KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau domestic violence merupakan kekerasan fisik berbasis gender yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 mendefinisikannya sebagai segala tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan dalam bentuk KDRT baik fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap seseorang, terutama perempuan, dalam lingkup rumah tangga. Tindakan ini meliputi ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang tidak sesuai dengan hukum, yang terjadi dalam konteks kehidupan rumah tangga. Berdasarkan bentuknya, perilaku KDRT terbagi menjadi beberapa bentuk, yakni sebagai berikut:
a. Kekerasan Seksual
Menurut Pasal 8 UU KDRT, kekerasan seksual dalam konteks KDRT merujuk pada tindakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap seseorang yang tinggal dalam lingkup rumah tangga. Ini juga mencakup pemaksaan hubungan seksual antara salah satu anggota rumah tangga dengan orang lain, baik untuk tujuan komersial maupun tujuan lain yang ditentukan.
b. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 UU KDRT, kekerasan fisik dapat dijelaskan sebagai tindakan yang menyebabkan timbulnya rasa sakit, penyebab jatuh sakit, atau luka berat pada seseorang.
c. Kekerasan Psikis
Berdasarkan Pasal 7 UU KDRT, kekerasan psikis dapat diartikan sebagai tindakan yang menghasilkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, kehilangan kemampuan untuk bertindak, perasaan tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis yang berat pada seseorang.
d. Kekerasan Pelantaran Rumah Tangga
Pasal 9 UU KDRT menegaskan bahwa penelantaran rumah tangga dapat dijelaskan sebagai tindakan di mana seseorang tidak memenuhi kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang berada dalam lingkup rumah tangganya, meskipun secara hukum atau persetujuan mereka memiliki tanggung jawab tersebut. Selain itu, penelantaran juga mencakup tindakan seseorang yang membatasi atau melarang orang tersebut untuk bekerja secara layak, baik di dalam maupun di luar rumah, sehingga korban menjadi bergantung secara ekonomi dan berada di bawah kendali orang tersebut.
Perilaku KDRT seringkali dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor tertentu, yaitu kondisi psikologis yang buruk, seperti masalah emosional, gangguan mental, atau ketidakstabilan emosi yang dapat memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Faktor sosial seperti tekanan ekonomi, pengangguran, atau ketidakstabilan keluarga dapat menyebabkan stres dan ketegangan dalam keluarga yang kemudian berkembang menjadi KDRT. Beberapa budaya atau nilai tradisional tertentu dapat mempromosikan penggunaan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik atau mengontrol pasangan, dan juga faktor lingkungan akses yang mudah terhadap senjata atau obat-obatan, dan situasi keamanan yang tidak stabil dapat memicu tindakan kekerasan. Tidak hanya itu, faktor internal seperti, rendahnya pengendalian diri, kecenderungan untuk menjadi agresif, atau kurangnya empati. Seseorang yang telah mengalami KDRT di masa lalu, baik sebagai korban atau pelaku, berisiko lebih tinggi mengalami atau melakukan KDRT di masa depan. Ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, stereotip gender, dan diskriminasi gender juga turut memicu tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Perilaku KDRT di Indonesia sejatinya cukup marak terjadi, hal ini dibuktikan dengan jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, dengan jumlah total pengaduan mencapai 4.374 kasus. Tidak cukup sampai di situ saja, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), sampai 18 November 2024 ada 14.127 kasus KDRT. Selain itu, tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun turut membuktikan hal tersebut.
Dalam langkah mencegah dan meminimalisasi perilaku KDRT terus meningkat di Indonesia, Pemerintah RI membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Jaminan negara atas kasus KDRT tertuang dalam Pasal 1 Ayat 2 UU No.23 Tahun 2004 yang berbunyi : “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.” Pemberian sanksi juga dikenakan kepada pelaku KDRT yang tertuang dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53:
-
- Kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat (maksimal 10 tahun.
- Menyebabkan korban meninggal dunia (maksimal 15 tahun).
- Kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan (20 tahun).
Hukum dan undang-undang yang ketat memang sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan perilaku KDRT, mengingat dampak yang ditimbulkan dari adanya perilaku tersebut yang cukup merugikan seperti:
-
- Dampak Fisik: Luka fisik akibat kekerasan seperti memar, patah tulang, hingga trauma fisik permanen. Beberapa korban mengalami cacat permanen akibat kekerasan.
- Dampak Psikologis: KDRT sering menyebabkan trauma psikologis seperti stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, dan depresi. Korban juga bisa merasa rendah diri dan tidak berdaya, karena seringkali mereka dibiasakan untuk merasa tidak berharga oleh pelaku.
- Dampak Sosial: Korban KDRT mungkin merasa malu atau takut untuk mengungkapkan kekerasan yang dialaminya, sehingga seringkali mereka terisolasi dari teman atau keluarga. Beberapa korban bahkan kehilangan dukungan sosial karena mereka dipaksa untuk meninggalkan lingkungannya.
- Dampak Ekonomi: Kekerasan ekonomi dapat membuat korban kehilangan kemampuan finansial untuk bertahan hidup secara mandiri. Hal ini memperburuk ketergantungan terhadap pelaku dan menurunkan kemungkinan korban untuk keluar dari lingkungan KDRT.
Meskipun begitu, hukum dan undang-undang yang ketat pun sejatinya belum cukup, oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan KDRT dengan mempersiapkan mental sebelum berumah tangga. Caranya dengan memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender dalam keluarga melalui materi kursus calon pengantin, memberikan edukasi dan sosialisasi pentingnya komunikasi yang baik antara suami dan istri, rasa saling percaya, saling menghargai dan pengertian agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun, serta peningkatan keimanan yang kuat, akhlak yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga KDRT tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik bagi keluarga berupa konsultasi atau konseling keluarga. Peran kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah juga diperlukan dalam menanggulangi KDRT. Pemerintah dapat membantu dengan cara:
-
- Menyusun dan menerapkan kebijakan hukum, pemerintah harus memastikan bahwa ada kebijakan yang jelas dan tegas terkait dengan perlindungan korban KDRT. Di Indonesia telah dibuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).
- Menyediakan fasilitas perlindungan dan layanan untuk korban.
- Pemerintah berkolaborasi dengan rumah sakit atau klinik dalam memberikan layanan medis bagi korban, atau dengan media untuk menyebarluaskan informasi tentang KDRT.
Sementara untuk masyarakat luas dapat memberikan upaya-upaya seperti:
-
- Mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender dan hak asasi manusia, serta mengutuk budaya kekerasan dalam keluarga.
- Mencermati tanda-tanda kekerasan di sekitar, baik yang terlihat dari perubahan perilaku, cedera fisik pada anggota keluarga, atau ketegangan dalam keluarga yang bisa mengarah pada kekerasan.
- Masyarakat dapat memberikan dukungan emosional kepada korban KDRT.
- Menciptakan sistem pemantauan di lingkungan sekitar, di mana warga saling peduli dan mendukung untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
- Mendorong peran aktif laki-laki dalam membangun kesetaraan dalam rumah tangga.
- Mengubah pandangan masyarakat tentang kekerasan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apapun, dan bahwa korban bukanlah pihak yang salah.
Dengan melakukan tindakan strategis serta edukatif, diharapkan dapat mengurangi maraknya kasus KDRT di Indonesia. Oleh karena itu, penting menumbuhkan kesadaran diri dan bermasyarakat dalam berperilaku agar di masa depan tindakan-tindakan KDRT di Indonesia dapat terus berkurang. Tindakan buruk seperti KDRT memang sangatlah merugikan, namun lebih merugikan apabila kita sebagai individu tidak mampu berkontribusi untuk mencegah dan malah acuh tak acuh terhadap kasus tersebut. Demi menciptakan lingkungan masyarakat yang dapat terus berkembang, harmonis dan maju, perilaku KDRT harus dapat kita cegah bersama-sama.
Sumber: Risdok beritaunsoed.co