
Oleh Inas Syarifah
Sudah ada banyak mulut berbicara mengenai apa itu nepotisme dan bagaimana praktiknya di dunia kampus. Namun, topik ini seringkali hanya lewat sebagai bacaan semata dan segera keluar dalam beberapa saat, tak diindahkan sama sekali hingga kini merajai lingkungan kampus. Ormawa-ormawa kampus atau yang lebih sering disebut sebagai organisasi kemahasiswaan tidak perlu dipertanyakan lagi, rekrutmen anggota hingga pengambilalihan jabatan telah menjadi titik bagi nepotisme untuk membudaya. Bukan hanya ormawa, bahkan saya pernah mendengar dari seorang teman yang menjadi salah satu bagian kepanitiaan dari sebuah kompetisi besar di kampus bahwa dikatakan olehnya terdapat sejumlah tim kecil dipermudahkan dalam mengikuti kompetisi. Bila sudah begini, tanpa ragu saya dapat mengatakan masih ada banyak praktik seperti itu di lingkungan kampus yang mungkin saja telah sampai pada tingkatan terpenting dari sebuah perguruan tinggi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa nepotisme mengandung tiga makna sebagai berikut: (1) perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebih kepada kerabat dekat; (2) kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam hal jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; dan (3) tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Berdasarkan definisi tersebut, maka tepat kita katakan sebagai praktik nepotisme yang mana “lingkungan pemerintah” di sini adalah perguruan tinggi. Tak hanya ormawa-ormawa, praktik buruk tersebut telah memiliki akar kuat dan semakin merambat hingga merajai kehidupan kampus.
Saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri, teman-teman terdekat saya seringkali ditarik masuk ke dalam sebuah organisasi atau kepanitiaan tanpa seleksi. Padahal, sistem seleksi telah ditetapkan sejak awal sehingga mayoritas menganggap hal ini berjalan adil tanpa tahu apa yang terjadi di balik layar sistem seleksi tersebut. Sebagian mengatakan, melobi orang itu diperlukan sebab kita sudah memiliki relasi dengannya dan tahu bahwa ada kepercayaan yang mampu diberikan. Namun, adanya relasi ini justru menjadi pertanyaan bagi saya. Benarkah organisasi kampus lebih mementingkan sumber daya yang memiliki banyak relasi dibandingkan sumber daya berpengalaman?
Memang, saya akui, relasi sangatlah penting untuk melancarkan segala kegiatan yang telah menjadi rencana. Relasi diperlukan sehingga lebih mempermudah setiap rencana yang akan dijalankan. Relasi juga memperluas jangkauan dalam aspek hubungan antar manusia yang mana memberikan bantuan besar saat masalah terjadi. Singkatnya, relasi sangatlah penting dalam merekrut seorang anggota. Begitu juga dengan kepanitiaan dan beberapa kompetisi dalam perguruan tinggi, tak jauh berbeda. Meskipun begitu, jika perekrutan anggota organisasi melalui relasi menjadi suatu kecenderungan maka akan menimbulkan beberapa dampak negatif di antaranya kekurangan anggota yang memiliki kredibilitas dan responsif tinggi, sulit membangun satu pemikiran karena perbedaan alasan masuk organisasi, serta kemungkinan tinggi perekrutan anggota melalui relasi akan semakin membudaya sehingga dapat merujuk pada tindakan nepotisme.
Belum puas dengan kemahasiswaan, nepotisme pun ditemukan pada akademika dan sistem masuk kampus. Saya banyak membaca dan mendengar cerita dari berbagai sisi. Ada calon dosen yang melamar masuk dan kemampuannya dapat dipercaya, tetapi gagal karena ada calon dosen lain berhasil tanpa seleksi yang ternyata anak pejabat perguruan tinggi tersebut. Ada juga pimpinan kampus yang memasukkan anaknya meski pendidikan tidak mencapai S-2. Ada pula beberapa karyawan kampus kehilangan jabatan dan digantikan dengan cepat oleh orang lain yang ternyata berkerabat dekat dengan pemegang jabatan tinggi. Masih ada banyak cerita lain yang semakin mendukung fakta bahwa nepotisme telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Menghilangkan nepotisme sampai tak bersisa memang mustahil, tetapi kita dapat meminimalisir tindakan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya nepotisme di lingkungan terdekat di antaranya melakukan observasi pada orang terdekat, memberikan penilaian secara ojektif dan profesional, serta menghindari perilaku yang dapat merujuk pada tindakan tersebut. Apabila nepotisme sangatlah sulit untuk diminimalisir, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan pertahanan diri. Namun, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi mengenai pertahanan diri tersebut. Benar, pertahanan diri bukanlah suatu hal mudah bila kita memiliki kewenangan sekaligus berada dalam desakan berbagai penjuru. Seringkali, keberanian menjadi hal luar biasa untuk bisa menahan diri dari praktik-praktik nepotisme di kampus.
Editor: Faiz Maulida
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan angkatan 2022