
Bulan-bulan belakangan, ruang publik kita dihantui kecemasan pada sesuatu yang bernama radikalisme. Dugaan mengenai adanya kelompok-kelompok yang terpapar radikalisme menyeruak ke pemberitaan berbagai media. Pemerintah tak henti-hentinya menggaungkan bahaya radikalisme yang katanya bisa mengintai siapa saja. Tindak radikalisme berpotensi mengganggu stabilitas negara.
Isu radikalisme telah menjadi kecemasan tersendiri bagi Pemerintah beserta jajarannya. Terbukti, Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada Oktober tahun lalu mengesahkan peraturan baru menyangkut pembinaan ideologi bangsa. Hal itu diatur dalam Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018. Seturut Menristekdikti Mohamad Nasir, peraturan ini menjadi upaya menekan berkembangnya paham radikal dan intoleran di kampus.
Disahkannya Permenristekdikti ini bak kejutan menjelang akhir tahun 2018. Bagaimana tidak, dalam peraturan tersebut, terdapat sebuah klausul yang secara substansi berubah dari peraturan yang lebih dulu berlaku: SK Dikti Nomor 26 Tahun 2002. Perubahan substansi itu berkait dilegalkannya kembali organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) masuk wilayah kampus dengan catatan tak melakukan politik praktis. Dalam peraturan lama, ormek dan partai politik dilarang mendirikan kantor sekretariat dan melakukan kegiatan politik praktis di wilayah kampus.
Anjuran pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB) di tiap-tiap perguruan tinggi menjadi wacana yang ramai dibahas selepas keluarnya Permenristekdikti ini. UKM PIB diproyeksikan sebagai wadah pembinaan ideologi bangsa dan bertanggung jawab pada pemimpin perguruan tinggi. Adapun keanggotaannya dapat melibatkan perwakilan ormek.
Hingga tulisan ini terbit, belum ada kepastian dari Rektorat melibat bakal dibentuk atau tidaknya UKM PIB di Unsoed. Namun demikian, Wakil Rektor III Kuat Puji Prayitno mensinyalir besar kemungkinan UKM PIB tidak akan dibentuk (Baca Laporan Utama Buletin InfoSketsa “NKK Jilid II dan Kecemasan-kecemasan Lainnya”).
Kami memandang urgensi pembentukan UKM PIB di Unsoed tidak begitu besar untuk saat ini. Oleh karenanya, UKM tersebut tidak perlu sampai dibentuk. Alasannya, untuk keperluan mewadahi pembinaan ideologi bangsa, Unsoed sebetulnya sudah memiliki sistem yang mencukupi. Misalnya, masa orientasi mahasiswa baru di awal masa perkuliahan. Itu pun masih ditambah adanya mata kuliah pendidikan karakter seperti Jati Diri Unsoed, Pendidikan Pancasila, dan Kewarganegaan.
Cukup banyak ormek yang tidak sepakat dengan beberapa ketentuan yang ada dalam Permenristekdikti ini. Ketidaksepakatan itu bercokol pada klausul teknis penentuan struktur anggota UKM PIB dan klausul pertanggungjawaban organisasi secara langsung kepada pemimpin perguruan tinggi. Kalau masih demikian, tak ada garansi bahwa nantinya UKM PIB akan terbebas dari potensi pendiktean oleh pihak perguruan tinggi. Pendiktean menghanguskan ruang dialektis yang semestinya tercipta.
Membentuk UKM PIB di Unsoed pada akhirnya akan menambah total pengeluaran untuk kegiatan UKM di tingkat universitas secara keseluruhan. Tak ada kegiatan yang benar-benar tak butuh biaya, bukan? Kita juga perlu berprakira jika UKM PIB ini dibentuk, akan muncul juga kebutuhan baru yaitu menyediakan kantor sekretariat bagi UKM bersangkutan. Sampai di sini, kita perlu bertanya, ada berapa UKM tingkat universitas yang sampai sekarang tak memiliki kantor sekretariat?
Pada perjalanannya, bila UKM PIB jadi dibentuk di Unsoed, kuat kemungkinannya menghadapi tantangan besar: perbedaan pandangan antar-ormek. Masing-masing ormek berangkat dari pandangan yang berbeda. Kalaupun direalisasi, UKM PIB jangan sampai hanya menjadi organisasi yang anggotanya dari “situ-situ” saja.
Alih-alih memikirkan rencana pendirian UKM PIB yang belum begitu mendesak, Unsoed lebih perlu berfokus pada masalah-masalah menahun yang tak kunjung terselesaikan. Di antaranya menyangkut pengupayaan institusi pendidikan yang ramah gender, optimalisasi fasilitas kampus, dan transparansi informasi perguruan tinggi.
Berkait sikap ormek di Purwokerto yang beragam, hal tersebut adalah wajar. Itu menandakan demokrasi masih berjalan.
Memilih untuk berserikat dan berkumpul, itu adalah hak. Akan tetapi, memilih untuk tidak berserikat dan berkumpul, adalah juga hak. Pada titik ini, keikutsertaan ormek dalam UKM PIB mesti dikembalikan pada derajat kemendesakan yang hanya diketahui masing-masing ormek.
Sekilas, keluarnya Permenristekdikti tentang pembinaan ideologi bangsa ini bak angin segar. Di tengah gonjang-ganjing meributkan pihak mana yang radikal dan intoleran, muncul alternatif langkah preventif. Pemerintah seolah membaca pikiran publik: musuh bersama kita adalah radikalisme! Namun begitu, tidak lantas berarti semua niatan baik itu membawa dampak yang sepenuhnya baik pula.
Sejauh yang kami yakini, ada satu sikap radikal yang tak ada salahnya dipraktikkan: radikal dalam berpikir. Kita tak butuh terlalu banyak mengangguk. Lebih perlu perbanyak gelengan. Namun begitu, kami sepakat bahwa radikal dalam tindakan yang berbuntut membahayakan keselamatan orang lain, itu yang harus diperangi.
*Yoga Iswara Rudita Muhammad
Pemimpin Redaksi
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 37 | Januari 2019 pada Rubrik Editorial.