Fenomena Manusia Silver Dan Badut Lampu Merah Sebagai Kritik Sosial Kesenjangan Ekonomi Dalam Masyarakat

Oleh: Catur Mukti Wibowo*

Ilustrasi: Amalia Rahmadani

Terjadinya pandemi pada dua tahun ini menghadirkan dampak yang luar biasa bagi kehidupan di Indonesia bahkan di Dunia. Hampir di semua bidang terkena dampak dari pandemi ini, terutama perekonomian dan pendidikan di Indonesia. Pandemi mengharusnya proses belajar mengajar yang seharusnya dilakukan di sekolah, kini menjadi dirumahkan karena alasan kesehatan dan mencegah penyebaran virus.

Pandemi juga menyerang perekonomian di Indonesia. Indonesia mengalami defisit keuangan. Mulai dari diberlakukanya program bekerja dari rumah bagi hampir seluruh perusahaan di Indonesia, hingga adanya pemotongan karyawan untuk tetap memertahankan perusahaan. Besarnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) menimbulkan peningkatan pada angka pengangguran pada usia produktif, ditambah lagi dengan pelajar yang baru saja lulus dan terjun ke dunia kerja.

Pendapatan pemerintah menurun seiring dengan pendapatan masyarakat. Terutama bagi masyarakat menengah kebawah yang memang sejak awal pendapatannya tidak begitu besar, sehingga tidak menutup untuk biaya hidup. Hal ini menjadikan masyarakat kelas menengah kebawah kesulitan untuk mencari penghasilan demi memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga untuk bertahan hidup di tengah pandemi.

Salah satu yang menjadi solusi alternatif yang diambil sebagian masyarakat adalah dengan menjadi manusia silver. Seperti yang kita tau, masyarakat Indonesia memang “latah” dengan yang namanya tren. Seketika profesi manusia silver di masa pademi ini meningkat drastis. Bagaimana tidak, pendapatan dari manusia silver ini bisa mencapai 300 ribu hingga 1 juta dalam sehari. Pekerjaanya pun bisa dibilang cukup sederhana, mereka hanya cukup mewarnai tubuh mereka dengan warna silver dan kemudian berpose di beberapa titik strategis seperti di alun-alun atau lampu merah. Tidak hanya orang dewasa, bahkan kini anak-anak pun diikutkan dalam pekerjaan semacam ini. Bahkan kemarin sempat viral dimana ada bayi berusia 10 bulan yang dijadikan manusia silver. Manusia silver yang kini sudah terlanjur menjamur seperti ini sudah bukan lagi seni jalanan, namun lebih ke pelarian masyarakat menengah kebawah untuk meraih pendapatan dengan instan. Mereka tidak memikirkan dampak bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Apa yang mereka lakukan bisa saja mengganggu orang lain karena meminta “belas kasih” orang lain di tempat umum, jika terlalu banyak maka masyarakat juga akan menjadi risih. Kedua yaitu dampak kesehatan, kita belum tau apa dampak kesehatan yang akan muncul apabila terlalu sering mengecat diri sendiri menggunakan cat silver.

Alternatif kedua masyarakat yang sedang tren saat ini adalah dengan menjadi badut lampu merah. Hampir sama dengan sebelumnya, hanya saja profesi ini memakai kostum badut dengan memakai pengeras suara yang di pegang dan kemudian menari di lampu merah lalu meminta sumbangan seikhlasnya pada yang berhenti. Profesi ini juga menjadi marak di masyarakat dengan pendapatan yang kurang lebih sama dengan manusia silver. Bedanya profesi ini lebih membahayakan dan lebih mengganggu, pasalnya biasanya mereka mengincar area lampur merah dimana banyak kendaraan berlalu lalang. Mereka memanfaatkan orang yang berhenti di lampu merah kemudian menari nari dengan musik di zebra cross dan kemudian meminta sumbangan seikhlasnya. Bagi tidak suka, hal ini sangat mengganggu karena ditengah hiruk-pikuk di jalanan, mereka harus menonton hal yang sebenarnya tidak mereka harapkan, ditambah dengan musik-musik yang kadang tidak jelas dan terlalu keras sehingga tidak nyaring di telinga.

Namun dibalik itu semua, maraknya kedua fenomena ini justru merupakan kritik sosial bagi pemerintah dan seisinya atas kurangnya lapangan kerja yang tersedia sampai mereka harus menekuni pekerjaan sebagai manusia silver dan badut lampu merah. Hal ini merupakan bentuk pemberontakan dan hasil dari minimnya lapangan kerja yang tersedia, apalagi dengan adanya pandemi yang menyebabkan ekonomi menurun. Sedikitnya lapangan kerja, ditambah dengan pandemi yang menyebabkan banyak sekali PHK di perusahaan semakin mendorong gejala ini untuk terus berlanjut. Perlu adanya upaya solutif dari pemerintah untuk mengatasi fenomena yang bisa dikatakan sudah terlalu menjamur ini hingga cukup menggangu aktifitas masyarakat. Kedua hal tersebut yang dulu disebut sebagai seni jalanan karena keunikannya dan usaha yang tidak mudah. Seperti manusia silver yang identik dengan tetap diam tak bergerak dengan pose yang menarik dan terkadan pose yang cukup ekstrim. Badut yang dulunya hanya dipakai sebagai hiburan untuk acara tertentu kini menjadi sarana mengamen “gaya baru” di jalanan. Hal ini juga membuktikan minimnya aksi solutif dari masyarakat dalam menghadapi persaingan di era globalisasi dan modernisasi. Mereka tidak terlalu memikirkan resiko dan tidak segan untuk melakukannya. Pola pikir yang tertanam di dalam masyarakat saat ini adalah meniru, bukan berinovasi dan menciptakan hal baru. Selama hal itu dapat menghasilkan, maka masyarakat akan melakukan hal tersebut. Masyarakat menengah kebawah lebih mementingkan hal yang berbau jangka pendek dan instan, daripada hal yang cenderung jangka panjang, berjenjang dan bisa bertahan lebih lama dibandingkan sesuatu yang sifatnya temporal. Apalagi fenomena ini hanyalah sebuah tren sesaat, tinggal menunggu waktu bagi tren ini untuk meredup dan digantikan oleh tren lain. Perlu adanya kesadaran dalam masyarakat untuk berinovasi dan menciptakan hal-hal baru. Sehingga tren seperti ini tidak muncul kembali dan justru dapat menciptakan lapangan kerja baru dan ikut membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran.

Editor: Chynthia Maharani Sulistyowati

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *