Intransparansi di Unsoed: PR Ryan di Tahun 2017

Pemira sebagai pesta demokrasinya mahasiswa Unsoed, yang dulu identik jadi momen riuh dengan persaingan antar calon, kini agaknya terasa berbeda. Kontestannya cuma sepasang, tanpa rivalitas. Akhirnya, kotak kosong jadi pembanding yang tak sebanding. Pesta kurang meriah, tak ada kembang api persaingan dalam pesta demokrasi saat ini. Meski masa pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden BEM Unsoed diperpanjang, tak bertambah jua kontestan yang terpampang.

Hal ini membuat kami tergelitik. Sebagai konsekuensi pada teknis pelaksanaan pemilihan, pemilih akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu memilih pasangan Capres dan Cawapres BEM yang sudah resmi terdaftar, atau memilih kotak kosong. Sosialisasi Pemira sangat penting bagi semua mahasiswa. Kurangnya sosialisasi dan kurang hangatnya persaingan, berdampak banyaknya mahasiswa yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan yang telah berlangsung tanggal 7 hingga 8 Desember 2016.

Kondisi ini adalah sebuah tantangan untuk semua lini yang terkait. Sebagai calon presiden dan wakil presiden yang lawannya adalah kotak kosong harus bisa mengumpulkan dukungan setidaknya 50% dari total suara sah plus satu suara agar dapat legal terpilih. Berusaha dengan segala publikasi bersama tim suksesnya, menelusuri tiap fakultas yang ada di kampus Jenderal Soedirman dengan beragam teknis kampanye. Melontarkan visi dan misi untuk satu tahun ke depan, berharap mahasiswa dapat menentukan apa pilihan mereka.

Muncul beberapa nama yang sejatinya memang berpotensi terjun dalam Pemira, namun urung. Ada pendapat yang mengatakan karena mereka terkendala komunikasi politik, ada pula yang beranggapan bahwa sosok Ryan terlalu kuat untuk dilawan, mengingat rekam jejaknya di gerakan yang dinamakan Soedirman Melawan, yang sempat gencar beraksi sejak beberapa bulan menjelang semester ini. Ditambah lagi, dua ormas, yang cukup punya pengaruh, FMN dan KAMMI, bersatu mendukung Ryan-Hasna. Padahal, seperti yang kita tahu selama ini bahwa FMN dan KAMMI sering berseberangan pandangan. Belum lagi komunitas informal Burjois Goban, yang kini dijadikan wadah untuk diskusi mahasiswa, mendukung dengan lantang.

Sudah barang pasti sang calon tunggal tidak puas karena bertanding tanpa musuh, hanya kotak kosong. Bayangkan, jika menang tak bangga dan jika kalah pun memalukan. Dan kekhawatiran itu terkonfirmasi, bahkan kotak kosong mendapatkan sekitar seperempat suara Ryan-Hasna. Mungkin, jika ada calon lain, suasananya akan lebih membahagiakan. Kalah wajar dan menang bangga. Terdengar isu pada waktu itu akan diadakan calon boneka, namun itu pun tak akan menambah sedap rasa.

Pentingnya Transparansi

Setiap program kerja yang disusun kepengurusan BEM tahun ini perlu dipublikasikan secara sistematis. Jangan sampai informasi hanya diketahui oleh jajaran pengurus BEM atau tak sampai kedengarannya oleh mahasiswa di tiap-tiap fakultas. Bahkan soal anggaran belanja dan pengeluaran dana  BEM, harus dipublikasi. Bila perlu, rutin setiap bulan, kalau bisa lebih intensif dari itu. Apalagi di kepengurusan Ryan, kelak ada rencana pembentukan kementerian di bidang kewirausahaan. Inilah pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam suatu pemerintahan. Jika BEM diibaratkan sebagai lembaga eksekutif dalam masyarakat kampus kita, maka wajib hukumnya menegakkan hal itu, dengan begitu BEM dapat menjadi “alat” yang dapat memanusiakan masyarakat kampus. Hal ini juga didukung dengan program-program kerja yang mendidik serta diskusi-diskusi lintas fakultas yang dapat mencerdaskan mahasiswa.

Sekadar menilik kembali histori, rekam jejak intransparansi di jajaran birokrat Unsoed tercatat. Kala korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Aneka Tambang (Antam) sebesar 5,8 Miliar Rupiah, yang melibatkan mantan Rektor, Edy Yuwono. Tak bisa dipungkiri, kondisi lingkungan seperti intransparansi di lembaga pendidikan tinggi cenderung membuka peluang pejabat berlaku curang.

Berkaitan, BEM dalam hal ini, bukan sekadar menegakkan transparansi di lingkungan mahasiswa kampus, lebih penting, bagaimana BEM bisa menyadarkan lingkungan birokrat pengelola Unsoed untuk segera transparan dan terbuka. Entah dengan cara apapun sepanjang tak melanggar norma, dengan cara etis seperti tadi, BEM-nya Ryan mencontohkan gaya kepemimpinan yang terbuka dalam segala hal, dari program kerja bahkan anggaran dana, dalam mengelola kepengurusannya. Atau, dengan cara keras, melabrak sistem pengelolaan Unsoed yang dinilai masih tidak transparan, misalnya saja menggalang massa untuk aksi. Yang terpenting, BEM mempunyai peran juga kontribusi nyata, benar-benar bisa mendorong Unsoed bersistem yang transparan, seperti yang digemborkan-gemborkan Ryan pada misinya saat kampanye lalu, atau minimal bisa menuju ke arah sana: Transparansi Unsoed.

Pekerjaan Rumah Presiden dan BEM-nya

BEM Unsoed dari tahun ke tahun memiliki grafik kualitas yang selalu meningkat, minimal dalam empat tahun terakhir. Dasar penilaian ini ada pada komunikasi massa dan gebrakan-gebrakan terhadap zalimnya aturan. Teruntuk Kabinet Melesat 2016 kami mengucapkan terima kasih sudah membuat suasana di mana suara mahasiswa kembali terdengar, dan untuk kemampuan demokrasi yang tidak elitis. Namun, banyak hal yang perlu diteruskan dan dikembangkan oleh Ryan.

Isu-isu yang dikampanyekan Ryan kebanyakan kami dukung, selama selalu dijalankan secara ideal. Satu hal yang kami tunggu adalah realisasi transparasi Unsoed. Ini adalah isu yang harus menjadi isu paling diseriusi kabinet berikutnya. BEM harus sadar juga paham bila ketidaktransparansian Unsoed menjadi hulu penyebab banyak kebijakan yang bermasalah, termasuk hal UKT. Meski ini isu yang akan sangat menguras tenaga, namun isu ini adalah isu yang bisa membuka isu yang lainnya. Kita hanya bisa melibas permasalahan kampus jika kita bisa mengakses informasi dengan layak. Data-data harus menjadi konsumsi awam. Kita harus bisa mendapatkan informasi publik layaknya kita bernafas. Mudah, gratis, dan melegakan. Itulah yang kami tekankan kepada Presiden Mahasiswa yang baru. Kamu bukan manusia setengah dewa, namun kamu mahasiswa, kuatnya seharusnya sama.

Catatan Redaksi:

Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Sketsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu. Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa edisi Desember 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *