Oleh: Nurul Irmah Agustina
Sadar atau tidak, generasi Z Indonesia tengah tenggelam dalam dunia maya yang dipenuhi typing maut netizen. Di era masa kini dengan dunia yang serba digital, telah banyak platform media sosial yang hadir sebagai suatu sarana komunikasi dan berbagi informasi. Media sosial menciptakan suatu ruang bagi setiap penggunanya untuk memberikan pandangannya secara bebas melalui komentar ataupun unggahan. Akan tetapi, kebebasan inilah yang bisa menciptakan fragmen gelap dalam lingkup media sosial. Salah satu yang marak terjadi saat ini adalah hate speech, yaitu komentar yang bersifat menghina, memprovokasi, menghasut, mencemarkan nama baik, dan yang mengandung makna negatif lainnya.
Media sosial telah menjadi tempat berkembangbiaknya diskusi panas yang sering mengarah pada penggunaan bahasa yang menghina dan menyinggung (Abdillah dkk, 2023). Tindakan hate speech ini mencirikan warganet yang kurang memiliki sopan santun dalam bermedia sosial. Faktanya, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan pengguna internet terendah di Asia Tenggara. Hal ini berdasarkan riset yang dilakukan Microsoft dalam laporan yang berjudul Digital Civility Index (DCI). Mentang-mentang di media sosial wujud pengguna tak terlihat dan akun media sosial bisa dibuat menjadi akun palsu, menjadikan netizen sembarangan mengetik di kolom komentar postingan seseorang. Mereka tidak peduli typing mereka sopan atau tidak dan apakah memberi dampak buruk terhadap orang lain.
Di era generasi Z ini, gaya ketikan orang-orang di dunia maya sudah sangat beragam, misalnya gaya bahasa gaul yang sudah menjamur seperti asbun (asal bunyi), MBB (maaf baru bales), PAP (Post a Picture), dan lain sebagainya. Salah satu gaya ketikan yang perlu diberi atensi lebih adalah gaya ketikan kebun binatang. Ketika membuka media sosial baik Instagram, Twitter (X) atau Facebook, kita bisa melihat beberapa ketikan orang lain di sana. Di platform X, sering ditemukan gaya ketikan kebun binatang seperti kata “anjing” yang biasanya diselipkan sebagai bentuk ekpresi diri ketika seseorang sedang emosi. Gaya ketikan seperti ini seolah sudah menjadi hal yang lumrah. Padahal, sesuatu yang buruk sudah seharusnya dihindarkan bukan dinormalisasikan.
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab netizen secara gamblang mengetik kata-kata menusuk di sosial media. Pertama, minimnya literasi. Dikutip dari Kumparan.com, salah satu alasan yang melatarbelakangi tingkah barbar netizen Indonesia di media sosial adalah minimnya literasi. Hal ini berakibat pula pada minimnya daya nalar masyarakat Indonesia, sehingga mereka cenderung bertindak sembarangan tanpa berpikir dampaknya ketika dihadapkan pada suatu kasus atau persoalan. Hal ini menjadi perhatian untuk masyarakat Indonesia agar lebih sadar betapa pentingnya literasi dalam era digital masa ini, dengan banyaknya informasi yang hadir dari berbagai sumber seperti dari media sosial.
Kedua, adanya perasaan benci. Banyak netizen Indonesia saking bencinya terhadap seseorang, mereka rela meluangkan waktu berharganya hanya untuk menghujat secara barbar di media sosial. Mereka tak segan menggunakan kata-kata kasar dan kotor dalam ketikannya. Satu saja kesalahan terlihat, netizen lantas menghujatnya. Apalagi jika yang melakukan kesalahan itu adalah seorang public figur seperti artis. Sebagai contoh kasus Han So Hee, ia merupakan artis Korea Selatan yang memerankan tokoh antagonis dalam serial drama The World of the Married. Disebabkan perannya sebagai pelakor di serial drama tersebut, banyak netizen Indonesia yang menghujatnya habis-habisan di media sosial.
Ketika melihat beberapa komentar di media sosial, tampak bahwa sebagian besar netizen menggunakan nama samaran dalam akunnya, sehingga membuat mereka lebih berani melemparkan kata-kata menyakitkan kepada orang lain. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tak cukup percaya diri untuk menggunakan identitas mereka yang sebenarnya ketika memberikan hate speech. Mereka mungkin takut apabila orang yang mereka kenal mengetahui bagaimana buruknya ia ketika di media sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya netizen tahu tindakannya salah dan memalukan, tetapi mereka tetap melakukannya demi menuntaskan rasa puasnya dengan menghujat seseorang di media sosial.
Faktor ketiga, yaitu kondisi lingkungan. Lingkungan yang menormalisasikan sikap saling menghujat dan berkata kasar bisa menjadi faktor utama yang membentuk seseorang menjadi seperti itu. Mereka akan berpikir bahwa di lingkungan mereka berkata kasar adalah hal yang biasa. Hal ini pasti akan membentuk pola pikir dan kebiasaan yang buruk bagi seseorang yang berada pada lingkungan tersebut. Faktor keempat, kurangnya pengendalian emosi. Ketikan mengumpat sering muncul ketika seseorang sedang emosi. Hal ini banyak ditemukan di media sosial Twitter atau yang sekarang dikenal X. Ada seorang warganet ketika menceritakan pengalaman buruknya, ia tidak segan menyampaikan dengan gaya ketikan mengumpat.
Netizen seharusnya tahu bahwa meski hanya ketikan, tetapi dari ketikan inilah seseorang akan melihat siapa mereka dan bagaimana karakternya. Ada beberapa orang ketika di dunia nyata tidak berani mengumpat, tetapi di media sosial mereka berani. Hal ini bisa disebabkan karena merasa lebih bebas dan orang yang mereka kenal di dunia nyata tidak akan mengetahui selama mereka menggunakan akun palsu. Netizen dengan tipe seperti ini akan terlihat seperti orang lemah yang berlindung di balik layar. Sedangkan netizen dengan tipe yang berani memberikan hate speech di media sosial dengan nama asli, mereka terlihat seperti orang yang percaya diri menunjukkan betapa buruknya dirinya dan betapa tak berkualitas dirinya, karena lebih memilih untuk sibuk berkomentar sana-sini di postingan orang lain daripada fokus memperbaiki diri sendiri.
Ada banyak kasus di Indonesia yang menunjukkan betapa ngerinya typing netizen saat ini. Salah satunya adalah pesan negatif yang diterima seorang peserta Clash of Champions. Dikutip dari Suara.com, Clash of Champions adalah sebuah game show bertema pendidikan yang diadakan oleh Ruangguru, yang mengusung konsep serupa dengan University War yang dilaksanakan di Korea Selatan. Saat ini acara bergengsi tersebut sudah sangat fenomenal di berbagai kalangan di Indonesia, sehingga memunculkan banyak penggemar dari masing-masing peserta. Para penggemar biasanya akan memberikan kata-kata penyemangat kepada para peserta dan berharap bisa menjadi seperti mereka pula.
Akan tetapi, ada saja penggemar yang memberikan asumsi negatif kepada salah satu peserta Clash of Champions tersebut. Hal ini terlihat dalam postingan akun X @itslikeapopcorn, ia membagikan screenshoot isi pesan DM dari seseorang yang berkomentar terkait salah satu peserta CoC “Dih lemah baper, anak psikologi kok baper jual drama doang. Bilang aja pengen terkenal kek yg lain tp gabisa. Ketauan bgt haus validitas wkwkwk.” Pesan seperti itu sudah termasuk dalam ujaran kebencian yang bisa berdampak terhadap sisi psikologis penerimanya.
Tidak hanya kasus melalui pesan yang mencerminkan betapa buruknya netizen Indonesia di era generasi Z sekarang. Ada pula cuitan di platform X yang mengutarakan masalahnya dengan menyertakan kata-kata kotor. “DEMI ALLAH GW CAPE BGT UDH GEDE MSH AJ STRICT PARENTS ANJING, …” tulis salah satu akun pengguna X. Melalui cuitan di akun X tersebut yang bisa dilihat oleh banyak orang, akan membuat para pengguna X yang lain merasa bahwa kata umpatan di media sosial seperti itu sudah menjadi hal biasa ketika seseorang sedang emosi, yang akhirnya bisa membuat mereka menirukan hal tersebut. Memang semua orang berhak mengutarakan perasaan secara bebas, tetapi adab juga perlu diutamakan. Cara seseorang mengendalikan emosi secara tidak sadar akan mencerminkan bagaimana pribadi seseorang tersebut.
Dari berbagai ketikan warganet yang mengandung ujaran kebencian dapat memberikan dampak serius bagi pelaku maupun korban. Dari sisi pelaku, mereka akan terbiasa untuk mengetik hal-hal yang mengandung unsur negatif, baik melalui komentar atau postingan di media sosial tanpa peduli dengan mental korban. Maka, akan terbentuk karakter buruk dalam diri mereka dan terkikisnya rasa empati. Sementara dampak bagi korban adalah terganggunya kondisi psikologis berupa kecemasan, yang juga berakibat pada kehidupan di dunia nyata. Sebagai contoh, kasus hate speech yang didapat oleh artis Jepang yang membuatnya memutuskan bunuh diri. Hal ini dapat menjadi cerminan bahwa komentar negatif sangat berpengaruh terhadap sisi psikologis seseorang. Tidak ada yang bisa menduga komentar jahat yang dilontarkan akan diterima oleh seseorang yang sedang baik-baik saja atau sedang dalam titik terendahnya.
Melalui beberapa kasus ketikan maut netizen di atas, pendidikan karakter menjadi penting untuk ditanamkan pada setiap orang. Hal ini agar setiap orang memiliki kesadaran diri dalam hal etika ketika bermedia sosial. Pihak paltform media sosial juga harus ikut andil dalam menangani fenomena netizen ini. Mereka bisa membuat kebijakan terkait larangan mengunggah komentar yang berbau SARA dan ujaran kebencian, dengan sanksi report akun apabila melanggar. Mereka juga dapat membuat aturan persetujuan di awal, agar pengguna dapat membaca dengan benar aturan di platform tersebut ketika hendak membuat akun.
Selain itu, peran influencer sebagai pihak yang memberikan pengaruh besar di media sosial juga penting. Mereka merupakan figur utama dari para pengguna media sosial. Maka perlu adanya kesadaran dari para influencer untuk memberikan postingan dan sikap yang positif agar dapat memengaruhi orang-orang yang melihatnya. Seseorang yang menyebarkan kesan positif akan menciptakan suasana yang positif pula pada sekitarnya. Maka dari itu harus ada kesadaran dari berbagai pihak dalam menggunakan media sosial secara bijak dan bertanggung jawab. Salah satunya dengan menjaga ketikan ketika bermedsos. Tidak perlu menjadi kejam hanya untuk membela dan memuaskan diri sendiri. Ingatlah bahwa jejak digital akan selalu ada dan tidak akan pernah hilang.
Editor: Helmalia Putri