
Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad*
Judul buku : Seandainya Saya Wartawan Tempo
Penulis : Goenawan Mohamad
Tebal : vii+98 halaman (versi format pdf)
Edisi : Edisi revisi cetakan keempat
Tahun : 2015
Penerbit : Tempo Publishing
Apa jadinya kalau berita yang lazimnya kaku dan taat pakem berita lempeng (straight news) disusun ulang sehingga menjadi sebuah laporan nan menarik untuk dibaca? Itu sedikit gambaran yang saya dapatkan dari apa yang disebut gaya penulisan feature. Selebihnya, silakan Anda baca buku Goenawan Mohamad yang satu ini.
Sudah bukan rahasia lagi kalau Goenawan Mohamad adalah seorang wartawan ulung. Berpuluh-puluh tahun sudah tokoh itu menekuni bidang yang mengangkat namanya, jurnalisme. Namanya kian melambung bersamaan dengan munculnya Tempo, perusahaan pers yang ia rintis bersama mendiang Yusril Djalinus. Kala itu dia didapuk menjadi pemimpin redaksi. Tempo menelurkan produk berupa majalah berita mingguan (MBM).
Bersama Goenawan Mohamad, Tempo menawarkan ide segar untuk diaplikasikan kepada produk jurnalistik masa itu. Tempo memperkenalkan ragam baru dalam menulis berita di jagat jurnalistik Indonesia. Berita yang lazimnya dikemas dalam bentuk berita lempeng dan kolom, diubahnya menjadi tulisan yang lebih punya “kisah”. Ragam tulisan feature namanya. Perkembangannya bermula dari dunia barat.
Gaya penulisan Tempo yang seperti sekarang tidak muncul begitu saja. Perlu usaha dan riset lapangan yang serbaekstra untuk membikin konsep yang ada menjadi berwujud. Tempo belajar banyak dari Time, MBM kenamaan asal Amerika Serikat yang bermarkas di New York. Dari sini, muncul sebuah anekdot, apakah nama Tempo merupakan nama Time yang disulihbahasakan?
Tulisan berita berbalut kreativitas bersastra tidak hanya menghiasi laporan-laporan GM—panggilan singkat Goenawan Mohamad―melainkan sudah menular hingga ke Catatan Pinggir rubrik esai khusus GM di Tempo. Kumpulan esai di Catatan Pinggir kini bisa ditemukan dalam bentuk antologi yang berjilid-jilid.
Ada banyak jalan guna menyampaikan kebenaran. Kebenaran bisa disalurkan melalui gaya yang lempeng, tetapi bisa pula dengan gaya alternatif: menyampaikan kebenaran secara komprehensif lagi rinci. Soal yang belakangan ini bisa terjawab melalui gaya penulisan feature.
Sebagai ragam dari teknik menulis, feature mencoba menutup kelemahan pada jurnalistik bergaya lempeng yang tumpul dalam mengangkat segi kisah dari sebuah peristiwa. Jurnalisme bergaya lempeng sering abai akan hal-hal yang menarik berpatok pada sebuah peristiwa. Akan sangat jarang Anda tangkap kemenarikan dari satu peristiwa kecuali hal yang menjadi inti berita itu sendiri. Contoh konkretnya, sebuah berita lempeng dari proses pengadilan seorang nenek yang mencuri di kebun akan menaruh pusat perhatian pada “vonis pengadilan” yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Sebaliknya, feature malah mungkin akan berfokus pada sebab musabab yang mendorong nenek tadi terpaksa mengutil. Dengan perkataan lain, gaya feature cenderung mengangkat sudut yang berbeda demi mendapat visi yang lebih menarik.
Kreativitas membangun tulisan feature yang baik sejalan dengan kemampuan bersastra yang mumpuni. Bukan, yang saya maksud bukan bersastra dalam artian memasukkan hal-hal utopis ke dalam tulisan nang jelas-jelas nonfiksi sekelas berita. Yang saya maksudkan di sini adalah memanfaatkan kaidah keindahan yang ada pada sastra dan memadukannya dengan hasil reportase. Kita menukil sedikit keindahan sastra untuk menciptakan tulisan yang di samping menggugah atensi, juga menjanjikan lebih banyak informasi. Bukankah itu salah satu elemen jurnalisme versi Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, membuat sesuatu yang penting menjadi menarik untuk dinikmati? Semua itu mesti dilakukan sembari memastikan laku pewarta tetap selajur dengan kode etik jurnalistik.
Meski tidak ada deskripsi yang paling memuaskan menyoal apa itu feature—bahkan penulisnya sendiri mengakuinya―hal yang paling konkret darinya adalah mengenai keberceritaan. Itu yang mampu menyeret mata pembaca untuk tetap setia pada apa yang ada di hadapannya. Hal itulah yang berdaya membikin pembaca tidak sadar bahwa mereka telah membaca berlembar-lembar hasil liputan. Tulisan bergaya feature lebih bisa mengakomodasi sudut yang mungkin luput jikalau sebuah berita cuma dimunculkan sebagai berita lempeng.

Seorang GM mampu menelanjangi struktur sebuah laporan feature dengan begitu apik. Dalam tulisan, ia tak ubahnya sedang bercerita dengan kawan sendiri. Ketakutan terhadap struktur tulisan yang seringkali menjadi momok bagi wartawan pemula—saya juga tentunya—sedikit bisa diobati setelah menyelesaikan buku ini.
Menyinggung soal konten, disebutkan bahwa pada dasarnya anatomi feature itu terdiri dari tiga hal: kepala, tubuh, dan ekor. Lebih sederhana lagi: pembuka, isi, dan penutup. Masing-masing punya nilai signifikansinya sendiri teruntuk tulisan yang dihasilkan. Bagian pembuka misalnya, ia bisa dibayangkan sebagai umpan ketika kita memancing. Gunakan umpan yang bagus, maka ikan akan tertarik untuk mendekat dan vice versa. Membikin pembaca bosan sedari awal sama saja dengan mempersilakan mereka buru-buru pergi meninggalkan meja baca.
Kalimat lead atau pembuka tidak perlu berpanjang-panjang. Penulis perlu menjaga hubungan baik dengan prinsip berkomunikasi yang efektif, KISS―keep it short and simple. Mengulang salah satu pengandaian sang penulis, “Kaldu yang kental bisa menjadi sup yang hambar bila terlalu banyak air.” Rangkaian kalimat dalam lead amat disarankan untuk mampu menggambarkan isi dari keseluruhan tulisan.
Pembaca yang mulai buyar sudah seharusnya disegarkan kembali melalui sajian yang lebih mendetail dalam tulisan. Kebuyaran boleh jadi muncul sebab fokus tulisan yang tidak jelas, gaya penulisan yang membosankan, ataupun kesalahan teknis sejenisnya. Penulis berita bisa menggunakan empat jurus guna mengatasi hal ini, yaitu dengan memeriksa: fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan dalam tulisan.
Melawan Hegemoni Struktur Piramida Terbalik
Sepanjang manusia dan konflik masih ada, mungkin sepanjang itu pula berita bergenre lempeng masih tetap eksis. Beritanya ringkas, padat, lagi jelas. Itu bisa menyesuaikan dengan gaya hidup manusia zaman sekarang yang—meminjam istilah dari Alvin Tofler— rentan terhadap information overload. Terlalu banyak informasi yang berputar dalam kehidupan manusia modern. Ini mengharuskan sebagian informasi mesti disimplifikasi. Imbasnya, orang-orang sekarang cenderung lebih suka informasi yang tidak belibet walaupun seringkali justru cetek dalam hal esensi.
Informasi tidak lagi cukup disampaikan dengan gaya konvensional nan membosankan. Orang-orang membuat terobosan guna mengakali hal ini. Dibuatlah infographic, animasi, dan berbagai media lain yang lebih piawai menarik atensi audiens tanpa menghilangkan segi informatifnya. Gaya penulisan feature ini mungkin salah satunya.
Paket Lengkap Demo Menulis
Ibarat demo memasak yang acap kali tayang di televisi, buku karya Goenawan Mohamad ini memiliki persamaan dengannya dalam berbagai aspek. Keduanya menampilkan bahan untuk diolah, teknik mengolah, dan hasil akhir yang diperlihatkan. Bedanya, yang pertama adalah demo memasak, sementara yang kedua adalah demo menulis.
Bukan tanpa alasan saya mengaitkan buku ini dengan acara demo memasak. Ini semata karena ada kesamaan dalam satu dan lain hal. Singkatnya, saya katakan buku ini merupakan paket lengkap. Ada bahan untuk diolah, yaitu ide, teknik pengolahan yang berupa outline, dan hasil akhir yang dicontohkan langsung oleh penulis. Goenawan Mohamad merangkumkan kesemua hal itu ke dalam sebentuk buku.
Goenawan Mohamad menyajikan komposisi yang berimbang antara teori dan praktik—dua hal yang selama ini didikotomikan karena sering senjang satu sama lain. Tidak lagi perlu diributkan perihal “ini buku terlalu teoretis,” atau malah sebaliknya.
Setiap masakan yang enak punya resep tersendiri, begitu pun dengan tulisan. Menurut Goenawan, rahasia sebuah tulisan bisa begitu memikat terletak pada unsur yang menyusun tulisan itu sendiri. Anasir-anasir ini tidak lantas berdiri sendiri melainkan saling membangun untuk membentuk kesatuan tulisan yang memiliki power to engage.
Buku ini pada awalnya ditujukan hanya bagi intern Tempo tetapi akhirnya diterbitkan juga untuk umum. Saya sepakat dengan pesan penulis, “Bukan sekadar keterampilan menulis, tetapi juga jiwa yang bebas.”
Akhir kata, buku ini layak untuk masuk daftar baca Anda. Saya merekomendasikannya bagi Anda, baik itu praktisi jurnalisme, mahasiswa jurnalistik, ataupun orang awam yang menaruh minat pada jurnalisme. Sebuah bacaan yang mudah dicerna. Patut untuk dijadikan pegangan atau sekadar buku sampingan.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2016.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Resensi Buku.