Portal Berita Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa Univeristas Jenderal Soedirman

Objektifikasi Perempuan dalam Akun-Akun ‘Kampus Cantik’

Oleh: Aprilia Ani Fatimah*

Ilustrasi: Amalia Rahmadani

Normalisasi budaya objektifikasi di Indonesia kian memprihatinkan. Tidak hanya catcalling yang sepertinya sudah mendarah daging, mengomentari tubuh seseorang juga masih dianggap hal yang biasa-biasa saja. Perempuan yang sering dijadikan objek seksualitas menjadi pihak yang paling dirugikan. Mirisnya, tidak hanya di dunia nyata, budaya tersebut terbawa sampai ke dunia maya. Di Instagram sendiri, banyak akun-akun ‘sampah’ yang kurang kerjaan mengunggah foto-foto perempuan yang dianggap ‘cantik’ untuk kemudian mereka ambil keuntungan dari akun tersebut.

Pendidikan yang tinggi ternyata tidak menjamin lingkungan kampus terbebas dari praktik ini. Hampir sebagian besar kampus di Indonesia memiliki akun Instagram dengan nama kampus mereka yang diikuti kata ‘cantik’. Sebut saja akun-akun mahasiswi cantik di kampus besar seperti Universitas Indonesia (UI) dengan @ui.cantik, Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan @ugm.cantik, Universitas Padjajaran (Unpad) dengan @unpad.geulis, atau di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) sendiri terdapat akun @unsoedcantik. Itu baru yang mengatasnamakan universitas, belum masing-masing fakultasnya. Di Unsoed, akun-akun cantik tersebut juga ada yang mengatasnamakan fakultas, mulai dari @unsoedfeb_cantik, @bio.cantik, dan juga @unsoed.fpik_cantik. Entah mereka berada di bawah satu naungan yang sama atau tidak, tetapi setiap akun memiliki pola unggahan yang sama.

Standar ‘cantik’ pada tiap akun pun relatif sama. Mayoritas mereka yang fotonya diunggah adalah mereka yang berkulit cerah, rambut panjang, hidung mancung, serta langsing, tipikal standar kecantikan di Indonesia. Selain karena faktor historis, di mana standar ‘cantik’ ini sudah ada semenjak zaman kolonial Belanda, penerapan standar ini juga semakin langgeng karena media lebih banyak merepresentasikan kecantikan dengan  perempuan-perempuan yang berkulit cerah. Hal ini diperparah dengan industri kecantikan yang mendoktrin hal serupa.

 Berdasarkan penelusuran saya di akun @unsoedcantik, ditemukan komentar-komentar cabul yang ada pada beberapa unggahan akun tersebut, misalnya komentar “Uhh, Sexy” pada salah satu unggahan yang menampilkan potret mahasiswi Fakultas Hukum, atau “Siap nernak” yang ditujukan kepada foto mahasiswi Fakultas Peternakan. Namun, tanggapan yang berbeda terjadi pada unggahan lain. Kolom komentar dipenuhi dengan tuduhan bahwa mahasisiwi di unggahan tersebut membayar sejumlah uang kepada admin agar mengunggah fotonya, hanya karena mereka beranggapan bahwa mahasiswi tersebut tidak sesuai dengan standar ‘cantik’ mereka. Komentar-komentar tersebut sudah mengarah pada pelecehan seksual dan body shaming. Dikutip dari health.kompas.com, yang dimaksud dengan body shaming adalah segala bentuk tindakan atau praktik menghina bentuk atau ukuran tubuh orang lain.

Unggahan pada akun ‘kampus cantik’ ini ternyata tidak semuanya mengantongi izin dari si pemilik foto. Berdasarkan tulisan yang diunggah oleh tirto.id, seorang mahasiswi UI mengaku kesal lantaran foto di Instagram pribadinya diunggah ulang oleh @ui.cantik tanpa persetujuannya. Sementara pada tulisan di magdalene.co, Indah−bukan nama sebenarnya−juga mengalami hal serupa oleh akun @unpad.geulis pada 2018. Tidak cukup membagikan foto saja, akun-akun ‘kampus cantik’ juga mencantumkan data pribadi seseorang yang fotonya diunggah. Mulai dari nama lengkap, fakultas, jurusan, angkatan, bahkan hingga menandai akun Instagram pribadi mereka. Penyebaran informasi yang bersifat pribadi tersebut telah melanggar batas ruang personal seseorang. Belum lagi akibat yang ditimbulkan seperti direct message yang mengganggu.

Akibat semakin banyaknya pengikut di akun-akun ‘kampus cantik’, para admin memanfaatkan hal tersebut agar memperoleh keuntungan dari produk dan jasa yang memasang iklan di akunnya. Dikutip dari magdalene.co, seorang admin yang ternyata saling terhubung dengan orang-orang di balik akun ‘kampus cantik’ lainnya mengaku ia mendapat dua ratus lima puluh sampai lima ratus ribu rupiah per unggahan iklan. Pendapatan tersebut cukup untuk menghidupi ia dan rekannya.

Pelanggaran-pelanggaran seperti mengunggah data pribadi tanpa izin dan memanfaatkannya untuk kepentingan komersial dapat dipidanakan. Mengutip dari tirto.id, kejadian tersebut dapat dilaporkan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan delik gugatan atas kerugian akibat penggunaan data pribadi tanpa persetujuan, seperti yang diatur pada pasal 26 ayat (1) dan (2). Kalaupun ada persetujuan, harus ada kesepakatan atas unggahan tersebut, apakah data boleh digunakan untuk kepentingan komersial atau tidak. Selain itu, instrumen lain yang dapat digunakan untuk memidanakan pelanggar yang menggunakan data pribadi untuk kepentingan komersial adalah pasal 115 UU Hak Cipta dengan ancaman denda sebesar lima ratus juta rupiah.

Saat ini, sebagian dari akun-akun ‘kampus cantik’ yang berpengikut besar sudah memprivasi akun mereka. Entah apa alasannya, tetapi hal ini dilakukan seiring dengan menghilangnya akun @ui.cantik. Pada 2018, Anissa, salah satu korban pengambilan data pribadi oleh akun @ui.cantik memberikan somasi terhadap akun tersebut yang kemudian direspons dengan penonaktifan akun. Hingga saat ini, akun tersebut sudah tidak dapat ditemukan, namun muncul akun baru yaitu @uicantikid yang juga telah diprivasi. Di Unsoed, dari banyaknya akun cantik yang ada, akun @unsoedcantik yang memiliki pengikut paling banyak terlihat sudah tidak aktif lagi. Saat tulisan ini dibuat, unggahan terakhirnya tercatat pada Januari 2019 lalu. Lantas, perlawanan seperti apa yang dapat kita lakukan? Pertama, tentu saja dengan mendukung para korban. Mereka yang fotonya diunggah tanpa izin, mereka yang data pribadinya disebarluaskan tanpa izin adalah korban.

Oleh karena itu, penting untuk memberikan dukungan−khususnya secara mental−kepada mereka. Bentuk dukungan yang paling sederhana adalah dengan tidak memberikan komentar yang bersifat judgemental dan mengarah pada pelecehan seksual. Kedua, perlu adanya edukasi bahwa eksistensi akun ‘kampus cantik’ merupakan bentuk glorifikasi seksisme. Pengedukasian ini dapat dilakukan misalnya dengan kampanye dalam skala besar, baik secara daring maupun luring. Kampus, organisasi mahasiswa (ormawa), atau kolaborasi keduanya dapat menjadi pihak yang menginisasi kegiatan pengedukasian tersebut.

Editor: Desi Fitriani

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2020

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *