Oleh : Rofingatun Hamidah
Suatu siang yang terik kau berujar padaku bahwa langit begitu indah. Mirip sekali denganku, katamu. Pipiku merona mendengar bualanmu yang begitu ambigu, menurutku. Entah arti indah seperti apa yang kau maksud. Karena setelah kutatap langit, mataku memicing. Silau. Hanya buta yang dapat aku mengerti. Sekali lagi, benakku terus saja bertanya-tanya, indah seperti apa yang kau maksud?
Katamu, langit selalu saja mengingatkanmu pada diriku. Matamu selalu bersinar ketika menceritakan itu. Entah karena bias lampu neon yang menemani malam kita, atau mungkin karena sinar mentari pagi yang menerpa. Aku tak tahu pasti. Namun itu yang kutemukan tiap menatap mata bulatmu. Siang, maupun malam.
Pernah sesekali aku bertanya kepadamu, “Menurutmu aku seperti langit biru? Apakah aku juga membawa kehangatan untukmu?”
Sampai detik ini, tiap kali kulontarkan pertanyaan itu, kau hanya menunduk. Entah iya, entah tidak. Aku semakin buntu, jawabanmu tak bisa membantu.
Di kesempatan lain, ketika kau asyik berceloteh tentang langit biru yang mirip denganku, kutanyakan pertanyaan yang sedikit berbeda, “Bukankah langit terlalu jauh untukmu? Jauh untuk kaucapai? Akankah aku seperti itu bagimu?” dan lagi-lagi, kau hanya menunduk.
Ah, sudahlah. Membicarakan langit selalu saja membuatku mendesah lelah. Kuberanikan diri bilang begitu kepadamu. Dan kau ingat apa tanggapanmu? Kau hanya tersenyum. Gigimu yang gingsul terlihat. Amat manis. Namun tak lantas membuatku jatuh pada senyummu. Kecewa atas responmu, aku diam seribu bahasa.
Kukuk burung hantu terdengar di kejauhan. Membelah kesunyian malam, membelah kekikukan di antara kita berdua. Mungkin karena kau mulai bosan, kau akhirnya menyeletuk, “Bukankah indah bulan malam ini?”
Lagi-lagi aku tak habis pikir, mengapa pembicaraan kita selalu soal sesuatu yang hanya bisa dikagumi? Tak bisa digapai. Mengapa kita tidak membicarakan soal kucing peliharaan? Soal pahitnya kopi? Atau, apapun itu!
“Kau tahu, cahaya sendu bulan itu mirip sekali dengan cahaya matamu,” ucapanmu sempat terhenti. “Dan aku, bagaikan kegelapan malam yang membuatmu bersinar terang.”
Cukup! Cukup sudah! Jengah sudah aku dengan semua omong kosongmu! Beranjak pergi, kututup pintu kamar keras-keras. Untuk kali ini saja, biarkan aku terbebas dari semua celotehmu!
Esok paginya, kau diam saja ketika kucoba menyapamu. Apakah tadi malam aku keterlaluan? Kuputuskan untuk meminta maaf, dan kau hanya mengangguk. Kupikir sudah selesai, jadi kulanjutkan mengunyah roti panggang.
Namun salah, ini belum selesai. Akhir-akhir ini kau jadi bertingkah aneh. Langit malam ini juga tak kalah aneh. Gelap. Bukankah waktunya bulan purnama menunjukkan diri? Entahlah.
Hari-hari selanjutnya, semua berjalan sama saja. Kelabu. Aku hanya mampu mempertanyakannya dalam diri. Kau tetap saja membisu. Pulang ke rumah hanya untuk mandi, makan, tidur, membaca buku sebentar, lalu pergi lagi. Rumah ini begitu sepi. Celotehmu tak kudengar lagi.
Kuputuskan menyalakan televisi. Bising suaranya memecah kesunyian. Membuatku sedikit lega. Setidaknya, bukan telingaku yang bermasalah. Memang sepilah yang menghias seisi rumah. Tatapanku tertuju ke benda kotak menyilaukan, yang sedang menayangkan berita terkini sore hari ini. Katanya, langit biru sudah dicuri. Aneh, berita macam apa ini?
“Pemirsa, kami harap Anda tetap berdiam diri di rumah. Kabarnya, langit biru telah dicuri. Hilangnya langit biru mengakibatkan dunia hanya dihiasi kegelapan. Suhu udara akan terus turun…” ucapan penyiar berita itu terpotong oleh pikiran liarku. Dan wujudmu, belum terlihat di setiap sudut rumah.
Aku gelisah. Langit sudah sangat gelap tapi kau belum pulang. Sebelumnya, kucoba menghubungi rekan kerjamu dan katanya kau bolos hari ini! Ada apa denganmu?!
Untuk menenangkan pikiranku, kuputuskan untuk keluar rumah dan menanti kedatanganmu. Selapis sweater membungkus tubuhku yang hampir beku. Benar kata penyiar berita tadi, suhu udara sudah mulai turun. Pukul empat sore suhu berkisar 26°C, satu jam berikutnya suhu ada di angka 22°C, dan sekarang rasa-rasanya sudah turun ke angka 20°C. Dingin, kutiup-tiup telapak tangan. Ah sialan, tidak mempan.
Sebelum tubuhku beku, sebuah tangan mencengkeram erat pundakku. Membalik badanku dengan paksa dan memposisikanku tepat di hadapannya. Kau, tersenyum manis ke arahku.
Kau menatapku, seperti saat itu. Saat ketika kau sering membual ini dan itu. Kau, kau kembali!
“Aku dapat meraihnya, aku sungguh dapat meraihnya!” ucapmu secara tiba-tiba. Bukankah, itu tidaklah penting sekarang? Hei! Aku kedinginan, ayolah masuk ke rumah dan meminum segelas coklat panas kesukaanmu!
“Sebentar, tunggu sebentar,” memasukkan tangan ke saku celana, kau bersiap-siap mengeluarkan sesuatu, “Ini utukmu! Sekarang, langit biru ini hanya milikmu!”
“Kau enggak kerja?” Tepukan ringan di pundak membuatku tergeragap. Sialan. Apa-apaan ini?! Kulepas headset yang nangkring di telinga.
“Enggak, cuti.” jawabku singkat. Masih merasa kesal, namun juga beruntung dalam waktu bersamaan. Kesal karena dia sungguh menggangguku, dan beruntung karena sudah mengembalikanku dalam dunia nyata. Sungguh, lagu tadi membuatku membayangkan yang tidak-tidak.
“Kabarnya, nanti malam akan turun salju.” Ucapan saudaraku ini membuatku mengernyitkan dahi sebentar. Salju?
“Kau pasti bercanda! Mana ada salju di negara tropis?!” bentakku emosi.
“Kau harusnya tahu, dunia ini memang sudah gila. Entah pemerintahnya entah rakyatnya, semua sama saja. Senja dicuri, bulan di malam hari dicuri, pohon tua keramat dicuri, ikan raksasa dicuri, bahkan langit biru pun kabarnya ikut dicuri. Tadi aku sempat melihat beritanya. Jelas, alam tak akan tinggal diam!”
Aku sudah memberinya tatapan lelah. Tapi mulutnya terus saja berkicau, “Lihat! Langit semakin gelap saja.”
Tak kuhiraukan ucapannya. Kudorong tubuh bongsornya menuju pintu kamar. Keluar kau saudara banyak bicara!
Setelah berhasil mengeluarkannya dari kamar, kututup pintu itu, dan seketika hening. Sebentar, apa tadi yang dikatakannya? La-langit biru sudah dicuri? Yang benar saja!
Wonosobo, 9 September 2020
*Terinspirasi oleh cerpen Seno Gumira Ajidarma (Sepotong Senja untuk Pacarku)