Sutan Takdir Alisjahbana dikenal sebagai tokoh bahasa yang memordenisasi bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Perannya dalam perkembangan bahasa Indonesia terbilang vital. STA, kerap disapa begitu, yang pertama kali menulis “Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia” pada 1936. Ia pun dikenal sebagai pelopor sastrawan “Pujangga Baru”. Ia meninggal pada usia 86 tahun di Jakarta, 17 Juli 1994. Untuk mengenang diri dan senarai karyanya, SKETSA menerbitkan ulang hasil wawancara dengan STA ke laman ini. Sebelumnya, kami melakukan penyuntingan minor dalam segi diksi dan bahasa, dan tentunya tanpa mengubah isi dan substansi tulisan. Berikut adalah artikel dengan judul asli “Sumpah Baru”.
Wawancara Sutan Takdir Alisjahbana
Sebagai salah satu tokoh besar milik bangsa kita sampai saat ini, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang filsuf, sastrawan, budayawan, dan sekaligus sebagai seorang pendidik, berkesempatan ditemui oleh K.K. (Koran Kampus-red) Skëtsa di rumah kediamannya, di Bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Kondisi fisiknya masih lumayan segar pada usia 85 tahun, terhitung dari tanggal lahirnya pada 11 Februari 1908, di Natal, Tapanuli. STA, begitu panggilan akrabnya, masih tetap bersemangat dalam memaparkan pandangan-pandangannya terhadap fenomena masyarakat dunia, kebudayaan serta mutu pendidikan kita. Berikut petikan wawancara dengan tokoh kita.
Kita mulai dari yang global. Bagaimana pendapat Anda tentang keadaan masyarakat dunia yang sampai saat ini masih dilanda konflik yang berlarut-larut?
Keadaan sekarang berbeda dengan dulu. Dulu, orang berperang dengan tombak, dan sekali digunakan paling banyak satu orang mati. Sekarang, dengan bom atom, walaupun harganya mahal, tapi sekali digunakan seluruh umat manusia bisa lenyap dari muka bumi ini. Oleh karena itu saya berpikiran bahwa kita harus menuju kepada terbentuknya “Federasi Dunia” seperti dalam karangan terbaru saya, “Deultimate Solution of The Social and Cultural Crisis of Our Time”. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kita telah mengadakan sumpah baru yaitu satu bumi, satu tanggung jawab, satu umat, dan satu masa depan.
Dalam pembentukan Federasi dunia ini, bagaimana pengaruh negara kuat, seperti AS, terhadap negara berkembang dan terbelakang?
Ya, memang AS negara kuat. Tapi sebenarnya AS telah gagal. Sebenarnya dalam Perang Dunia I dan II memang AS adalah satu-satunya negara yang menang. Namun pikirannya tidak maju ke depan.
Maksud Anda “tidak maju ke depan”?
Artinya, setelah menang ia mengundurkan diri. Sekarang, ia menjadi polisi saja. Sebenarnya bentuk federasi seperti AS itu sudah bagus, kalau semua negara menjadi anggota dan namanya berubah menjadi Federasi Dunia. Tapi orang Amerika belum berpikir sejauh itu. Selanjutnya, seandainya Federasi Dunia terwujud, alangkah banyak uang yang tersimpan daripada terhambur untuk biaya angkatan perang.
Lalu fenomena yang di Indonesia bagaimana?
Kita malah menjadi contoh yang paling baik. Coba simak, sekitar 17.000 pulau, 400 sampai 500 suku bangsa, kebudayaan, dan bahasa, dapat kita satukan. Presiden Soeharto mempunyai kedudukan yang penting dengan usahanya menghimpun 108 negara nonblok. Mudah-mudahan Indonesia bisa menjadi pelopor.
Peran serta PBB bagaimana nantinya?
PBB harus tumbuh menjadi parlemen dunia.
Berubah fungsi, nantinya?
Ya. Semuanya harus berubah fungsi. Kita pun harus berubah. Dari nasionalisme menjadi universalisme. Coba lihat, zaman dulu ketika orang memakai kuda pertama kali, itu merupakan zaman yang amat penting (kira-kira abad ke-5 SM). Ketika itu di China bangkit Konghuchu, di Timur Tengah para Nabi Yahudi, dan di Yunani para filsuf. Itulah poros sejarah. Kita masih hidup di bawah bayang-bayangnya. Orang yang tidak bertemu dengan China, Timur Tengah, Yunani, atau India, sampai sekarang masih primitif. Fungsi-fungsi itu berubah dari manusia yang berjalan kaki menjadi orang yang menunggang kuda. Seorang ahli Jerman, Alfred Weber, pernah berkata bahwa pada abad tersebut orang yang duduk di atas kuda akan lebih cepat dan mempunyai kepercayaan diri yang lebih besar dari yang berjalan kaki.
Apa bisa diartikan dengan simbol kemajuan teknologi sekarang ini?
Benar. Kalau dulu kita berada dalam poros sejarah yang kecil, sekarang kita berada dalam poros sejarah yang jauh lebih besar. Penyesuaiannya bisa dengan pembentukan Federasi Dunia tadi. Sekarang kita masih berada di dalam zaman nasionalisme yang bangkit di abad lalu.
Kemudian, pandangan Anda tentang hancurnya sosialisme di Rusia, Rumania, atau di negara-negara Eropa Timur?
Begini, sosialisme itu ada di dalam jiwa kita semua. Tapi, dalam keadaan dunia yang terpecah, individualisme pertama kali muncul, akibatnya gaji buruh menjadi rendah. Kemudian buruh bersatu, jadilah sosialisme. Padahal, sebenarnya kita ingin sosialisme itu memasyarakat. Dan masyarakat yang individunya mati, tidak ada gunanya itu. Artinya, bahwa satu dunia baru sedang bangkit, kapitalisme, dan sosialisme ada dalam jiwa kita semua, dan kita membuat suatu sintesis dan kapitalisme itu sikap manusia yang bertanggung jawab terhadap sesamanya. Kan kapitalisme itu kekreatifan dan inisiatif pribadi. Kita harus mengadakan perjuangan baru, yaitu kombinasi dan keseimbangan antara sosialisme dan kapitalisme.
Semasa hidupnya, STA begitu banyak menekuni berbagai pendidikan formal dengan beragam disiplin ilmu, diantaranya pernah menuntut ilmu di HKS (Bandung), Hoofdacte (Jakarta), Sekolah Hakim Tinggi, dan juga pada fakultas sastra dalam bidang filsafat dan kebudayaan.
Sebagai seorang budayawan, bagaimana pendapat Anda tentang kebudayaan yang menjadi subordinasi politik?
Teori saya mengatakan bahwa politik itu cuma sebagian dari kebudayaan. Saya fokuskan pada nilai kebudayaan, yaitu ada enam nilai. Antara lain nilai ekonomi yang mau kegunaan, nilai agama yang mau kekudusan, nilai seni yang mau keekspresifan, nilai politik yang mau kekuasaan, dan yang terpenting di zaman sekarang yaitu nilai solidaritas yang mengandung cinta, kasih sayang, kooperasi, kerjasama, dan tolong-menolong (kemungkinan nilai yang keenam adalah nilai ilmu-red). Enam nilai ini ada pada semua orang, tapi pada seorang yang kuat nilai agamanya ia akan menjadi ulama, yang lain kuat nilai ilmunya akan menjadi ilmuwan, yang kuat nilai kekuasaan akan menjadi poltician. Pada zaman dulu, nenek moyang kita dikuasai oleh nilai agama dan seni, sedangkan sekarang kebudayaan modern dikuasai oleh ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi. Kemudian, orang-orang politik mau berebut kekuasaan, jelas politik itu kekuasaan, pedang, yang merupakan sambungan tangan politician. Tapi, sekarang ini, kalau golongan politician berebut kekuasaan dan dibiarkan, maka bom atom akan meletus, jadi para politician harus sadar bahwa kekuasaan (yang) begitu besar bisa melenyapkan diri sendiri.
Kemudian, di tengah realita persaingan politik tersebut, di mana hak asasi rakyat dapat diwujudkan?
Nah, di mana hak asasi rakyat itu terjelma, itu masih sebuah perjuangan. Kalau bagi saya, hak asasi itu dapat terjelma, ya itu tadi, Federasi Dunia. Lihat saja, di mana-mana di belahan dunia ini mulai merasakan perlunya persatuan, sudah kelihatan kan, di Eropa (MEE), atau di Asia (ASEAN)?
Di samping terkenal sebagai filsuf, budayawan serta sastrawan, beliau juga dikenal sebagai mantan rektor dari salah satu universitas swasta tertua di Indonesia, yaitu Universitas Nasional Jakarta.
Pendapat Anda mengenai sistem pendidikan yang kualitasnya dapat dikatakan mundur?
(Merenung agak lama). Ya, mundurnya begini. Bila dibandingkan dengan zaman Belanda dulu, sekolah kita ini terlalu cepat bertambah. Universitas di zaman dulu hanya ada dua atau tiga. Sekarang lebih dari seribu Perguruan Tinggi, Institut, atau Akademi. Nah, di mana kita mencari-cari profesornya? Di mana kita mencari bukunya? Yah, dengan sendirinya kita harus terima itu semua. Tapi kita juga harus meningkatkan mutunya. Dan terutama sekali saya katakan, universitas yang sesungguhnya adalah buku. Dan tugas terpenting bagi bahasa Indonesia sekarang ini adalah menerjemahkan semua buku yang penting dalam sejarah umat manusia. Mestinya dengan bahasa Indonesia, kita bisa membaca semua pikiran dan kemajuan seluruh dunia. Sekarang ini banyak sekali buku-buku penting yang tidak dapat dibaca karena belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebab itu, saya menganjurkan penerjemahan buku secara besar-besaran. Sekadar contoh, pada masa perang dunia dulu, waktu itu Komodor Perry King datang ke Jepang dengan angkatan perangnya, dan Jepang angkat tangan. Jepang tidak punya meriam, tidak punya kapal perang. Tapi orang Jepang itu mengerti bahwa semuanya itu dibuat oleh otak. Maka otaknyalah yang harus direbut. Maka Jepang pun mengirimkan pemuda-pemudanya untuk belajar di luar negeri dan diterjemahkannya secara besar-besaran semua buku. Jadi, yang terpenting adalah bacalah buku sebanyak-banyaknya. Selain itu, selalulah bersikap positif, konstruktif, optimis, serta idealis. (Sastro)
*Tulisan ini pernah terbit di Koran Kampus Skëtsa Edisi IX Februari Tahun 1994, namun tanpa keterangan yang jelas terkait waktu wawancara. Agar tetap bisa diakses oleh sidang pembaca, tulisan ini dirilis ulang dalam “Artikel Lawas” dengan perubahan kecil seperti perbaikan redaksional tanpa mengubah struktur penulisan sama sekali.