Oleh: Muhammad Driandra Elvanda Agassti
*Cerita ini mengandung hal-hal yang mungkin akan membuat pembaca tidak nyaman
Ella Silverline hanya seorang gadis desa dengan hati lembut ibarat kupu-kupu yang mendarat di atas daun yang rapuh, raut wajahnya membawa kebahagiaan bagai hasil panen yang mengisi neraca timbang secara utuh, dan pandangan mata yang dia miliki tampak sejuk bagai ternaungi pohon rindang yang teduh. Tidak ada masalah yang bisa diingat ketika manusia mendengar suara lembut yang keluar dari mulut mungilnya, dan tidak ada satu pun jiwa yang pernah tersakiti oleh tangan halusnya.
Semua orang di desa menyapanya saat dia terlihat dari ujung mata mereka, Mereka akan menyempatkan diri untuk memberikan Ella beberapa barang yang mereka jual atau hanya sekedar bertanya keadaan orangtua dan adiknya di rumah. Orangtuanya yang berkerja sebagai petani ladang jagung di desa kecil ini tidak jarang mendapat pujian dari warga desa karena telah melakukan kerja yang baik dalam mendidik anak pertama mereka.
Tempat Ella lahir, sebuah desa kecil di perbatasan negara, memiliki keterbatasan teknologi. Mereka tidak punya TV, tidak ada internet, yang mereka punya untuk mengakses dunia luar hanya radio yang sebagian besar salurannya memiliki suara lebah. Hal itu membuat Ella tidak menghabiskan masa kecilnya dengan mainan canggih seperti anak seusianya di kota. Namun, anak-anak desa selalu punya cara untuk menghabiskan waktu mereka yang melimpah.
Untuk Ella kecil, saat dia tidak memiliki tugas dari sekolah dan tidak sedang membantu keperluan orangtuanya, dia akan berjalan beberapa ratus meter ke arah selatan dari rumahnya untuk duduk di sebuah ayunan kayu yang menggantung pada dahan pohon oak yang tetap kokoh walau sudah terlihat tua.
Entah siapa yang membuat ayunan itu dan alasannya membuat ayunan di tengah tanah tak bertuan. Namun, Ella kecil bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya berayun di tempat itu. Terkadang membawa adik laki-lakinya untuk bergantian dan menikmati waktunya selagi cahaya matahari yang hangat membelai lembut wajahnya, tidak memikirkan masalah apapun di dunia.
***
…Dingin. seingatnya tadi malam tidak sedingin ini.
Bangun dari tidurnya, Ella sadar dia tidak sengaja menendang jatuh selimutnya dari kasur saat terlelap dalam tidurnya. Jam bekernya bahkan belum berbunyi saat dirinya turun dari kasur untuk membasuh wajah. Melihat kantung hitam di bawah matanya pada cermin, dia sepenuhnya sadar jika tidurnya tadi malam masih kurang karena dia membuka matanya hingga tengah malam.
Sejak dia meninggalkan desanya untuk menjenjang pendidikan yang lebih tinggi di kota, sejujurnya dia tidak pernah tidur dengan tenang. Selama hampir dua puluh tahun hidup bersama keluarga kecilnya, ini pertama kalinya dia terpisah dari mereka selama ini, meninggalkan orangtua yang sudah melewati umur setengah abad dan adik laki-lakinya di desa membuat hati kecilnya yang rapuh merasa cemas memikirkan keadaan mereka setiap matanya terbuka.
Namun, dia tahu betul pagi ini sedikit berbeda, bersama rasa cemas memikirkan keluarganya, terdapat sedikit rasa semangat yang hangat membuncah dari dadanya. Percaya atau tidak? Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang hakim kota.
Yap, hakim kota.
Sepuluh tahun yang lalu dia membuat keputusan besar untuk menimbang ilmu di kota, dirinya hanya berharap bisa mendapat pendidikan yang cukup sehingga dia mampu mencari pekerjaan yang layak untuk membantu menghidupi orangtuanya ketika mereka tidak lagi bisa bekerja di ladang nanti.
Empat tahun dia habiskan berkuliah di jurusan hukum, dua tahun menjadi seorang pengacara kecil, dua tahun mengikuti pelatihan hakim, satu tahun untuk sertifikasi dan pemantapan tambahan dan satu tahun lagi bekerja sebagai hakim anggota, sebelum akhirnya dia dilantik minggu lalu di bawah pengadilan lokal tempat dirinya tinggal sebagai hakim ketua. Memang tidak sulit, kota tempatnya tinggal tidak memberikan syarat yang menggunung untuk menjadi seorang hakim, walau sebenarnya menjadi seorang hakim sendiri –apalagi seorang hakim ketua– di usianya sudah menjadi pencapaian yang luar biasa. Namun, dia pikir semua orang bisa melakukan apapun selama orang-orang itu menghabiskan waktunya untuk berfokus mengejar hal tersebut.
Walaupun begitu, jika dirinya disuruh menjawab jujur, menjadi hakim bukanlah sepuluh pekerjaan pertama yang dia pikirkan ketika dia masih kecil. Setelah lulus sekolah menengah atas, dia hanya berpikir untuk mencari pekerjaan tetap yang mampu untuk sekedar menghidupi dirinya dan keluarganya di desa.
Ella sendiri sudah pernah menggunakan pakaian hakim dan datang ke ruang sidang saat pelatihan. Tapi dia sendiri tidak pernah membayangkan dirinya sendiri duduk di kursi tertinggi di tengah ruang sidang sungguhan, di depan terpidana, saksi, dan pengacara, sebagai otoritas tertinggi di dalam ruang itu, Bohong jika dirinya bilang bahwa dia tidak gugup.
Ella membuat pertanyaan sendiri di benaknya, apakah Ella Silverline, seorang gadis biasa dari desa yang tidak mengenal teknologi benar-benar bisa menjadi sosok itu? Membayangkan hal itu saja, Ella yang sedang mandi menjerit kegirangan di bawah pancuran air.
Setelah sarapan seadanya sambil menyaksikan berita orang hilang di TV, Ella keluar rumah mengenakan pakaian formal. Jas hitam, kemeja yang disetrika dengan baik, celana hitam panjang, dan toga hakim yang nanti dia pakai didalam tas pundaknya.
“Seperti orang penting saja,” pikirnya sambil tergugu–walaupun dia mungkin sudah dikategorikan sebagai orang penting– lalu naik bus dari halte yang tidak jauh dari apartemennya menuju pengadilan kota. Memang tidak jauh, hanya perjalanan lima belas menit menggunakan bus umum. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa jam tidurnya bisa dianggap kurang tadi malam, baru saja dia duduk dan menyandarkan tubuh lelahnya di kursi bus, dengan ceroboh dirinya terlelap tidur.
Hari pertama sebagai hakim dan dia sudah terlambat datang? Bisa saja hal itu menjadi bencana bagi Ella atau setidaknya membuat dirinya perlu menutup wajah sepanjang hari karena malu. Namun, seorang bapak tua menghilangkan segala kemungkinan buruk tersebut, tepat sebelum halte di depan pengadilan kota, dia membangunkan Ella dengan suara lembut.
Entah bagaimana dia bisa tau Ella turun disitu, mungkin dari pakaian yang dikenakannnya? Ella yang tersentak bangun lantas berterima-kasih ribuan kali sebelum akhirnya turun dari bus dengan terburu-buru sebelum akhirnya masuk ke komplek pengadilan.
Ini tentu saja bukan kali pertama Ella masuk ke dalam pengadilan, saat dirinya masih mahasiswi magang yang menjalani pelatihan hakim, dia sudah berjalan di lorong yang sama ini berkali-kali, yg berbeda kali ini adalah statusnya, dia seorang hakim, yang memiliki ruang kantornya sendiri disini.
*plak
Menampar wajahnya sendiri karena gugup, disinilah dia, di tengah kota jauh dari rumahnya, hidup sendiri di apartemen kecil yang dulu dia sewa dengan gajinya yang sedikit dari pekerjaan sampingannya sebagai pelayan, duduk di kantor pengadilan sebagai hakim ketua di usianya yang terbilang masih muda, hanya karena sebuah universitas jurusan hukum memutuskan untuk menerima dirinya yang saat itu mendaftar hanya untuk coba-coba.
Entah bagaimana, mengikuti arus takdir bisa membawanya sampai tempat ini.
***
Ella Silverline adalah seorang hakim lokal yang cukup disegani di kalangan orang yang berkecimpung di pengadilan kota tempat dia tinggal hampir tiga belas tahun terakhir ini, dia masih muda, penuh energi, dan yang paling penting, dia memiliki sifat yang paling dibutuhkan seorang hakim, yaitu jujur dan adil dalam mengambil keputusan selama proses persidangan.
Dia adalah tipe hakim yang memberikan hukuman sesuai dengan apa yang tertulis di konstitusi tanpa banyak berpikir, Orang yang tidak suka dengan pekerjaannya akan membicarakan Ella sebagai hakim pemula membosankan yang polos dan naif. Dia bukannya tidak peduli, selama dia tidak membuat masalah dan bisa mengirim uang ke keluarganya di desa tiap bulan dengan teratur, baginya menjadi hakim kecil membosankan seumur hidupnya pun tidak masalah.
Bulan ini pun tidak berbeda, dia menjalankan hidupnya sebagai hakim dengan tenang, menagani kasus-kasus kecil seperti vandalisme, pencurian kecil oleh anak SMA, bahkan mengadili kasus sepele seperti laporan tetangga berisik, semuanya dia lakukan dengan baik dan teratur. Setiap awal bulan dia akan menerima gajinya dari pengadilan dan membaginya untuk dikirim melalui surat untuk keluarganya atau dia bawa sendiri jika waktu menyempatkan dirinya untuk pulang ke kampung halamannya. Walaupun keluarganya tidak pernah meminta bantuan apapun pada Ella, dia hanya bersikeras untuk membantu mengurangi beban orangtuanya.
Setelah segalanya mulai terlihat lancar, dia bisa bilang dengan percaya diri bahwa hidupnya bisa terus berjalan lancar sebagai seorang hakim.
Atau begitu yang dia pikir…
Di sore hari yang dingin dan sedikit mendung, seorang bawahan Ella masuk ke kantornya dengan wajah yang terlihat khawatir dan dengan etika yang baik meletakkan secarik kertas yang masih hangat dari cetakan berisi detail kasus yang harus ditangani Ella di atas mejanya. Walau sudah bersiap-siap pulang ke apartemen dan menyaksikan acara TV favoritnya, Ella menyempatkan dirinya untuk meraih kertas di atas meja itu setelah melihat kekhawatiran yang diperlihatkan bawahannya tersebut.
Jonah B Jonathan, pria berumur diatas enam puluh, sedikit lebih tua dari orang tuanya, matanya sayu, rambutnya sudah rontok sebagian dan kulitnya putih dengan sedikit bopeng disana-sini. Dia bekerja sebagai seorang pengrajin keramik dari tanah liat. Tidak ada yang spesial dari orang ini, dia adalah tipe orang yang biasa ditemui pada angkutan umum atau antrian ATM. Jika melihat wajahnya, lembut dan sopan adalah hal pertama yang kau pikirkan tentang orang ini.
“Astaga…”
Hanya itu yang bisa dikatakan Ella ketika melihat detail kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Dua belas pembunuhan berantai…
DUA BELAS.
Semua tubuh itu, atau yang tadinya tubuh, semuanya ditemukan terkubur di pekarangan rumah Jonah setelah tetangganya yang terbangun di tengah malam melaporkan kadang mendengar bunyi seseorang menggali dari arah kediaman Jonah. Tujuh tubuh dengan anggota badan yang tidak tersambung ditemukan dan lima sisanya terlalu sulit diidentifikasi karena hanya berbentuk tulang belulang yang berantakan dalam satu lubang. Selain menemukan sidik jari Jonah di berbagai tempat, Tim forensik menyatakan bahwa beberapa tulang yang ditemukan terindikasi dimiliki anak kecil, dengan umur tidak lebih tua dari sepuluh tahun.
“Monster!” Ella meneriakkan kata itu di dalam hatinya, jika saja dia tidak menutup mulutnya saat ini, bisa saja dia memuntahkan isi perutnya setelah mendapat informasi seberat ini di tangannya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang kehilangan anak-anak kecil tersebut, membayangkan salah satu anak kecil itu adalah adiknya saat kecil dulu saja membuat kakinya lemas. tidak heran bawahannya terlihat khawatir ketika membawakan kasus ini ke mejanya.
Kasus ini sangat berat dan bukti yang ada sangat kuat untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, tidak akan ada pengacara yang mau mewakili orang seperti ini kecuali mereka ingin pulang dengan kekalahan. Bahkan, bisa dibilang mengadakan persidangan untuk kasus seperti ini sama saja membuang-buang waktu, yang mungkin terjadi selama sesi persidangan hanya pemaparan saksi dan pengakuan terdakwa dibawah sumpah tanpa adanya pembelaan yang kuat. Yang berakhir dengan penjatuhan hukuman setelah hentakan palu berbunyi tanpa gangguan.
Jujur saja, ini adalah kasus berat pertama yang harus Ella tangani sebagai seorang hakim, dia sadar betul jika tidak mengambil kasus ini, ada kemungkinan bahwa dia tidak akan mampu menangani kasus serius seumur hidupnya lagi. Karena membayangkan dirinya berhadapan dan menghakimi seseorang yang seburuk ini saja sudah membuat lehernya tercekik dan hatinya tertusuk pedang es.
Tidak mengambil kasus ini pun tidak masalah, pihak pengadilan bisa mengatur ulang segalanya dan memberikan kasus ini ke hakim lain untuk diadili. Namun, dibalik hati kecilnya yang rapuh, muncul sedikit keberanian di hati Ella Silverline sebagai manusia biasa dan penegak hukum legal untuk sekali saja seumur hidupnya mengatasi rasa takut dan menegakkan hukum sebagaimana mestinya dibawah palu yang akan dia hentakkan.
Setelah mengambil nafas yang cukup panjang, Ella tersenyum kecut ke arah bawahannya dan mengatakan dia akan menangani kasus ini sebagai hakim yang mengadili Jonah B. Jonathan.
***
Hari persidangan.
Entah sudah berapa kali sang hakim duduk di kursi tertinggi ruang persidangan ini. Suasananya selalu sama, ruangan putih yang megah dengan pintu kayu besar di kedua arah jalan masuk, kursi-kursi yang dijejer hingga berderet ke barisan belakang, sangat jarang terisi penuh. Di kursi-kursi itu kita dapat melihat orang-orang yang hadir dalam persidangan, sebagian besar yang duduk dibelakang adalah saksi atau tamu sidang.
Mulai maju ke barisan kursi depan terdapat orang-orang penting seperti bintang di persidangan ini, yaitu sang terdakwa. Berdiri di sebelahnya seorang pengacara yang dibayar negara, mewakili seseorang hanya karena hak terdakwa untuk memiliki pengacara. Lalu, di seberang barisan terdakwa terdapat pihak oposisi yang memiliki pengacaranya sendiri untuk mewakili mereka.
Ruangan dan suasana yang sang hakim lihat tiap persidangan selalu sama.
Namun kali ini…Atmosfirnya.
Rasanya oksigen menjadi berat seperti asap aspal, telapak tangan mengeluarkan peluh keringat diatas AC yang dinyalakan sepanjang hari, tenggorokan selalu haus walau berkali-kali dilewati seteguk air. Lalu, ketegangan tinggi tak bertuan yang membuat semua orang tidak berani bergerak atau bicara bagai tertodong oleh pistol berkaliber tinggi.
“Kumohon…!” Salah satu peserta sidang itu berteriak seperti hidupnya sedang dipertaruhkan. Baju jingga khas tahanan dan borgol yang melingkari kedua tangannya, dialah sang terdakwa. Dia memang sedang mempertaruhkan nyawanya dengan kata-kata.
“Yang mulia Silverline! Aku tidak bersalah! Pasti ada kesalahan yang dilakukan para polisi! atau seseorang menjebakku agar dia terhindar dari kejahatan yang dia lakukan!”
Hakim muda itu memutar pandangannya hanya untuk melihat peserta sidang lain menggeleng-geleng kan wajahnya mendengar teriakan minta tolong ini, mereka tau suara yang keluar dari mulut terdakwa ini hanya gonggongan terakhir seorang anjing yang sekarat. Bahkan pengacara yang dipinjamkan negaranya saja sudah berdiri lemas sejak tadi.
Jonah B. Jonathan. Orang yang diduga sangat kuat sebagai dalang dibalik hilangnya 12 orang secara misterius di kota itu, semua 12 tubuh manusia malang itu ditemukan terkubur di pekarangan rumahnya bersama sidik jari Jonah yang tersebar dimana-mana. Mengatakan bahwa pihak kepolisian melakukan kesalahan adalah hal yang bodoh, mencoba menyalahkan orang lain lebih bodoh lagi.
“Pembelaanmu ditolak,” ungkap hakim itu dengan suara yang lirih, “Pembelaan seperti itu tidak ada dasarnya kecuali anda bisa memberikan bukti yang kuat, sayangnya saya yakin anda tidak punya hal seperti itu, Pak Jonah.”
Hukuman untuk orang seperti Jonah sudah jelas. Hukuman mati tanpa toleransi. Pembunuhan saja termasuk dalam dosa besar yang dianggap layak dijatuhi hukuman mati di negara tempatnya lahir, apalagi dua belas pembunuhan berantai. Ella Silverline, hakim muda yang menangani kasus ini, hanya memiliki satu hal yang perlu dia lakukan untuk menutup kasus ini dan pulang ke apartemennya, yaitu mengetuk palunya dan menjatuhkan hukuman mati pada Jonah B. Jonathan atas nama hukum.
“Kumohon…” Suara itu datang lagi dari Jonah. Kali ini bervolume kecil, jika ‘tertindas’ bisa diterjemahkan dalam bentuk ekspresi wajah, maka wajah Jonah sekarang adalah jawabannya. “Aku punya anak dan istri…”
Memang benar, sejak sidang dimulai, terdengar isak tangis yang sayup-sayup dari barisan belakang, Sarah Jonathan dan Joell Jonathan. Keluarga Jonah Jonathan, hadir di kursi persidangan sebagai salah satu saksi, mengatakan ayah dan suami mereka tidak bersalah berulang-ulang, walau sekali lagi, pembelaan mereka tidak berdasar.
Kenapa orang sejahat ini masih merengek-rengek untuk melanjutkan hidupnya? Bukankah kehidupan dua belas orang lain berakhir di tangannya sendiri? Kenapa dia masih bisa mengeluarkan gonggongan tidak masuk akal hanya untuk mengulur beberapa menit hidupnya? Kenapa dia masih bisa berbicara seperti tidak melakulan kesalahan apa-apa? Manusia macam apa yang masih mengatasnamakan keluarganya setelah mengambil anggota keluarga orang lain entah apapun alasannya? Menjijikan, sangat menjijikan. Sebagian besar peserta sidang ini hanya ingin pulang dan melupakan teriakan monster berkulit bapak tua ini.
Di sudut lain ruang sidang, hakim itu terlihat diam sejenak, terlihat kekhawatiran dan kegusaran yang ekstrim di wajahnya, tangannya gemetar saat mengenggam palu kayu itu, semua orang di persidangan bertanya-tanya mengapa hakim itu mengambil banyak sekali waktu hanya untuk mengetuk palu dan mengucapkan hukumannya.
“Pak Jonah, boleh saya menanyakan sesuatu?” Masih belum mengetukkan palunya, hakim itu malah bertanya kepada sang terdakwa, terdapat sendu dan kecewa dibalik nada suaranya. Walau sama sekali tidak mengetahui alasannya, semua orang yang hadir di persidangan tersebut bisa menebak jika sang hakim sedang menahan tangis.
“Ada apa yang mulia?” Tanya sang terdakwa kepada hakim yang mengadilinya. terdapat harapan didalam suaranya, mengetahui bahwa mungkin saja dia berhasil memenangkan hati hakim muda yang terlihat labil ini di depannya.
“Apakah anda orang yang sama dengan bapak tua yang membangunkan saya di bus tiga tahun yang lalu?”
Semua orang yang hadir, termasuk sang terdakwa, tersentak kaget karena sama sekali tidak mengantisipasi pertanyaan seperti itu dilontarkan oleh sang hakim. Setelah mengambil beberapa waktu untuk berpikir, Jonah B. Jonathan tertawa terbahak-bahak dan menjawab…
“Gadis yang tertidur di bus saat itu sekarang menjadi orang yang berlagak ingin membunuhku? Yang benar saja!”
*Tok-tok
Terdengar bunyi hentakan palu yang keras, mungkin hakim itu ingin menyembunyikan isak tangisnya diantara suara palu yang menggema di seluruh ruang persidangan. Walau hampir semua peserta sidang sudah kehilangan kesabarannya, sepertinya hakim ini berbeda, dia terlihat seperti akan melepas monster didepannya atas rasa iba dan takut jika dia mendengar satu kata lagi dari sang terdakwa dan tidak terburu-buru menghantam palunya keras-keras.
“Jonah B Jonathan, dengan ini kau dijatuhi…Hukuman mati!” Teriak lantang sang hakim dengan suara serak, hakim anggota yang mendampingi dirinya sejak awal persidangan sudah khawatir kata itu tidak bisa keluar dari hakim ketua yang lebih muda darinya ini, namun dia terbukti salah, hakim muda ini punya pikiran dan mental yang kuat untuk mengayunkan palu dan mengakhiri hidup orang lain atas nama hukum.
“Saya bukan pembunuh, Pak Jonah,” lanjut sang hakim. “Hukum negara ini melegalkan saya, Ella Silverline, seorang hakim ketua yang memimpin jalannya sidang ini untuk menjatuhkan hukuman mati kepada monster seperti anda!”
Hening, sampai Jonah B. Jonathan membalas…
“Benarkah? Aku hanya melihat seorang gadis mengenakan pakaian hitam membunuh kakek tua dihadapan keluarganya,” jika pandangan bisa membunuh, maka pandangan Jonah pada sang hakim sekarang memenuhi kriteria tersebut. “Yang mulia hakim Silverline, sekarang kita sama-sama pembunuh.”
“Kasus ditutup!”
Terdengar suara tangis melengking dari arah istri dan anak Pak Jonah.
***
Gadis desa itu memiliki hati lembut ibarat kupu-kupu yang mendarat di atas daun yang rapuh, raut wajahnya membawa kebahagiaan bagai hasil panen yang mengisi neraca timbang secara utuh, dan pandangan mata yang dia miliki tampak sejuk bagai ternaungi pohon rindang yang teduh. Tidak ada masalah yang bisa diingat ketika manusia mendengar suara lembut yang keluar dari mulut mungilnya dan tidak ada satupun jiwa yang pernah tersakiti oleh tangan halusnya.
Suatu hari ketika dia bermain bersama adiknya di pekarangan belakang rumah, dia tidak sengaja menginjak seekor belalang besar ketika berlari, kaki belalang itu terpisah, tubuhnya hancur dan kepalanya berputar ke arah yang tidak seharusnya. Di keadaannya yang seperti itu, tubuh belalang itu masih menggeliat dengan pasrah, terlihat kesakitan dan sangat membutuhkan pertolongan. Tentu saja tidak ada yang bisa diperbuat gadis itu, padahal belalang besar ini tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia meninggalkannya dalam keadaan yang begitu sengsara.
Dikuasai rasa bersalah, gadis itu takut setengah mati dan berlari sekuat tenaga ke kamarnya untuk menangis. Dia tidak keluar dari kamar sampai ayahnya datang dengan seekor belalang besar yang dilihat secara sekilas tidak memiliki perbedaan dengan belalang yang dia injak, ayahnya bilang belalang itu sudah sembuh dan bisa kembali melompat untuk menenangkan gadis yang masih terisak-isak itu.
“Sekarang belalang itu sudah pergi, kamu bisa kembali bermain atau mungkin pergi ke ayunan yang menjadi tempat favoritmu itu Ella”
Gadis itu tersenyum gembira dan berlari bersama adiknya kearah ayunan untuk mendapat giliran pertama, sama sekali tidak memikirkan masalah apapun di dunia.
Teriakan minta tolong dari seorang pria tua, suara hentakan palu kecil yang terbuat dari kayu, suara tangisan seorang wanita, dan suara senapan di tengah lapangan eksekusi. Berputar dikepala gadis itu. “Aku bukan seorang pembunuh,” pikirnya berulang-ulang.
Teriakan minta tolong.
Hentakan palu.
Suara tangisan.
Suara Senapan.
Tolong.
Palu.
Tangis.
Senapan.
Sejauh apapun gadis itu pergi, dia tetaplah gadis yang menangis setelah menyakiti seekor belalang. Kali ini ayahnya tidak akan datang bersama seseorang yang mirip untuk membodohinya lagi bahwa semuanya baik-baik saja. Bagaimanapun manusia menutup-nutupi tindakannya atas nama keadilan, dia tidak bisa menghindari fakta bahwa dia memang seorang pembunuh.
Terbayang di depannya sebuah ayunan kayu tua yang menggantung pada dahan pohon oak yang kokoh, hanya beberapa ratus meter ke arah selatan dari rumahnya. Tempatnya melupakan segala masalah di dunia.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak seperti mendengar lelucon terbaik sepanjang hidupnya.
“Ahh…aku ingin bermain ayunan lagi”
***
Surat datang ke kediaman Silverline di desa. Bapak dan ibu Silverline yang sudah tua selalu menantikan surat ini datang di kotak surat mereka setiap harinya walau mereka tahu betul bahwa surat itu hanya datang sebulan sekali. Dengan semangat sang bapak berlari ke ladang untuk memanggil anak lelaki mereka yang kini sudah tumbuh cukup dewasa untuk membantu mereka di ladang untuk membaca surat itu bersama.
Betapa terkejutnya mereka mengetahui bahwa surat ini bukan surat yang berisi kabar anak pertama mereka yang merantau jauh ke kota dan uang yang biasa dia kirimkan, melainkan surat dari pihak kepolisian.
Ella Silverline ditemukan gantung diri di apartemennya.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman.
Editor: Faiz Maulida