Gatotkaca dan Togog

Oleh: Budi Purnomo

Ilustrasi: Nadya Salma

Jangan heran kalau di kampus ada kampanye kecil-kecilan untuk memilih para wakil mahasiswa dan pengurus baru karena itu memang sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun. Dikatakan kecil-kecilan karena intensitas keramaian (atau katakanlah kesakralannya) tidak semeriah pemilihan ketua erte, calon tunggal sekalipun. Tidak percaya? Silakan hitung sendiri, pasti lebih banyak mahasiswa yang memilih mengantuk di kamar kos daripada berbondong-bondong menunjuk lubang hidung sejawatnya untuk dijadikan wakil mahasiswa atau pengurus baru. Sehingga kalau menyembul pertanyaan: apakah ini berarti kadar rasa demokrasi mahasiswa sekarang menurun? Saya kurang begitu paham.

Namun yang jelas, aspirasi mahasiswa yang heterogen pastilah kini digantungkan kepada mereka yang duduk di kursi lembaga kemahasiswaan ─yang tidak diragukan lagi legitimasinya─ yaitu senat dan badan perwakilan. Kalau pada zaman pengurus lama banyak mahasiswa yang tidak diurus, juga pada jaman badan perwakilan yang telah lewat banyak mahasiswa yang merasa tidak diwakili, maka kepada para wakil mahasiswa dan pengurus yang baru diharapkan kasus serupa tidak terjadi. Entah mengapa zaman baheula kasus itu terjadi. Mungkin cuma perasaan usil mahasiswa, tetapi bisa jadi lembaga sah tersebut lebih gemar memerankan tokoh formalitas belaka. Coba saja, mahasiswa mana yang akan menangis meraung-raung bila suatu saat lembaga ini disederhanakan alias dilenyapkan!

Sehingga tidak salah kalau banyak mahasiswa yang melontarkan saran dan kritik agar pengurus yang baru jangan cuma melongo memikirkan mode jas gratis yang bersaing dengan fakultas lainnya biar lebih gagah bila di undang ke pendopo kabupaten. Kalau ini yang terjadi, duh, memprihatinkan sekali karena buntutnya, para pengurus yang serius bermatematik dengan aspirasi mahasiswa cuma satu atau dua. Kalau pun lebih, masih bisa dihitung dengan sebelah jari tangan.

Tidak mengherankan kalau kemudian ada mahasiswa yang menginginkan para wakil rakyat, eh, maksud saya, para wakil mahasiswa tidak cuma mengangguk-angguk kepala seperti kakek batuk, tetapi juga mampu menggeleng-gelengkan kepala biar leher tidak terlalu kejang dan kaku. Kalau persendian lemas, kan, pikiran juga bisa jernih. Tetapi kalau pun enggan menggerakkan kepala, minimal mulut bisa berkata: Tidak, bila ada aspirasi yang mengganggu hajat hidup mahasiswa banyak. Risiko pasti ada, misalnya leher keseleo atau bahkan bibir dan lidah yang keseleo. Buat seorang wakil yang sudah kedaluwarsa pun itu hal yang biasa, lebih-lebih bagi pengurus baru.

Mahasiswa tidak dilarang mengkritik wakil-wakil mahasiswa, sebagaimana rakyat juga sering mengritik wakil-wakil rakyat. Misalnya, jangan biarkan wakil mahasiswa mengambil keputusan seenak perut sendiri dengan mengatas namakan mahasiswa karena tindakan mereka yang keterlaluan juga bisa mencerminkan perilaku mahasiswa secara umum. Kalau ada para wakil mahasiswa yang bergerombol dengan kepala diikat tali sepatu dan sebelah kakinya dicemplungkan di parit sambil mulutnya monyong berteriak-teriak tidak keruan, seolah olah menuntut sesuatu, tetapi tidak jelas. Entah kepada rektor, entah kepada polisi, maka, tidak ada jeleknya kalau mahasiswa menyemplungkan mereka ke kolam saja.

Selain itu, kalau ada di antara mereka yang menyalurkan aspirasinya melalui topi yang dibanting, sebaiknya di periksakan kepada dokter jiwa, apakah ia normal atau tidak. Karena menjadi pengurus senat atau pun wakil mahasiswa tidak cuma dituntut pintar ngomong, tetapi juga yang mampu berpikir normal. Ingat, lho, saya tidak pernah mengatakan banyak pengurus yang tidak normal. Namun, bagaimana pun juga, mereka toh manusia biasa, artinya plus dan minus pasti ada. Kata Soetjipto Wirosardjono, kolumnis yang lebih dulu tenar daripada saya, tidak mungkin dalam satu kotak wayang isinya Gatotkaca semua. Ini juga berarti bahwa dalam sebuah lembaga pun tidak mungkin, bila semuanya terampil dan sigap seperti Gatotkaca, pasti ada Togognya. Tugas kita, tinggal menghitung mana yang lebih banyak, antara yang mirip Gatotkaca atau yang mirip Togog dalam lembaga kemahasiswaan itu.

Kalau lebih banyak yang mirip Togog, sebaiknya dekan melantik wakil mahasiswa dan pengurus baru untuk grup lawak, biar menyaingi Srimulat yang naga-naganya sedang turun daun. Lagi pula ini pas buat tontonan mahasiswa yang mulai jenuh dengan diktat-diktat usang gara-gara para dosen tidak pernah merevisinya padahal kemajuan ilmu dan teknologi berkembang dengan cepat dan pesat. Duh!

*Catatan redaksi: Tulisan ini pernah terbit di Koran Kampus Skëtsa Edisi III Februari Tahun 1989. Agar tetap bisa diakses oleh sidang pembaca, tulisan ini dirilis ulang dalam “Artikel Lawas” dengan perubahan kecil seperti perbaikan redaksional tanpa mengubah struktur penulisan sama sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *