Aksi Kamisan: Dongeng Kala Pemilu?

Oleh: Ika Tri Mulyani

Ilustrasi: Nilta Maya Shofa

Dongeng identik dengan cerita fiksi yang dianggap tidak pernah terjadi. Namun, bagaimana jadinya jika aksi yang berusia 17 tahun ini disebut-sebut sebagai dongeng di kala pemilu?

Aksi Kamisan merupakan aksi menuntut pemerintah guna menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa Orde Baru. Aksi diam yang kemudian dikenal sebagai Aksi Kamisan ini, dimulai pada 18 Januari 2007 dan dipelopori oleh Maria Katarina Sumarsih (ibu korban tertembak dalam Tragedi Semanggi I), Suciwati Munir (istri mendiang pegiat HAM), dan Bedjo Untung (perwakilan keluarga korban kekerasan dan ketidakadilan dalam peristiwa 1965-1966). Para peserta dan keluarga korban melakukan aksi damai dengan berdiri diam di depan Istana Negara setiap Kamis sore dengan pakaian hitam dan payung hitam yang menjadi simbol duka atas belum tuntasnya kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Selain itu, poster berisikan ringkasan dan potret para korban tragedi yang terjadi kala itu, serta 7 potret terduga pelaku – termasuk satu potret yang baru ditambahkan – turut terpampang di barisan depan aksi sebagai tuntutan menyuarakan keadilan.

Aksi Kamisan yang semula membuahkan langkah saat Presiden ke-6 Indonesia melakukan tindak lanjut terkait kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas itu, sayangnya kembali jalan di tempat hingga masa pemerintahannya berakhir. Secercah harap kembali hadir saat Presiden ke-7 dalam kampanye pemilu 2014, berkomitmen akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Janji penuntasan tersebut nyatanya pernah membuat Maria Katarina Sumarsih berencana berhenti Aksi Kamisan, tetapi para peserta aksi memintanya agar tidak berhenti, lantaran sang presiden belum tentu akan menepati janjinya. Pada kenyataannya, hingga 2 periode masa pemerintahannya yang telah berjalan dan hampir habis, presiden hanya mengambil tindakan pengakuan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan mengeluarkan keputusan presiden yang merekomendasikan penyelesaian dengan cara nonyudisial. Keputusan tersebut dirasa tidak cukup oleh para peserta aksi. Mereka masih terus mendesak pemerintah meluruskan sejarah dan menyelesaikannya secara yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc.

Seperti yang telah terjadi sebelumnya, lagi-lagi Aksi Kamisan mendapat sorotan spesial saat masa pesta demokrasi. Hal ini berkaitan dengan kembali majunya salah satu terduga pelanggaran HAM yang menjadi calon presiden periode 2024-2029. Maraknya postingan terkait Aksi Kamisan di media sosial di masa pemilu mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat, khususnya para pendukung pasangan calon terduga pelanggar HAM tersebut. Bermacam pertanyaan dan pernyataan muncul layaknya aksi ini baru diadakan kemarin. Sejauh ini, Aksi Kamisan telah mendapat julukan sebagai dongeng pemilu, dagang kamisan, isu 5 tahunan, dan bahkan isu yang muncul saat polling terduga pelaku melonjak naik. Respon-respon tersebut tentu menumbuhkan pertanyaan, apakah masyarakat yang tidak ‘melek’ sejarah atau pemerintah yang dengan sengaja menutupinya?

Rasanya cukup wajar bagi masyarakat yang tidak menyentuh perpolitikan untuk tidak mengetahui kabar Aksi Kamisan yang sudah 17 tahun ini. Penyebaran berita dan informasi melalui televisi terkait aksi ini sangat minim dan bahkan jarang sekali siaran yang melaporkan gerakan kemanusiaan ini. Terlebih lagi di dalam buku sejarah sekolah, informasi terkait tragedi-tragedi kala itu sulit ditemukan, walaupun sekadar penyebutan nama tragedi saja. Namun, ketidaktahuan yang menjurus pada komentar negatif pada Aksi Kamisan sangat menunjukkan rendahnya moral sumber daya manusia yang ada. Mereka yang awam tidak seharusnya mengolok-olok perjuangan para peserta aksi dan keluarga korban yang 800-an kali berdiri diam tanpa anarkis, berseberangan dengan pusat kekuasaan berharap adanya keadilan yang sepatutnya didapat sejak lama.

Aksi Kamisan akan terus berdiri menegakkan demokrasi di negara yang katanya berorientasi pada rakyat dan berpedoman pada Pancasila ini, apabila tidak adanya penindakan yang nyata dan adil dari pemerintah terkait kasus yang terus mengabur ini. Aksi yang dilakukan di depan Istana Merdeka, di mana merupakan simbol pusat kekuasaan, seharusnya membuat siapapun yang ada di dalamnya merasa malu akan bangsanya yang ternyata masih memiliki sejarah yang belum usai. Harapan peserta aksi hanya penanganan yang serius dan positif, serta kabar para korban yang entah ada di mana sekarang ini, bukan malah penundaan yang berujung membiarkan aksi ini kembali berulang tahun untuk yang ke sekian kalinya.

Editor: Zaki Zulfian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *