UKT Naik: Meningkatkan Akses atau Membebani Mahasiswa?

Oleh: Zaki Zulfian

Ilustrasi: Linggar Putri Pambajeng

Kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) sedang menjadi isu yang hangat di kalangan mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Topik ini ramai diperbincangkan karena nominal kenaikannya yang sangat drastis, hingga dua sampai empat kali lipat nominal UKT tahun lalu. Kenaikan UKT ini mulai berlaku sejak ditetapkannya peraturan rektor nomor 6 tahun 2024 tentang Pendidikan Biaya Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman pada tanggal 4 April 2024. Selain nominal kenaikannya yang drastis, yang menjadi permasalahan dalam kasus kenaikan UKT ini adalah peraturan rektor tersebut baru dikeluarkan pada tanggal 23 April 2024, jauh setelah pengumuman hasil seleksi jalur SNBP. Hal ini seperti menjebak para calon mahasiswa baru (camaba) yang lolos seleksi jalur SNBP di Unsoed. Pasalnya, mereka yang telah lolos jalur SNBP mengira nominal UKT yang ditawarkan Unsoed masih sama seperti tahun lalu, ternyata setelah mereka lolos UKT-nya mengalami kenaikan yang drastis, sehingga mau tidak mau mereka harus membayarkan nominal UKT tersebut. Di samping itu, jika mereka tidak mengambil jatah hasil seleksi SNBP tersebut, sekolah merekalah yang akan terkena dampaknya. Sekolah mereka akan terkena blacklist dari Unsoed yang dapat menyebabkan angkatan adik kelas mereka mendapat kuota masuk lebih sedikit. Selain itu, mereka juga tidak dapat mengikuti seleksi jalur SNBT.

Penyebab UKT Naik

Kenaikan UKT yang terjadi di Unsoed didasari oleh penghitungan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang berlaku sejak tahun 2012 dirasa kurang optimal dan berpotensi tidak menutup kebutuhan operasional menurut BPK. Hal tersebut direspons rektor dengan menganalisis ulang biaya operasional secara up to date, hingga terbit surat edaran Permendikbud nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT). Dalam surat edaran tersebut, seluruh perguruan tinggi dianjurkan untuk menghitung kembali biaya kuliah tunggal, termasuk Unsoed. Penghitungan BKT itu didasarkan pada kegiatan pembelajaran di masing-masing program studi. Singkatnya, Biaya Kuliah Tunggal mengalami kenaikan, sehingga menyebabkan kenaikan pada UKT.

Kenaikan UKT menjadi hal yang wajar jika hal tersebut tidak menjadi beban finansial mahasiswa dan tidak mempersulit akses terhadap pendidikan. Kenaikan UKT sering kali menjadi solusi bagi kampus yang ingin mengoptimalkan biaya operasional kampus, termasuk gaji dosen, pemeliharaan fasilitas, sarana dan prasarana, serta layanan pendukung lainnya. Hal tersebut seiring waktu cenderung naik karena inflasi dan perubahan ekonomi. Selain itu, kenaikan UKT juga seringkali dipandang oleh sebagian pihak sebagai investasi dalam kualitas pendidikan. Ini dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan fasilitas, menyediakan layanan pendukung yang baik, yang pada akhirnya akan menghadirkan manfaat bagi mahasiswa. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak memikirkan pihak yang nantinya akan menjalankannya, yaitu mahasiswa.

Tidak semua mahasiswa merasa mampu jika nominal UKT yang harus mereka bayarkan naik. Kenaikan nominal UKT ini sangat memberatkan dan menjadi beban finansial bagi mahasiswa yang kondisi ekonominya pas-pasan, bahkan dapat menyebabkan pengunduran diri mahasiswa dari kuliah. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi, di mana hanya mereka yang mampu secara finansial yang dapat mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas, mereka yang tidak mampu secara finansial hanya bisa melihat saja.

Apa Solusinya?

Solusi untuk mengatasi kenaikan UKT di antaranya adalah perguruan tinggi dapat menjalankan kemitraan antara perguruan tinggi dengan pemerintah dan swasta. Hal ini dapat menghasilkan pemasukan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga perguruan tinggi tidak terus-menerus mengandalkan pemasukannya dari UKT maupun IPI. Perguruan tinggi juga dapat mendukung program beasiswa berbasis kebutuhan, dengan memberikan bantuan finansial kepada mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Selain itu, perguruan tinggi dapat mempertimbangkan skema pembayaran yang lebih fleksibel, seperti pembayaran dalam bentuk angsuran yang terjangkau. Transparansi dalam penggunaan dana dari kenaikan UKT juga penting, sehingga mahasiswa dan masyarakat dapat melihat bagaimana dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan yang disediakan oleh kampus. Dengan demikian, solusi-solusi ini dapat membantu memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tetap terbuka bagi semua kalangan, sambil tetap mempertahankan standar kualitas pendidikan yang tinggi.

Editor: Nur Laela

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *