Menolak Jam Malam

Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari
Ilustrasi: Yenny Fitri Kumalasari

Kini, isu jam malam kembali menggugah atensi untuk mengulik kisah penerapan aturan berkegiatan mahasiswa di kampus berpatung Jenderal Soedirman berkuda. Istilah jam malam sebenarnya cukup membingungkan apabila hanya diartikan secara harfiah. Pasalnya, penggunaan istilah tersebut hanya lazim digunakan tatkala sebuah wilayah tengah mengalami keadaan genting. Namun, sekarang, ketika kondisi darurat sudah jarang ditemukan di Indonesia, istilah jam malam justru lebih sering digunakan untuk menyebut aturan yang membatasi waktu berkegiatan di malam hari, misalnya batas maksimal pulang ke rumah indekos. Dalam dunia keorganisasian mahasiswa juga seperti itu, pembatasan waktu berkegiatan di malam hari pun dinamakan jam malam.

Isu pengefektifan jam malam mencuat beberapa bulan ini. Perumusan kembali peraturan rektor (PR) terkait kegiatan mahasiswa mempertegas itu. Hadirnya satuan pengaman (satpam) di pos jaga Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unsoed serta perbaikan gerbang PKM membuat desas-desus semakin santer. Rencana pengefektifan jam malam bukanlah tanpa alasan. Alasan keamanan menjadi yang paling sering diungkapkan. Namun, apakah pimpinan Unsoed senaif itu? Ada yang menganggap bahwa ini adalah bentuk represivitas birokrat terhadap kekritisan mahasiswa akhir-akhir ini.

Bagaimana sikap pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) aktif (termasuk DLM dan BEM) Unsoed? Berdasar survei yang dilakukan Tim Riset Skëtsa, dari 28 UKM yang aktif, 21 UKM Unsoed (75%) menolak adanya jam malam (14 ‘tidak setuju’ dan 7 ‘sangat tidak setuju’) sedangkan yang menyatakan ‘setuju’ hanyalah 7 UKM (25%) (dengan 0% jawaban ‘sangat setuju’). Sebanyak 60,7% responden merasa bahwa waktu berorganisasi tidak cukup jika ada jam malam. Bahkan, mereka berkomitmen untuk bertindak (baca: protes) jika aturan ini benar-benar diberlakukan. Sebanyak 10 UKM (35,7%) mengaku berinisiatif akan melakukan protes dan 8 responden (28,6%) siap melakukan protes jika ada yang mengajak untuk itu.

Tentunya, harus dipahami bahwa mahasiswa memiliki kewajiban perkuliahan dengan standar kehadiran yang cukup tinggi, 70%. Jika mahasiswa mengambil kredit penuh, apalagi jika ada praktikum, kapan waktunya untuk mengurusi organisasi, jika bukan pada malam hari? Apakah mahasiswa sudah tidak dibolehkan lagi berorganisasi?

Jika ruang dan waktu mahasiswa dibatasi oleh aturan jam malam, rentang waktu berkegiatan mahasiswa menjadi lebih sedikit. Lama-lama hal ini akan mematikan eksistensi dari organisasi mahasiswa itu sendiri. Sangat sulit bagi kita untuk membayangkan peran-peran besar mahasiswa dalam dinamika berbangsa jika ada jam malam.

Universitas merupakan tempat tumbuh berkembangnya kaum intelektual. Jika media berkembangnya saja sudah dipapar benih penyakit represifitas, bagaimana mahasiswa akan menghasilkan gagasan yang progresif dan melahirkan pemikiran kritis terhadap kondisi sosial yang ada? Di mana lagi mahasiswa bisa menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Dimana lagi jika di rumahnya saja sudah dikekang?

Mari mengingat masa silam ketika ide pembatasan ini dilegalisasi. Tahun 2011, PR tentang Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa disahkan. Peraturan Rektor Nomor 009 Tahun 2011 pasal 4 ayat 1 mengatakan bahwa semua kegiatan di kampus hanya boleh berlangsung antara pukul 05.00-22.00 WIB. Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa kegiatan mahasiswa yang dilakukan di kampus maupun yang di luar kampus harus mendapat izin dari pimpinan universitas atau pimpinan fakultas. Peraturan rektor ini menjadi asal mula diefektifkannya jam malam secara menyeluruh, baik di fakultas maupun tingkat universitas. Kegiatan mahasiswa lah yang menjadi sorot utama kebijakan ini. Beredarnya draf PR yang belum bernomor pada awal tahun ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang disahkan Edy Yuwono (rektor kala itu) telah rampung digodok ulang oleh pimpinan Unsoed. Dua draf PR tersebut ialah PR tentang Kode Etik dan Tata Tertib Kegiatan Mahasiswa dan PR tentang Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan. Mari tunggu kejutannya.

Sekarang ini bukanlah masa-masa darurat untuk melakukan pembatasan untuk berorganisasi. Jika masalahnya adalah keamanan internal Unsoed, kami yakin mahasiswa mau apabila ada protokoler keamanan yang manusiawi. Misalnya, mahasiswa harus menunjukkan kartu identitas setiap masuk dalam kawasan tertib jam malam, sedangkan untuk tamu silakan lakukan hal yang mungkin lebih ketat. Jika perlu, adakan kamera pengawas di setiap tempat strategis seperti pintu gerbang, tempat parkir, dan lain-lain yang dicurigai sebagai tempat terjadinya aksi-aksi pencurian. Toh, pencurian tidak hanya terjadi pada malam hari, justru banyak terjadi pada siang dan sore hari. Pembatasan kegiatan atas dasar keamanan sungguh membuat kita harus membandingkan kondisi pendidikan prareformasi, saat diberlakukannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

Tentang pemaksaan aturan pembatasan, alasan tak substansial lagi-lagi disampaikan oleh salah satu pimpinan Unsoed. Dia menyampaikan bahwa layaknya kantor, ruang-ruang sekretariat harus memiliki waktu tutup. Bayangkan, karena ruangan ini dianggap kantor, maka harus ada waktu tutupnya. Sangat tidak rasional. Tidak semua kantor memiliki kebutuhan yang sama. Misalnya, kantor media cetak, justru mereka merampungkan pekerjaan kala malam. Dan yang paling perlu dipahami adalah: jika organisasi dianggap sebagai sebuah perusahaan dan anggota adalah karyawan kantornya, maka UKM Unsoed hanya memiliki karyawan sif malam, karena semua karyawan kuliah pada siang hari. Mereka terpaksa—ada juga yang senang hati—harus bekerja pada malam hari. Pagi hari? Kantor tutup hingga jam kuliah usai!

Perlu diketahui bahwa dalam draf PR yang baru dan belum bernomor itu, pembatasan tidak hanya pada waktu berkegiatan. Banyak hal yang mereka atur semena-mena, misalnya, salah satu syarat untuk menjadi pengurus UKM adalah mahasiswa ber-IPK minimal 2,75. Perumus kebijakan kampus lupa bahwa UKM bukanlah lembaga yang secara struktur di bawah mereka. UKM bukanlah wilayah struktural universitas, melainkan organisasi yang independen dan dilindungi. Jika universitas memiliki otonomi, posisi UKM adalah otonom dalam otonomi itu.

LPM Skëtsa sebagai pengawas kebijakan kampus menimbang kebijakan ini sebagai suatu polemik yang harus segera dicari solusinya bersama. Transparansi informasi dalam merumuskan kebijakan kampus menjadi fondasi untuk mencapai budaya keterbukaan di kalangan sivitas akademika. Melalui majalah ini, LPM Skëtsa mencoba mengulas lebih dalam pelaksanaan aturan jam malam dan usaha rektorat mengefektifkan aturan yang dinilai akan mematikan kreativitas mahasiswa. Apalagi, jika dipikir lebih jauh, jika mahasiswa dibatasi geraknya, maka mereka akan mencari tempat lain yang memungkinkan untuk berkegiatan. Mahasiswa akan menyebar ke banyak tempat (entah yang lebih baik atau justru tempat yang tidak baik) karena PKM tidak memfasilitasi kegiatan mereka di malam hari. Akhirnya, jika mahasiswa menyebar, fungsi-fungsi ruang PKM akan mengecil, PKM tidak lagi menjadi “pusat kegiatan mahasiswa”.

Rektorat sebagai pemangku jabatan harusnya tidak gegabah dan harus bisa merasakan banyaknya penolakan terhadap usaha pengefektifannya aturan jam malam. Terlihat jelas, mahasiswa membutuhkan tempat untuk bebas beraktivitas, berkreasi, berekspresi, dan bergagas tanpa ada kekangan. Ketika mencari tempat tersebut, organisasilah yang seharusnya menjadi destinasi. Untuk itu, perlu pemahaman yang holistik akan kembang pikir mahasiswa (anggota organisasi) dengan kebijakan kampus, juga fasilitas. Kini kita merasakan bahwa dana organisasi kampus sangatlah minim, ditambah peralatan dan fasilitas yang juga sangat terbatas. Apanya yang terbatas? Ruangan yang tak cukup untuk rapat, tak ada lapangan untuk latihan Marching Band dan membuat seisi PKM keberisikan, tebing panjat yang sudah mengkhawatirkan untuk dipanjat, pers mahasiswa yang tak punya kamera juga komputer yang selalu nge-lag ketika me-layout majalahnya, internet yang sering mati, kamar mandi yang tidak layak, dan banyak lagi yang urgen untuk dibenahi. Ditambah lagi, banyak sekali organisasi yang harus menjual berkardus-kardus kue risoles demi berjalannya kegiatan organisasi, itu pun setelah mereka membayar iuran wajib pengurus dan iuran wajib kepanitiaan. Berorganisasi dengan banyak keterbatasan fasilitas saja sudah sangat memusingkan, janganlah ditambah-tambahi batas-batas itu.


Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Sketsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu. Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017 pada Rubrik Editorial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *