorok. Tak ada yang aneh dengan dirinya. Dia lelaki betulan, manusia berkumis tipis dari keturunan Adam. Dia adalah makhluk berakal yang tidak berbeda seperti manusia lainnya. Dia juga punya nama, Rombeng.

Ada satu kelebihan yang dimiliki Rombeng. Di setiap tindak-tanduk dan perbuatan, dia selalu bilang “Ya”. Rombeng selalu menyetujui segala sesuatu yang dimaui orang lain. Dia begitu patuh, memegang teguh nasihat ayahnya yang berasal dari petuah moyangnya. Mengatakan “Ya” masih lebih berarti daripada ucap“tidak”. Sebab kata “Ya” adalah kejujuran; dua huruf “Y” dan “A” adalah kebaikan, mencipta manusia memiliki karakter dan berpendirian teguh. Hingga saat ini Rombeng lebih senang mengatakan “Ya” kepada siapa pun.

Sifat khas yang cenderung aneh itulah menjadikan Rombeng dapat dengan mudah diperalat oleh orang lain. Termasuk istri dan anak perempuannya. Denok, wanita yang memiliki tubuh gemuk, berkulit cokelat, mencari keuntungan atas prinsip unik suaminya. Ia tahu benar kalau suaminya tidak akan pernah menolak jika diperintah membantunya mengerjakan tugas-tugas rumah. Seperti memasak, mencuci, menyapu, dan mengepel rumah. Rombeng mengerjakan semuanya sebelum berangkat bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan elektronik di pinggiran ibu kota.

Bahkan, Centil, anak semata wayangnya yang duduk di sekolah dasar, ikut-ikutan memanfaatkan kelebihan ayahnya dengan memerintah mengerjakan tugas belajar di sekolah. Termasuk menyiapkan segala keperluan sekolah. Rombeng menurut saja. Perlakuan timpang itu sudah dikerjakan selama bertahun-tahun. Dia menganggap hal itu merupakan perbuatan yang membawa kebaikan buat dia dan keluarganya.

Banyak para tetangga, khususnya kaum laki-laki bersimpati kepadanya. Mereka memberikan dukungan moral, sekaligus mengimbau kepada istri-istri supaya tidak mempermainkan para suami. Mereka mengingatkan kalau, “kaum istri tidak boleh membully para suami. Durhaka!” Jika hal itu terus terjadi terhadap Rombeng, mereka akan mengadukannya ke Komnas HAM.

Rombeng hanya senyum-senyum saja menanggapi. Toh, kenyataannya,  tak seorang pun melaporkan musibah yang menimpa dirinya. Pernyataan simpatik itu cuma kelakar angin, hanya perhatian kosong, nikmat untuk dipergunjingkan di kedai kopi dan tempat tongkrongan. Sebab sampai kini dia tetap jadi bulan-bulanan sasaran empuk istri dan anaknya.

Sampai akhirnya Rombeng secara kodrat terbebas dari perlakuan semena-mena. Sebab dirinya telah berhasil mendekam di penjara. Bulan lalu, Rombeng menyanggupi membuat proposal anggaran pengiriman barang dalam jumlah besar pada perusahaan berkembang di Jakarta. Menurutnya, pekerjaan itu merupakan bagian dari tanggung jawabnya, meskipun tugas rutinnya mendata dan menyampaikan faktur barang yang akan dikirim kepada konsumen.

Jangankan soal tulis-menulis, mengangkat barang elektronik dan perabot rumah tangga dari gudang ke mobil pengangkut pun dia sudi membantu. Rombeng pun selalu katakan “Ya”, menggantikan sopir tidak masuk kerja, sebab membolos, atau sakit, Rombeng mengantar barang itu sampai ke tujuan.

Ternyata proposal yang dibuatnya merupakan transaksi pengiriman fiktif. Rombeng dituduh menggelapkan uang perusahaan. Walhasil dia dicari pihak berwajib, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara. Pahit memang kenyataan yang diterima. Orang lain yang berbuat, dia yang bertanggung jawab.

Berada di penjara, Rombeng masih memiliki keyakinan kalau kata “Ya” masih membawa kebaikan dan keberuntungan buatnya. Buktinya dia merasa cukup tenang dan senang berada di sel bersama keempat sahabat barunya yang memiliki profesi berbeda-beda. Rombeng tak pernah menolak jika diberi sesuatu oleh rekannya di tahanan. Nasi bungkus ala kadarnya, kopi, dan air putih. Bahkan kerap kali Rombeng menerima beberapa batang rokok dari orang-orang pembesuk temannya, walaupun sebenarnya ia tidak merokok. Demi solidaritas, mereka bersatu di kamar pesakitan.

Keempat temannya masuk ke penjara melalui jalur ekspres atas tuduhan sebagai preman, pedagang kaki lima, pengamen, dan pengemis. Profesi yang mudah digulung petugas ketertiban di tempat-tempat umum. Sementara Rombeng ditangkap polisi dengan dalih seorang koruptor. Menurut celoteh teman-temannya, ruang tahanan para koruptor bukan di sini. Mereka diistimewakan. Seharusnya Rombeng dibawa ke ruang tahanan yang mewah. Namun, lagi-lagi Rombeng katakan “Ya”. Dia rela jika harus berdesakan dan berhimpitan di kamar berukuran 4 x 6 meter yang dipenggal seperempat bagian buat MCK.

Rombeng bersedia ditempatkan di ruang tahanan yang kecil dan sempit, lembap, kotor, serta bau sisa bumbu makhluk berakal. Kebersamaan terjalin baik di sini. Mereka semua adalah sama, yakni para napi. Mereka harus saling berbagi, serta saling mengerti karakter masing-masing.

Pernah sekali Rombeng dikunjungi Denok, istrinya, sekitar lima bulan yang lalu. Sementara hakim telah memberikan vonis tujuh tahun penjara. Rombeng berlaku wajar menerima kunjungan istrinya. Tidak merasa senang, tidak pula merasa sedih. Meskipun dalam hati, dia mengakui kalau istrinya bertambah menarik. Tubuhnya semakin gemuk, mukanya terawat, serta kulit badannya diluluri wewangian yang semerbak.

Ada satu persoalan yang dibawa istrinya, sampai-sampai dia mau membesuknya. Di dalam kamar tahanan sana, teman-temannya berharap banyak terhadap kunjungan Denok, istri Rombeng. Berkhayal memperoleh makanan lezat, minuman segar, rokok, dan kopi yang nikmat. Sebab Rombeng adalah napi berlabel koruptor. Ternyata, kunjungan istri Rombeng hanya lenggang kangkung dan pepesan kosong.

Tak ada basa-basi, tanya kabar, atau sesuatu yang mungkin membuatnya senang. Denok malah mengajukan keinginannya untuk bercerai. Rombeng tak menyahut, hanya sedikit terkejut. Dia sudah menduga jika akan mencuat kata “cerai” dari bibir istrinya yang tebal. Denok minta dilepaskan dari ikatan perkawinan.

“Katanya, Mas akan dipenjara selama tujuh tahun. Mana saya sanggup ditinggal selama itu tanpa diberi uang. Apalagi harus selalu mengurus dan membersihkan rumah itu sendirian. Saya tak kuat, Mas!” dalihnya sambil melihati muka datar suaminya.

“Saya minta cerai, Mas?” desaknya diulang.

Rombeng tak bicara banyak. Dia cuma bilang, “Ya.” Itulah jawaban paling hebat menurut teman-temannya di penjara.

Di sel-sel tahanan dan di seluruh area rutan, Rombeng hangat dibicarakan sebab kepasrahannya. Bahkan peristiwa Rombeng jadi perdebatan para warga rutan. Serta-merta Rombeng jadi terkenal. Dirinya diperbincangkan bak artis kagetan. Ia pun dijuluki “Mr. Ya” Meskipun senang dibicarakan, Rombeng tidak suka mendapat julukan seperti itu. Rombeng takut jadi sombong, egois, dan congkak suatu saat nanti. Rombeng hanya mau menjadi manusia yang jujur, tak pernah mendewa-dewakan harta, tahta, dan wanita. Dia kerap memegang teguh prinsipnya, ingin hidup tenang dan bahagia sebab kejujurannya.

Begitu ikhlas dan tabah Rombeng menjalani proses hukuman sesuai vonis yang ditentukan. Tak ada pembelaan darinya atau dari perusahaan yang menjebloskannya, dan tak ada grasi pemerintah. Hukuman tujuh tahun dijalani dengan baik sebagai warga negara yang taat hukum.

***

Rombeng duduk-duduk bermalas-malasan di gerbang rutan sebab memikirkan langkah untuk pulang. Lagi-lagi dia terbius oleh cerita hidupnya di penjara selama tujuh tahun. Kini, Rombeng berada di luar lapas, terbebas dari terali besi. Usianya telah mencapai empat puluh tahun lebih. Namun, tubuhnya tampak sehat. Sebetulnya banyak penawaran tempat tinggal dan pekerjaan baru dari rekannya yang sudah keluar penjara lebih dulu. Rombeng cukup katakan “Ya”, dan semua itu berlalu dengan sendirinya.

Rombeng berubah banyak, bentuk fisiknya kelihatan seperti tentara padang pasir. Tubuh tinggi besar, kekar, dan kuat. Berbeda dengan dulu yang bertubuh kecil, layu, dan rapuh. Sekarang wajahnya padat bercahaya, ditumbuhi kumis dan jenggot lembut yang menggantung di dagu runcing. Berbeda dengan dulu, wajahnya lembek, plontos dan pucat. Prinsip hidupnya, sebagai insan yang menggenggam kejujuran, tentu lebih diperhitungkan agar menjadi manusia bernilai di mata manusia dan makhluk lain, juga diakui sebagai hamba pilihan oleh Tuhan.

Ilustrasi: Imma Mahmudah
Ilustrasi: Imma Mahmudah

Tiba-tiba seorang polisi yang gagah, memiliki beberapa bintang di pundaknya menghampiri. “Mengapa belum pulang juga? Kamu sudah bebas sekarang.”

Rombeng menggaruk-garuk rambut gondrongnya yang hitam, kemudian tersenyum seraya mengangkat bahunya dengan santun.

“Aku tahu kesulitanmu,” polisi menopang dua lengannya di pinggang, lalu melanjutkan kata-katanya, “mau kerja denganku?” dia menawari.

“Jadi polisi?” Rombeng balik tanya.

“Tentu tidak? Ada pekerjaan yang lebih bagus.”

Rombeng terdiam beberapa saat, kemudian membuka senyum lebih lebar. “Ya, terima kasih. Saya mau pulang saja,” katanya santai seraya berjalan tenang meninggalkan polisi berpangkat yang masih berdiri dalam kehampaan.

Rombeng sendiri tidak tahu harus pulang ke mana? Di rumah sudah pasti mantan istri dan anaknya tinggal bersama ayah baru. Ikhlas Rombeng menerima nasib hidupnya. Bisa saja hal itu diperkarakan, namun dia sudah tahu kalau hasilnya sama. Tak punya uang, tak bisa menang.

Rombeng terus berjalan mengikuti kata hatinya dalam langkah pasti menuju ke jalan terbaik. Namun, baru beberapa langkah dia melangkah, puluhan orang berduyun-duyun menghampiri. Mereka membawa peralatan siaran, seperti kamera, mikrofon, dan tape recorder yang digunakan untuk meliputnya. Sebab di tanah ini, siapa pun akan dengan mudah menjadi artis, termasuk para koruptor.

Rombeng mundur beberapa langkah, terkejut didatangi sedemikian rupa. Lebih-lebih lagi beberapa pertanyaan menyerang silih berganti dari kuli tinta yang berhasrat besar mau mengekspos dirinya seputar kebebasannya dari penjara.

“Selamat, Mas sudah bebas sekarang. Apakah mau melanjutkan pekerjaan seperti semula atau mau menerima tawaran beberapa produser untuk bermain film?” tanya wartawan wanita yang cantik.

”Ya,” balasnya singkat dengan senyuman.

Wartawan lain menimpali, “bagaimana dengan peran yang akan dipilih oleh Mas. Adakah kaitannya dengan tokoh jahat, seperti… koruptor misalnya.”

“Ya,” lanjutnya lagi.

“Adakah kesamaan antara insan perfilman dengan para koruptor di lembaga kita?”

“Ya.”

“Seperti apa misalnya?” desak beberapa wartawan penuh semangat.

“Ya, sama-sama tukang bohong!”

Bertubi-tubi pertanyaaan masuk ke telinganya. Kilatan pantulan cahaya dari puluhan kamera terus menghujani mukanya yang tegak. Menurut pengakuan beberapa wartawan, wawancara ini merupakan liputan eksklusif yang ditayangkan secara langsung di beberapa stasiun TV.

Ketenaran Rombeng di sel tahanan selama tujuh tahun mampu menarik simpati insan media. Kejujuran, keikhlasan, serta kepribadian Rombeng yang istimewa berhasil membawanya menjadi orang terkenal. Namun, Rombeng tak tergiur dengan kemasyhuran dunia. Dia hanya menyakini bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi manusia jujur yang mampu memegang pendirian kuat untuk menggapai kehidupan berarti di mata manusia dan Tuhan dengan prinsip hidup sederhana dalam keyakinan diri untuk memperoleh kebahagiaan hakiki.

***

 

Catatan Redaksi:

Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *