Oleh: Marcellia Eki Christine
Toxic Masculinity bisa dikatakan sebagai budaya yang diturunkan oleh nenek moyang sebagai salah satu produk patriarki. Hal ini merujuk pada budaya dan kepercayaan yang salah pada masyarakat tentang sikap, sifat, dan perilaku yang seharusnya dimiliki serta ditunjukkan oleh laki-laki. Topik ini menjadi ramai diperbincangkan di media sosial akhir- akhir ini disebabkan oleh maraknya kampanye penggunaan skincare atau perawatan kulit yang tidak memandang gender juga diskusi tentang gender role atau peran suatu gender dalam masyarakat. Beberapa pihak dengan pikiran terbuka menyetujui ide tersebut, namun beberapa pihak justru menyanggahnya dengan mengatakan bahwa penggunaan skincare membuat laki-laki tidak lagi maskulin atau terlihat jantan, juga menentang gagasan bahwa melakukan pekerjaan rumah bukanlah kodrat laki-laki. Fenomena ini kemudian berkembang dan memicu perdebatan dengan skala dan pembahasan yang lebih luas lagi.
Isu ini dikatakan sebagai salah satu produk patriarki karena lahirnya pemahaman ini disebabkan oleh budaya yang dibawa oleh nenek moyang kita tentang pengelompokkan manusia berdasarkan jenis kelamin dan peran yang harus mereka jalankan dalam keseharian. Sebagai contoh, memasak dan mengurus anak adalah tugas perempuan sementara laki-laki bekerja dan melakukan kegiatan yang menghasilkan uang. Hal ini memang sesuatu yang lumrah kita temui dalam kehidupan sehari-hari, tapi bukanlah sesuatu mutlak karena pada kenyataannya keadaan mulai berbalik.
Banyak yang berpendapat bahwa pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak, mencuci, dan lain sebagainya bukanlah peran suatu gender melainkan sebuah kemampuan dasar yang sudah selayaknya dimiliki oleh semua manusia. Secara pribadi, saya menyetujui pendapat ini. Mengapa? Manusia terlahir dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, termasuk latar belakang ekonomi. Tidak mungkin selamanya mereka akan terus berpikir dan menyepelekan pekerjaan rumah dengan berkata, “saya kan bukan pembantu, jadi untuk apa saya melakukan pekerjaan semacam ini?” atau justru karena didikan yang mereka dapat di lingkungan tempat mereka dibesarkan, mereka bisa juga berkata, “di rumah saya ga pernah disuruh ngerjain pekerjaan kayak gini, katanya laki-laki ga sepantesnya ngelakuin itu.” Menguasai kemampuan dasar itu bukan sesuatu yang memalukan, kok, bahkan jika yang melakukan adalah laki-laki sekalipun. Lagi pula, manusia pada dasarnya memiliki insting bertahan hidup dan akan bisa menentukan skala prioritas. Bila suatu saat setelah tidak hidup bersama orang tua dan memiliki ekonomi yang belum stabil, tidak mungkin mereka akan menghabiskan uang untuk membayar pembantu padahal mereka sendiri butuh makan dan uang yang mereka miliki hanya pas-pasan saja.
Lalu tentang penggunaan beberapa produk perawatan, menurut saya merawat diri tidak akan mencederai maskulinitas laki-laki. Berpenampilan dengan baik dan rapi justru akan menambah value seseorang, untuk itu tidak ada salahnya merawat dari dalam maupun dari luar. Jika kita menghargai diri kita sendiri, maka orang lain pun akan melakukan hal yang sama. Selain itu, yang perlu ditekankan adalah bahwa produk perawatan tidak memiliki gender dan semua orang bebas menggunakannya untuk merawat diri mereka sendiri. Lalu yang terakhir adalah yang paling umum terjadi dan masih sering menjadi perdebatan.
Ketika laki-laki menunjukkan emosinya, khususnya menangis, maka ia akan disebut cengeng atau bahkan banci. Namun akan berbeda jika laki-laki menunjukkan emosi marahnya, maka mereka akan disebut tegas. Kenapa dua emosi yang tidak baik itu justru mendapatkan respon yang berbeda? Mengapa menangis justru tidak diperbolehkan untuk laki-laki padahal setiap manusia diciptakan berperasaan? Bagaimana jika justru emosi sedih yang tidak bisa ditunjukkan oleh laki-laki malah meluap dan diimplementasikan kepada emosi marah yang merugikan orang lain? Tanpa disadari, larangan untuk laki-laki dalam mengungkapkan emosi sedihnya membuat mereka jadi sering kesulitan untuk memahami perasaan orang lain. Mereka jadi mengabaikan perasaan orang lain dampak dari emosi mereka yang juga sering diabaikan oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka juga jadi kesulitan dalam mengungkapkan emosinya dengan lebih tenang dan terus terang yang menyebabkan kegagalan dalam hubungan mereka di masa depan.
Sudah seharusnya konsep yang salah seperti toxic masculinity dihilangkan dari budaya masyarakat kita. Manusia harus punya kebebasan untuk melakukan sesuatu dan mengekspresikan diri mereka tanpa dikotak-kotakan oleh gender serta mendapat penghakiman dari masyarakat tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan selama kebebasan yang mereka jalani adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Laki-laki punya hak yang sama untuk meningkatkan kualitas diri mereka dari apa yang terlihat, mereka boleh menunjukkan perasaan mereka tanpa perasaan takut akan penghakiman, dan juga memiliki kemampuan dasar untuk bertahan hidup tanpa dibatasi oleh gender mereka. Saya yakin semakin berkembang masyarakat, maka akan semakin juga pemikiran mereka di masa depan. Besar harapan saya agar pandangan semacam ini bisa diubah dan diterapkan menjadi suatu cara berpikir yang lazim, bahkan dapat menjadi cara didik yang diimplementasikan di generasi selanjutnya.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman
Editor: Faiz Maulida
*