Kesetaraan Gender: Menjamurnya Budaya Patriarki di Indonesia

Oleh: Milly Rizkiyana Pratiwi

Ilustrasi: Nurul Irmah Agustina

Di Indonesia setiap perempuan dituntut untuk menguasai berbagai macam pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu hingga memasak. Tidak hanya itu, apabila mereka tidak menguasai kemampuan tersebut, dapat dipastikan mereka akan mendapat cibiran pedas yang tidak bisa dihindari. Apakah hal tersebut sudah sesuai dengan kesetaraan gender yang sering digaungkan?

Seperti yang kita ketahui, tokoh yang memperjuangkan kesetaraan gender dan emansipasi perempuan tidak lain tidak bukan adalah sosok R.A. Kartini. Bahkan hari lahir Kartini dijadikan salah satu hari nasional yang selalu diperingati setiap tahunnya sebagai hari kebangkitan emansipasi perempuan atau lebih dikenal dengan hari Kartini. Pada saat perayaan hari Kartini digelar masyarakat berbondong-bondong menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah sebagai implementasi pelestarian kebudayaan daerah dan bentuk menghargai perjuangan R.A Kartini. Selain itu, hari Kartini diisi dengan kegiatan yang erat kaitannya dengan nasionalisme dan melestarikan budaya serta gaungan untuk selalu menghargai perempuan dan berhenti menganggap perempuan mahluk yang lemah dan memandang perempuan dengan sebelah mata.

Dilatari oleh pembatasan pendidikan formal bagi perempuan di masa lampau, Kartini mulai bergerak memperjuangkan haknya guna memperoleh kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Berkat kerja keras, Kartini berhasil mengubah pandangan masyarakat mengenai kesetaraan gender bagi perempuan dan dapat menciptakan perempuan Indonesia yang tangguh dan cerdas.

Akan tetapi budaya patriarki masih beredar luas hingga saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan laki-laki dan perempuan. Perempuan selalu memiliki bagian atau posisi di bawah laki-laki dengan dalih laki-laki memiliki kuasa untuk melindungi dan memberi perintah sedangkan perempuan hanya bisa tunduk dan menuruti perintah. Padahal tidak sedikit perempuan yang memiliki power dan kecerdasan sebagai pemimpin. Hingga saat ini masih banyak ditemukan tanggapan atau doktrin bahwa yang memiliki kewajiban untuk mengurus pekerjaan rumah tangga adalah seorang perempuan. Semua tanggapan itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh kaum perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah dan memegang kuasa penuh untuk memimpin dan memerintah. Laki-laki yang pada dasarnya memiliki peran menjadi pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.

Dilihat dari kilas balik sejarah, sejatinya memang perempuan memiliki peran yang dominan mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Hal tersebut menjadi wajar apabila sudah ada perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, dalam praktik kehidupan, masih banyak perempuan yang dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan bekerja untuk menambah penghasilan demi memenuhi kebutuhan. Dengan hal ini, sudah sepantasnya laki-laki ikut andil dalam pekerjaan rumah tangga selayaknya perempuan yang ikut membantu perekonomian keluarga.

Dengan tuntutan mengerjakan pekerjaan di kantor dan beban mengurus rumah tangga, tidak sedikit perempuan yang merasa kelelahan hingga berujung putus asa dan mengambil langkah untuk bercerai. Karena, ia merasa dengan atau tanpa suami, ia dapat menghidupi diri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketidaksetaraan gender dan budaya patriarki dalam pembagian kerja rumah tangga tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga memengaruhi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Hubungan suami-istri yang seharusnya merupakan sumber dukungan dan kerja sama dapat terganggu, yang pada akhirnya dapat berdampak pada perkembangan anak-anak.

Untuk mengatasi budaya patriarki di masyarakat, harus dilakukan kajian dan sosialisasi yang mendetail agar dapat mengubah pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai pengerjaan tugas rumah tangga dan pentingnya kesepakatan pembagian kerja yang adil dalam kehidupan berumah tangga sebagai salah satu langkah meminimalisir melonjaknya angka perceraian di Indonesia.

Baik suami maupun istri harus berkomunikasi mengenai segala hal, mulai dari pembagian tugas hingga cara-cara yang akan digunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan yang akan terjadi kedepannya. Istri harus merasa nyaman dengan tugas yang ia jalani, dan suami harus tahu bahwa yang bertanggung jawab dengan pekerjaan rumah tidak hanya tugas seorang istri.

Editor: Nur Laela

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *