Oleh: Nida Ismiatun Azzahra*
Satu tugas dari dosen memaksa saya membuka kembali buku tebal nan berat itu. Jika hanya dilihat sekilas tidak ada yang mencurigakan. Namun bila dilihat lebih teliti tampilan luarnya, akan tampak suatu kejanggalan. Bagian jilidannya tidak rapi. Cetakannya kacau. Bagian awal sudah robek beberapa lembar walaupun saya merasa sudah menyimpan dengan baik. Kepala tabel yang harusnya berwarna, menjadi gelap semua, membuat informasi yang ada di dalamnya tidak utuh dan tentu tidak bisa dibaca. Gambar-gambar lain tidak usah ditanya. Bukan soal tidak menarik karena hitam putih saja, bahkan jika tidak ada keterangan lanjutan di bawahnya saya tidak tahu itu gambar apa. Gambar yang seharusnya memperjelas konteks tulisan, menjadi tidak ada gunanya. Sial!
Begitu sedikit gambaran dari buku bajakan yang dulu pernah saya beli. Ketidaktahuan dan kecerobohan dalam membeli buku membuat saya mengomel setiap membukanya. Padahal di buku yang sama, di halaman depannya, sudah jelas tertulis UU Republik Indonesia No. 28 tahun 2014 yang mengatur tentang hak cipta. Bahkan dicantumkan juga di sana pasal 113 yang mengatur ketentuan pidana bagi para pelanggar mulai dari denda sampai hukuman penjara.
Kebanyakan buku bajakan memang punya kualitas yang buruk. Namun, banyak juga yang punya kualitas yang tidak jelek-jelek amat jika tidak bisa dikatakan baik. Ini sama sekali bukan berita menggembirakan. Kualitas buku bajakan yang seperti ini makin menyulitkan pembeli untuk membedakan dengan buku asli. Perlu mata yang lebih jeli untuk memastikan buku yang kita beli bukan buku bajakan. Apalagi jika membeli secara online di marketplace. Akal-akalan penjualnya ada saja. Istilah penyebutannya macam-macam. Non Ori, Grade Ori, re-print, dan yang baru-baru ini repro.
Fenomena tersebut disoroti juga oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Pada 2019, IKAPI Pusat menyampaikan bahwa pihaknya mendapat aduan dari penerbit soal pembajakan buku. Dari situ, diperkirakan nilai potensi kerugiannya mencapai sekitar 16 miliar. Dari ribuan eksemplar buku yang dijual, yang paling banyak dan masif dibajak adalah buku untuk perguruan tinggi. Yang terbaru, IKAPI melakukan riset mengenai indikasi pelanggaran hak cipta selama pandemi Covid-19. Hasilnya, sebanyak 54,2% penerbit menemukan pelanggaran hak cipta melalui penjualan buku di marketplace, sebanyak 25% melalui pembagian PDF buku mereka secara gratis, dan sebanyak 20,8% melalui penjualan di marketplace dan PDF gratis.
Mahasiswa dan buku menjadi satu bagian yang tidak bisa terpisahkan. Mahasiswa jurusan mana pun membutuhkan buku untuk menunjang proses pembelajaran, yang tentu jumlahnya tidak cukup satu dua. Beberapa penerbit sudah terkenal mengeluarkan buku yang sering menjadi referensi untuk beragam mata kuliah. Harga buku macam itu, yang asli tentu saja, seringnya mahal. Berkali-kali lipat lebih mahal dari pada saya punya yang abal-abal itu.
Buku adalah sebuah karya intelektual. Dalam suatu wawancara, Ahmad Tohari, pernah menyatakan baginya yang terpenting adalah bagaimana pikirannya yang tertuang dalam buku itu dapat dibaca dan diterima khalayak luas. Ia yang adalah seorang cerpenis dan novelis menyatakan tak masalah jika bukunya mengalami pembajakan.
Namun, pandangan ini tentu tak bisa disamaratakan dengan penulis lain. Buku bukanlah hanya hasil kerja satu dua tangan. Selain penulis, banyak pihak-pihak lain yang juga mengupayakan lahirnya sebuah buku. Di tahap produksi, penulis, editor, dan penyadur bekerja sama memastikan konten yang disajikan pada buku sudah apik dan tepat. Jika buku itu merupakan karya dari penulis luar negeri tentu dibutuhkan juga seorang penerjemah. Selanjutnya, giliran desainer dan ilustrator yang bertugas mempercantik tampilan. Tahap percetakan juga krusial. Kesalahan sangat rawan terjadi. Tak cukup di situ, untuk sampai di tangan konsumen, sistem distribusi yang baik juga diperlukan. Mereka yang bekerja di industri ini tentu adalah para profesional di bidangnya. Membeli buku asli artinya membayar segala usaha mereka.
Tak perlu menjadi penulis untuk mengerti ini. Mahasiswa yang sering ditugaskan membuat karya tulis jenis apa pun tentu akan paham “mahalnya” sebuah ide. Belum lagi ketika harus disusun kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga selesai menjadi sebuah tulisan. Kerja kreatif bukan kerja ringan dan tak cukup memakan waktu yang sebentar. Apalagi sebuah industri buku yang alurnya lebih panjang dan lebih ketat. Lebih banyak kepala, tentu lebih rumit.
Biasanya, alasan utama dari pembelian buku bajakan ini adalah soal biaya. Mahasiswa tentu punya banyak kebutuhan dan kadang dana yang dimiliki tidak sepadan. Ada alternatif lain, perlu usaha lebih memang. Salah satunya dengan meminjam di perpustakaan. Namun, koleksi perpustakaan tidak selalu lengkap. Kalau ada pun jumlahnya terbatas. Mengandalkan teman pun tidak pasti juga, tidak semuanya punya.
Bisa juga membeli buku bekas. Tapi lagi-lagi harus berhati-hati. Bukan hanya melihat kondisi buku yang tentu saja sudah berkurang kualitasnya dibanding buku baru, buku bekas juga sering merupakan buku bajakan.
Dalam hal ini kampus seharusnya bisa mengambil peran. Koleksi perpustakaan bisa ditambah. Cara lain misalnya bisa mengadakan kerja sama dengan pihak penerbit. Bentuknya bisa dengan memberikan diskon untuk setiap pembelian buku. Semuanya perlu dan bisa diupayakan bersama.
Buku adalah jendela dunia, memang. Tapi mendobrak dan memaksa meringsek masuk ke dalamnya keliru juga. Saya sepakat dengan tulisan yang dicantumkan pada buku itu, tepat di bawah UUD tentang Hak Cipta tadi:
“Pembajakan buku adalah kriminal!”
Editor: Alil Saputra
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Angkatan 2020