Oleh: Faiz Maulida

Hingga saat ini, plot-plot dramaturgi heroik di ruang hiburan publik selalu sarat dengan cerita yang pasti akan dimenangkan oleh kebaikan. Sejarah dunia penuh dengan berbagai cerita dimana kebaikan belum tentu menjadi pemenang, namun tidak jarang pula kebaikan justru akan menjadi akar bagi para pecundang abadi. Akhirnya, masalah baru mungkin muncul, apakah yang baik itu benar-benar baik?
“Otoritarianisme dalam agama dan sains, apalagi politik, dapat semakin diterima bukan karena banyak orang mempercayainya, melainkan karena mereka secara individual merasa takut dan tidak berdaya.” Ungkapan Rollo May dalam bukunya Man’s Search for Himself yang mengisyaratkan jika kepatuhan adalah jalan bagi seorang individu agar merasa aman. Perasaan takut adalah perasaan yang manusiawi, semua orang mengalaminya. Apalagi dengan tinggal dalam tipikal keluarga Asia seperti saya yang selalu dididik untuk patuh melalui rasa takut.
Hal lain yang dapat membuat seseorang patuh adalah ego atau kepentingannya sendiri yang dapat membuat seseorang itu menghalalkan segala cara untuk memenuhinya. Konsep “patuh atau mati” sudah transparan. Moral tidak lagi dianggap seharga berlian. Saya mungkin terdengar seperti Machiavellian, tetapi percayalah untuk mencapai tujuan hidup, seseorang akan dapat melakukan apapun meski dengan menyembah iblis sekalipun. Oleh karena itu, saya akan menganggap kepatuhan bukanlah sesuatu yang selalu baik. Karena monster paling berbahaya adalah makhluk yang bersedia untuk patuh tanpa banyak tanya.
Berbicara mengenai monster, pasti selalu ada pahlawan yang muncul untuk mengalahkannya. Dalam konteks pembangkangan, pahlawan tersebut adalah seseorang yang dapat menggerakan banyak orang dengan tujuan moralitas. Pahlawan tersebut adalah kalian, sebagai rakyat dan sebagai konstituen yang bebas dari godaan dunia.
Pembangkangan dapat memicu perubahan dalam arti kolektif, seperti gerakan hak sipil atau gerakan perlawanan terhadap rezim durjana. Menurut John Rawls dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice. pembangkangan sipil adalah bentuk yang sah dalam lingkungan demokratis. Masyarakat berhak menolak untuk patuh terhadap hukum dan norma. Elemen dalam pembangkangan sipil memangmeliputi adanya pelanggaran hukum, dengan tujuan untuk mengganti hukum yang dirasa tidak adil. Dengan catatan, dilakukan atas dasar etika sehingga tindakan ini hanya dibenarkan jika itu memiliki justifikasi moral tertentu dan diilhami oleh khalayak publik.
Tujuan dari pembangkangan adalah untuk mencari perhatian atas sesuatu yang dirasa tidak adil dan membawa adanya perubahan. Perlu digarisbawahi jika frasa “mencari perhatian” merupakan tujuan dalam gerakan pembangkangan sipil. Mahatma Gandhi dalam Satyagraha juga menjelaskan jika tujuan dari pembangkangan sipil adalah untuk “mengonfrontasi” isu dengan maksud mengangkat isu tersebut ke permukaan. Jadi, tindakan ini akan selalu memiliki tujuan jangka panjang dan akan melewati segala proses dan rintangan.
“Pertama, mereka akan mengabaikanmu, kemudian mereka akan menertawakanmu, kemudian mereka akan melawanmu, dan kemudian kamu menang,” mengutip Mahatma Gandhi.
Penting untuk dicatat bahwa gerakan pembangkangan bukanlah tujuan akhirnya, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Ketidaktaatan harus digunakan dengan bijaksana dan dengan pemahaman yang jelas tentang risiko dan manfaat yang terlibat. Ketika digunakan secara bertanggung jawab dan strategis, pembangkangan sipil dapat menjadi palu untuk menghancurkan tembok bebal masyarakat.
Suara berapi-api dan tangisan para pemuda menjadi aksi nyata. Aksi protes tak kenal lelah diiiringi teriakan berapi-api, bendera warna-warni, dan semangat juang yang membara. Di bawah perhatian media dan publik, protes dapat menjadi bentuk nyata kebebasan berekspresi dan bertindak bagi anak muda yang ingin mengguncang dunia.
Memang aksi yang dilakukan tidak akan selalu berjalan mulus. Tantangan akan menghampiri, mulai dari konfrontasi dengan pihak berwenang hingga tuduhan kriminalisasi dan tekanan dari berbagai pihak yang berseberangan. Namun, apa yang disebut semangat juang tidak akan pernah padam. Mereka berdiri teguh demi perubahan dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.
Tanggal 12 Mei 1998, menjadi sanksi adanya tantangan yang menghadang. Empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak di depan kampus mereka sendiri. Bukti tersebut menjadi sebuah pesan menyedihkan tentang hak asasi manusia dan harga nilai kemanusiaan yang ada di dalam masyarakat.
Intinya, tulisan ini ingin menjustifikasi bahwa segala tindakan untuk mengkritik sesuatu yang mapan bukanlah tindakan yang salah. Pada akhirnya, ketidaktaatan bukan hanya isyarat perlawanan, tetapi juga dapat menjadi api yang membara untuk mengalahkan tirani, membangkitkan semangat yang terpinggirkan, dan memulai revolusi dalam sejarah umat manusia. Keberanian untuk melanggar norma dan mempertanyakan otoritas memberikan harapan untuk masa depan yang lebih setara. Meskipun mungkin melibatkan risiko, tetapi acapkali membawa inspirasi. Jadi mari kita membuat ajakan untuk membangkang, tidak hanya melarikan diri dari status quo, tetapi juga untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang.
Editor: Lili Amaliah
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2021