Sebuah Catatan Kecil untuk Liputan Sejarah


Ilustrasi: Helda Puspitasari

Sejarah adalah roda yang berputar. Ungkapan itu makin banyak digaungkan belakangan. Mungkin karena melihat sejumlah kejadian-kejadian pada masa lampau seolah terulang kembali. Meskipun terdapat sisi-sisi yang sama, namun tak berarti yang terjadi adalah sama persis. Kejadian-kejadian yang sekilas sama belum tentu merupakan perulangan seutuhnya.

Bersamaan sejarah itu, kita menapaki kembali jejak-jejak pemikiran pada era lampau. Seperti kata Hegel, pikiran memproduksi tesis untuk kemudian dilawan dirinya sendiri: antitesis. Pikiran berjalan melawan dirinya sendiri. Dalam sejarah itu pemikiran diproduksi. Tugas kita belajar dari yang lampau itu sembari mengusahakan yang buruk darinya tak terulang kembali

Dalam sejarah itu pula, kita bisa membaca pola pikir sebuah peradaban. Membaca lanskap pemikiran yang berkembang pada masanya sekaligus menangkap kearifan-kearifan yang tersimpan. Yang menjadi pertanyaan di sini bukanlah siapa yang mengungkapkan, melainkan apa yang diungkapkan dan dalam konteks yang seperti apa.

Kami tak hendak berkoar-koar soal Jasmerah “jangan sekali-kali melupakan sejarah” yang sudah kelewat banyak dikutip itu. Namun demikian, kami juga tak menafikan derajat pentingya mempelajari sejarah secara lebih mendalam. Membaca sejarah secara lebih kritis, itu yang kami maksud. Sebab, bukankah tetap ada potensi bahwa penulisan sejarah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu guna memenuhi kepentingan mereka? Kemungkinan itu selalu terbuka. Sampai sini, kita belum lagi berbicara mengenai pemalsuan sejarah.

Kita tak ingin generasi sekarang dan seterusnya menjadi generasi yang lepas dari sejarah. Jangan sampai generasi kita terlepas dari pembacaan kritis atas apa yang terjadi di masa lampau. Hilangnya pembacaan kritis terhadap sejarah membikin kita buta akan konteks mana yang sudah terjadi dan yang sedang berlangsung. Tak ada kata terlambat untuk membuka buku-buku sejarah. Tak terkecuali bagi lembaga pers ini. Namun, untuk sampai ke situ, tidaklah cukup turun tangan satu pihak saja. Perlu ada upaya sinergis pada hampir semua pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang dimaksud meliputi perpustakaan daerah, perpustakaan universitas, media massa, komunitas baca, dan juga publik pembaca sejarah itu sendiri.

Bagi lembaga pers ini, pemberitaan berkaitan sejarah adalah hal baru dalam kurun tahun-tahun belakangan. Jenis liputan seperti ini menyimpan tantangan dan kesulitan tersendiri. Barangkali karena kebaruan itu pula, kendala dari berbagai sudut seolah datang berbarengan.

Maka, inilah kami. Sebuah lembaga pers yang sedang mencari bentuk barunya dengan memperluas jangkauan isu liputan. Kesemua itu dilakukan demi memperkaya variasi konten.

Sudah barang tentu majalah ini tak memuat keseluruhan dari sejarah krisis di Banyumas itu mengingat keterbatasan ruang dan sebagainya. Namun begitu, itu tak lantas berarti kami mengesampingkan roh jurnalisme yang menyawai setiap produk kami. Disiplin verifikasi tak akan demikian murah untuk digadaikan dengan kecepatan pemberitaan begitu saja.

Sembari merampungkan liputan ini, kami turut menyadari satu hal penting. Kerja pendokumentasian, utamanya arsip lama, tidaklah sepele nilainya. Baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Malangnya, pendokumentasian bukanlah kerja yang bisa dirasakan manfaatnya hanya dalam satu atau dua hari. Butuh puluhan tahun agar manfaat kerja tersebut bisa dirasakan.

Dalam pemahaman yang lebih sederhana, bukan generasi kita yang merasakan manfaat itu, melainkan generasi anak cucu. Tak ayal apabila tak banyak pihak yang bergairah menggarap kerja seperti ini. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua. Entah perorangan, pegiat sejarah maupun lembaga pemerintah demi menghidupi sengal napas pendokumentasian di Indonesia pada umumnya dan Banyumas pada khususnya.

Kurang lebih durasi 1 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk merampungkan majalah ini. Itu waktu yang sangat panjang untuk memulai riset isu, perencanaan produk, pengolahan data, dan proses teknis lainnya sampai majalah ini bisa berada di tangan Anda.

Tulisan bertema sejarah di produk LPM Skëtsa masih terbilang jarang. Ada banyak faktor yang mendukung pernyataan ini. Berkisar dari rendahnya minat baca publik hingga keengganan reporter kami mengelaborasi topik-topik berkaitan sejarah. Keengganan berkembang semacam itu ternyata tetap merebak, bahkan kepada insan di institusi pers mahasiswa sekalipun!

Tidak mengherankan kiranya kalau pijakan awal menuju penggarapan laporan bertema sejarah itu menemui banyak kendala. Secara teknis kami tak punya referensi tekstual tentang bagaimana liputan semacam
ini harusnya dikerjakan. Yang bisa dilakukan hanyalah meraba-raba sistem kerja media yang sudah mapan dan menerapkan hasil perabaan itu. Bekal kami cuma satu: wartawan bertanggung jawab membuat sesuatu yang penting menjadi menarik dan relevan!

Pada saat yang sama, terus berkembang anggapan bahwa membaca tulisan bertopik sejarah adalah hal membosankan. Cukup terang bahwa anggapan semacam itu mesti dicarikan obatnya juga.

Media massa secara umum memiliki tanggung jawab untuk merespon kondisi tersebut. Dalam konteks ini, media massa harusnya turut andil dalam penyebaran konten yang mengulas sejarah. Media massa menjadi tempat kebenaran sejarah itu diuji.

Pada akhirnya, kita mesti sepakat bahwa jurnalisme yang ideal bukanlah jurnalisme yang bersandar pada satu jenis teknik reportase saja. Dengan alasan itulah kami tak lagi terpaku pada bentuk usang jurnalisme itu: jurnalisme lisan. Jurnalisme lisan sangat mengandalkan keterangan lisan narasumber guna menyusun narasi dalam berita. Jurnalisme yang demikian selain terkadang kurang bisa diandalkan kevalidannya, juga kurang bisa memberikan gambaran yang lebih komprehensif pada pemberitaan dalam titik tertentu. Skeptisisme wartawan dituntut kerja berlebih bila tetap mempertahankan model seperti itu.

Di majalah ini, kita akan menengok kembali krisis ekonomi yang melanda Banyumas pada 1930-an. Guna menghadirkan gambaran yang lebih utuh, kami sertakan konteks besar yang terjadi di tingkat global pada masa itu. Pada sisi yang lain, kami juga tak menihilkan konteks lokal di Banyumas sendiri. Silakan langsung merujuk rubrik Laporan Utama majalah ini untuk mengetahuinya.

Rubrik Laporan Khusus di majalah ini membahas pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas pada 1937. Sejak saat itu, pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas berpindah dari Banyumas ke Purwokerto. Lebih spesifik, kami sertakan beberapa aspek terkait pemindahan tersebut.

Akhir kata, kami serahkan “Majalah Skëtsa Edisi 36” ini kepada publik. Silakan disikapi secara kritis. Kami senang tetap menjalankan fungsi institusi pers di kampus. Hendaknya sejalan dengan tujuan lembaga ini: memandu wawasan almamater.

Namun demikian, kami tak kalah senang kalau fungsi ini tidak lagi jadi tugas utama kami. Hal itu terjadi manakala publik kampus tak perlu lagi dipandu wawasannya. Mereka bisa mencarinya sendiri. Kami lebih ingin memakai istilah “mendampingi” wawasan almamater. Menjadi kawan yang sejajar. Tabik!

Yoga Iswara Rudita Muhammad
Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2018

CATATAN REDAKSI:

TULISAN INI ADALAH SIKAP REDAKSI LPM SKЁTSA. PEMBACA YANG CERDAS HARUS PAHAM JIKA PERS BOLEH DAN HARUS BERPIHAK PADA SITUASI TERTENTU. TULISAN INI DIMUAT ULANG DARI MAJALAH SKЁTSA EDISI 36︱MARET 2019 BERJUDUL “MALAISE: KETIKA BANYUMAS DITERPA KRISIS” PADA RUBRIK EDITORIAL.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *