Oleh: Mustiyani Dewi Kurniasih*
Hoaks adalah bibit penyakit dalam sistem komunikasi massa. Layaknya virus yang menyebar sangat cepat melalui udara, hoaks menyebar cepat melalui jaringan internet, juga bisikan mulut ke mulut. Cara penularannya pun sangat gampang, hanya dengan sekali klik, seperti berbisik-bisik. Lebih parahnya, hoaks bisa diciptakan siapa saja yang terhubung dengan internet. Lalu, bagaimana cara membasminya? Atau, minimal, bagaimana agar kita tidak membantu penyebarannya? Skeptis adalah cara yang cukup efektif untuk itu, apalagi jika didukung dengan minat baca yang tinggi.
***
Saya bingung ketika teman-teman seruangan menyuruh saya menyebutkan nama-nama ikan. “Maksude apa, sih?” jawab saya dengan dialek Banyumasan. Bukannya menjawab tanya, mereka malah tertawa terbahak sambil menyuruh saya menonton sepenggal video yang sedang viral.
Setelah menonton, saya pun jadi tersenyum sendiri mengetahui alasan ramainya gelak tawa kawan-kawan. Penggalan video menampilkan adegan seorang bocah sekolah dasar (SD) yang salah mengucap nama ikan ketika ditantang menyebutkan nama-nama ikan oleh Presiden Joko Widodo. Dia sempat berhasil menyebutkan tiga nama ikan. Sayangnya, ikan keempat salah disebutnya. Bukannya menyebut nama ikan, bocah ini justru menyebut lema vulgar dalam KBBI. Lugunya anak itu dalam berucap sontak membuat banyak orang tertawa.
Ada buntut aneh dalam viralnya video itu. Tak lama berselang, muncul imbauan di media sosial untuk menghentikan penyebarluasan video itu. Menggunakan data ngawur, si penyata mengatakan anak kelas tiga SD ini mengidap disleksia. Tanpa hati, mengatasnamakan simpati, menggunakan data yang tidak pasti, pernyataan di media sosial ini mengelabui pembaca yang tak menyadari dirinya sedang dibohongi. Mereka yang pintar, atau masyarakat yang belum bisa cerdas menyikapi informasi?
Hoaks kini menjamur di internet setiap saat. Ada yang mengatakan ini adalah dampak sampingan dari kebebasan berekspresi: wajar. Asal masyarakat cerdas, hoaks bukanlah hal yang serius. Meski begitu, masyarakat yang belum bijak menyikapi isu liar, terutama hoaks, membuat para pembuat hoaks meraup banyak rezeki kotor dari sana. Konon, keuntungan yang diraup oleh pembuat berita hoaks bisa mencapai 30 juta Rupiah per bulan.
Menyikapi hal demikian, Dewan Pers merasa perlu untuk “mengecap” (memberikan label) media. Dewan Pers akan mendikotomikan media menjadi dua: layak dan tidak layak dikonsumsi masyarakat. Dewan Pers telah melakukan pendataan dan verifikasi media yang meliputi legalitas media, isi pemberitaan, adanya penanggung jawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis, adanya kode etik, pedoman perilaku, dan lain-lain. Verifikasi ini dilakukan dengan alasan untuk melawan hoaks. Media arus utama yang lembaganya bonafide dianggap paling mampu untuk menangkal berita bohong. Namun, apakah cara ini tepat?
Menurut saya, langkah itu adalah tindakan yang tidak bijak. Pelabelan seperti itu tidak lagi relevan dengan kebebasan berekspresi. Toh, media arus utama yang dianggap bonafide pun bisa jadi menyalahgunakan posisinya. Ingatlah zaman pilpres 2014, berapa banyak hoaks yang diciptakan oleh mereka?
Fenomena hoaks juga mengingatkan saya pada kejadian enam tahun lalu, kala media daring mulai masif. Detikcom menjadi media siber pertama yang memberitakan kematian Imanda Amalia. Kabarnya, ia adalah perempuan asal Indonesia (ada yang menyebut telah menjadi warga negara Australia) sekaligus aktivis Badan Pembangunan Bantuan dan Manusia PBB—United Nation Relief and Works Agency (UNRWA). Ia dikabarkan tewas dalam kerusuhan di Mesir pada 3 Februari 2011. Kemudian, banyak media lain ikut-ikutan memberitakan tanpa memverifikasi dulu kebenarannya. Sumbernya hanya satu: sebuah pos di grup Facebook. Bayangkan!
Semua pihak dibuat geger oleh berita tersebut. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia kocar-kacir mencari sosok Imanda, begitu pula UNRWA. Nyatanya, tak ada staf yang bernama Imanda di sana. Tak lama kemudian, muncul berita yang mengatakan bahwa Imanda Amalia adalah seorang mahasiswa Pascasarjana Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM). Kabar baiknya, kondisi Imanda dalam keadaan sehat walafiat. Imanda Amalia yang sempat santer dalam pemberitaan tersebut hanyalah sosok rekaan pembuat hoaks. Sampai sekarang, si pembuat berita tersebut belum diketahui batang hidungnya.
Saya sepakat dengan pernyataan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam e-book “Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika”. Pada kasus Imanda Amalia, AJI melihat bahwa yang diberitakan media waktu itu bukanlah hasil dari proses verifikasi suatu informasi—yang tujuannya mengecek suatu informasi itu fakta atau bukan. Justru, proses verifikasi informasi itu sendiri lah yang dijadikan berita, bukan hasil verifikasinya. Berita bisa terbit padahal kejelasan informasi belum matang. Hal ini sangat disayangkan karena terjadi hampir di semua media dalam jaringan kala itu. Penting rasanya pembaca mengetahui hal ini, karena pada era internet, siapapun bisa membuat berita mereka sendiri yang filternya ada pada pembaca sendiri.
Contoh di atas adalah contoh yang jelas terlihat. Pada kenyataannya, banyak wartawan “profesional” yang keliru dalam pemberitaan, dari segi isi ataupun metode. Bukan cuma media nasional, bahkan ada penerima Pulitzer—penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik—yang ketahuan bohong.
Di lain sisi, kami, para pegiat pers mahasiswa, atau mereka, para jurnalis warga, yang tidak benar-benar memiliki lembaga yang bonafide, terkadang tidak mendapat kepercayaan yang kafah, justru memiliki laporan jurnalistik yang bagus. Bahkan, banyak tulisan jurnalisme warga yang akhirnya dibukukan karena memang luar biasa, bahkan bisa jadi mengalahkan kemampuan wartawan kebanyakan. Mari mengingat pepatah lama, konon berasal dari Khalifah Ali, “Lihat isi pembicaraan, bukan siapa yang bicara.” Kudu objektif! Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang apa.
Syarat verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers dapat mengancam kebebasan pers itu sendiri. Namun, syarat ini juga jangan sampai mematikan media-media perintis yang sudah bekerja keras menegakkan Kode Etik Jurnalistik. Apalagi jika sampai ada diskriminasi terhadap media yang belum lolos verifikasi, namun sudah bekerja sesuai kode etik dan prinsip jurnalisme. Harusnya, yang menjadi syarat verifikasi adalah konten produk jurnalistiknya saja. Itu pun akan sangat riskan, karena media meyakini dirinya memiliki self censorship berdasar politik redaksi masing-masing. Yang seharusnya dilakukan adalah pencerdasan pada masyarakat sehingga masyarakat tahu mana yang harus dibaca dan mana yang seharusnya disingkirkan dari lis bacaan.
Hal yang menjadi pendukung berkembang dan menyebarnya hoaks sebenarnya adalah masyarakat sendiri. Terutama masyarakat yang kurang bijak, atau tidak paham, dalam menyikapi isu. Mereka cenderung tidak memahami apa yang mereka bagikan di lini masa media sosial mereka. Hanya melirik judul tulisan yang menarik, mereka langsung membagikan tautan tulisan tersebut. Mereka cenderung tak membaca isi tulisan. Entah ini imbas kecerdikan si pembuat artikel hoaks—yang membuat judul provokatif—atau pembacanya yang memang tidak skeptis terhadap setiap pemberitaan. Bahkan, mahasiswa—yang katanya kaum intelektual—pun ada (baca: banyak) yang terjebak melakukannya. Banyak dari mereka yang membagikan artikel atau berita hoaks juga. Hal ini lazim terjadi, malah seperti menjadi kebiasaan di medsos. Kiranya, sikap skeptis belum tertanam kuat di dalam benak mereka. Bisa jadi, media yang sering dijadikan kiblat adalah media penyebar hoaks. Baiknya kita waspada dengan mencari tahu kebenaran berita yang kita baca. Coba bandingkan dengan beberapa media lain. Jadilah pembaca cerdas yang skeptis dalam memilih media tambatan membaca. Jangan sampai kita secara tidak langsung—tanpa sadar—turut andil mengembangbiakkan hoaks di medsos.
Mereduksi Hoaks
Skëtsa mendidik anggotanya (juga masyarakat pembacanya) untuk mengerti dunia jurnalistik agar nantinya tidak terjebak dalam hal-hal hoaks. Lembaga pers mahasiswa harus diakui memiliki peran sebagai laboratorium wartawan masa depan. Inilah salah satu yang harus dilakukan untuk melawan hoaks: pendidikan kejurnalistikan untuk siapapun, entah untuk wartawan (agar layak menjadi wartawan) maupun masyarakat (agar mereka membedakan sendiri mana yang produk jurnalistik dan mana yang hoaks). Kenapa? Karena media (baca: wartawan) adalah pemandu wawasan masyarakat pembacanya.
Namun, pembasmian hoaks bukan hanya tugas media massa saja, tetapi juga kewajiban pembaca. Media perlu berusaha menyiasati hoaks dengan menyajikan berita akurat dan mendalam. Masyarakat juga harus membuat benteng agar informasi yang diperolehnya adalah informasi yang benar. Di sinilah, masyarakat harus sadar untuk meningkatkan budaya membaca. Mereka harus memiliki sensor internal menghadapi era tsunami informasi.
Rendahnya budaya membaca adalah salah satu faktor penyebab banyaknya orang Indonesia yang termakan kabar bohong. Menurut UNESCO (2012) indeks membaca Indonesia hanya 0,001. Angka kecil tersebut berarti bahwa hanya ada satu orang yang serius membaca di antara seribu total penduduk. Hal itu selaras dengan hasil penelitian World’s most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2003-2014) yang menyatakan bahwa literasi Indonesia berada di tingkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Sangat memprihatinkan, bukan?
Budaya baca selaras dengan rasa penasaran (skeptis). Semakin banyak sifat penasaran dan selalu meragukan informasi baru, membuat masyarakat ingin membaca sumber lain yang relevan untuk meyakinkan diri sendiri akan sebuah informasi. Harapannya, jika sudah seperti itu, maka informasi hoaks akan tersaring sendiri. Pembuat hoaks pun akan sia-sia dalam membuat berita hoaks karena masyarakat cerdas dalam menyaring informasi. Sekali lagi, kuncinya adalah skeptis alias tidak mudah percaya terhadap sebuah informasi, bukan dengan cara mengategorisasikan media literasi.
*Penulis adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2016
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017 pada Rubrik Kesketsaan.