Membina Para Musisi Jalanan

Oleh: Nida Ismiatun Azzahra*

Ilustrasi: Alil Saputra

Pengamen merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari pemandangan di kota-kota besar. Mereka ada di mana-mana, mulai dari lampu merah, pertokoan, angkutan umum, bahkan sampai ke rumah-rumah warga. Sebutan untuk pengamen ini biasanya cenderung disejajarkan dengan gelandangan, pengemis, atau anak jalanan yang dikategorikan sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).

Sebetulnya, pandangan ini tak sepenuhnya salah. Memang ada beberapa pengamen yang berpenampilan garang, bertato, atau atribut apa pun yang membuatnya lebih tampak seperti preman yang kerjanya memalak dan tak segan berbuat kasar. Belum lagi mereka dikatakan sering mabuk-mabukan dan akrab dengan obat-obatan terlarang. Namun, salah jika memukul rata semua yang berada di jalanan adalah kotor, hina, nakal, dan segala sesuatu yang buruk ataupun jahat.

Jika ditelisik lebih jauh, para pengamen ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa mereka itu adalah orang-orang terbuang yang tidak mempunyai tempat dalam masyarakat. Keadaan ekonomi membuat mereka akhirnya menjadikan jalanan sebagai sandaran. Mengamen ini dijadikan mata pencaharian unuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akan tetapi, ada juga dari mereka yang menjadikan mengamen sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, bukan karena desakan ekonomi. Ini adalah cara mereka mencintai seni dan mengembangkan potensi. Entah mereka berkecukupan atau tidak, yang jelas uang bukanlah tujuan utama mereka. Jalanan benar-benar menjadi ‘’panggung’’ bagi mereka untuk berkarya. Singkatnya, dibanding faktor ekonomis mereka lebih mengutamakan faktor estetis.

Tentu keduanya memiliki perbedaan. Bayangkan di tengah sore hari yang terik, saat Anda berada di lampu merah misalnya. Tiba-tiba seorang pengamen muncul dengan gitarnya. Mereka bernyanyi dengan nada yang sumbang, suara tak senada dengan petikan gitar, atau salah lirik di sana-sini. Sudah lelah setelah beraktivitas seharian, sekarang tepaksa mendengar nyanyian yang jauh dari kata menghibur. Pening kepala menjadi-jadi dan hati dongkol setengah mati.

Bandingkan ketika pengamen yang datang adalah mereka yang betul-betul mengenal arti seni. Jika mereka bernyanyi maka suara yang terdengar terasa memikat. Jika mereka bermain musik maka mereka mainkan dengan sepenuh hati sehingga tercipta irama yang indah. Ya mungkin kedatangannya pun sama-sama tak kita kehendaki, tetapi setidaknya timbul niat hati memberi uang untuk mengapresiasi bukan berharap dia berhenti dan lekas pergi. Keduanya memiliki persamaan. Mereka butuh regulasi yang benar-benar menghadirkan solusi.

Di Plovdiv, Bulgaria Tengah, pemerintah setempat menerapkan peraturan untuk para musisi jalanan di sana. Di kota-kota lain negara tersebut, peraturan seperti ini sudah banyak diterapkan sebelumnya. Mengutip dari BBC Indonesia, pemerintah kota membagi Plovdiv ke dalam tiga zona, dengan jalan tempat perbelanjaan utama dan wilayah Kota Tua terbuka hanya untuk pemusik yang memenuhi kualifikasi yaitu memiliki ijazah diploma pendidikan musik. Area kedua disediakan untuk mereka yang tidak memiliki ijazah resmi, tetapi harus sudah pernah tampil di acara musik atau ikut dalam kompetisi. Yang ketiga adalah di luar kedua wilayah tersebut dan para pengamen lain bebas mencari nafkah di kawasan yang ketiga ini.

Sama halnya dengan Melbourne, Australia. Pemerintah Melbourne menerapkan aturan untuk para pengamen dan seniman jalanan yang lain. Mereka harus memiliki izin untuk mengamen dan sudah terdapat pula aturan mengenai waktu serta lokasi yang boleh dan tidak boleh digunakan. Untuk persyaratan lebih lengkap tentang izin mengamen ini, bisa dibaca di melbourne.vic.gov.au yang merupakan situs resmi pemerintah Kota Melbourne . Pada tahun 2019, sebanyak 2000 Pengamen Melbourne mengikuti audisi untuk bisa mendapatkan tempat di Bourke Street Mall selama tiga tahun . Bourke Street Mall merupakan salah satu tempat yang memerlukan izin mengamen premium. Seleksi ini bisa dikatakan sangat ketat karena hanya ada 140 pengamen yang lolos dan diziinkan untuk bermain di sana.

Dengan melihat bagaimana keadaan pengamen di negara tersebut, tentu sulit melekatkan pandangan negatif seperti yang biasa kita lakukan di Indonesia. Mereka bisa memberikan penampilan yang menarik dan tak lagi dianggap mengganggu ketertiban serta keamanan. Kita yang mendengar dan melihat pun akan terhibur dan merasa lebih nyaman. Yang tak kalah penting kemungkinan besar pendapatan yang diperoleh oleh pengamen tersebut akan lebih meningkat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Jakarta, ada lembaga khusus untuk membina pengamen-pengamen yang terjaring operasi Dinas Sosial (Dinsos) bernama Pusat Pelatihan Seni Budaya (PPSB), langsung di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI. Pembinaan dilakukan dengan menampung pengamen-pengamen yang terjaring razia Dinsos DKI lalu dilatih sesuai bakatnya. Pelatihan di PPSB tidak menyanyi dan musik saja, tetapi ada juga teater, tari, melukis bahkan membatik. Di banyak kota lain, rumah singgah juga menjadi kebijakan yang diambil dalam pembinaan pengamen dan anak-anak jalanan.

Akan tetapi, program-program tersebut bukan berarti tak menemui masalah. Beberapa pengamen mengaku jenuh dengan rutinitas yang dilakukan di panti sosial tempat penampungan mereka. Kegiatan yang berlangsung hingga sore, membuat mereka tidak bisa bercengkerama ataupun berkumpul dengan kawan-kawannya. Selain itu, tidak semua pengamen tidak memiliki tempat tinggal. Jadi program rumah singgah ini juga bisa dikatakan tidak cocok untuk pengamen tersebut.

Untuk itu, regulasi yang diterapkan harusnya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Penting untuk melihat apakah peraturan-peraturan yang selama ini diterapkan sudah membuahkan dampak yang diingkan atau perlu dilakukan evaluasi. Mengetahui perbedaan latar belakang pengamen itu merupakan satu hal yang semestinya dilakukan sebagai langkah awal melihat permasalahan lebih dalam. Pemerintah harus bisa menemukan regulasi yang efektif dan benar-benar menjadi solusi. Tentu yang menjadi harapan kita bersama adalah soal pengamen ini segera tertangani dan tak menjadi permasalahan lagi dan lagi.

Editor: Salsabila Ats-Tsauri

*Mahasiswa Fikes Unsoed angkatan 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *