
Oleh: Nurhidayat*

Sambil berorasi meruntuhkan kursi
Sambil beronani mengejakulasikan makna
Mengencangkan ikat kepala yang hendak jatuh
Berkaca agar kain itu tepat menutupi jidat
Meraba agar ikatan tepat di kuncir belakang kepala
Kebenaran dan keadilan menumpuk punggungnya
Seberat teriakan petani membeli sepatu anaknya
Setinggi cita-cita pendiri negaranya
Setebal rindu seorang aktivis kepada kelulusannya
Idealisme yang meruntuhkan namun segera rubuh
Keberanian yang menggetarkan namun segera luruh
Kesucian yang menyucikan namun segera lusuh
Keilmiahan yang mencerdaskan namun segera rusuh
Besi-besi muda yang tak sempat tersepuh
Batu-batu mulia yang tak sempat terasah
Harta karun melimpah yang tak sempat terjamah
Juga kipas-kipas yang salah arah
Berceramah tak perlu melirik naskah
Berhitung tanpa menatap jari
Berpuisi tanpa frasa-frasa
Semua sudah tersimpan di sana.
Berteriak hingga robek terbuka
Membantah hingga patah berbuku
Tak berjuang tanpa luka menganga
Tak bergerak tanpa darah menyungai siku
***
Orasi sampah bagi penyair setengah tua
yang lupa nikmatnya gerayang selangkangan
yang sedang sibuk mengontruksi negasi kebahagiaan
yang menurutnya hanya duri
Namun dia tak pernah berani bunuh diri.
*Penulis aktif sebagai editor senior LPM Sketsa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.