Kadrun dan Kadrin

Oleh : Afifah Dwi Marhaeni

Ilustrasi: Rofingatun Hamidah

Di sebuah desa yang tak perlu disebutkan namanya, hidup lah dua kakak beradik, Kadrun dan Kadrin. Layaknya kakak beradik pada umumnya, mereka  saling berbagi, bergurau, mengobrol, dan berkeluh kesah, juga sering terlibat perdebatan, pertengkaran, perebutan, bahkan persaingan

Mereka bukan anak kembar. Kadrun lahir dua tahun terlebih dahulu dari Kadrin. Namun bapaknya memberi nama keduanya demikian, katanya, biar gampang. 

Keduanya bukan saudara yang terbilang akrab, bukan pula saudara yang tengah bermusuhan. Mereka menjalani kehidupan selayaknya kehidupan kakak beradik pada umumnya.

Tahun ini, Kadrun memasuki usianya yang ke-30, namun ia belum kunjung menikah. Pun dengan Kadrin yang masih betah menjalani kehidupan seorang diri. Keduanya bukan tak mau menikah. Namun, ya memang belum ada yang mau saja menjadikan mereka pendamping hidupnya. Mencari jodoh amat susah bagi keduanya. Berkali-kali menaksir perempuan, baik di desa sendiri maupun desa sebelah, tetap saja tidak didapatnya calon istri mereka.

Suatu hari, ada seorang perempuan pindahan dari desa sebelah yang rumah pindahannya bertetanggaan dengan rumah Kadrun Kadrin. Ia perempuan yang cantik. Umurnya menginjak usia 25. Samar-samar terdengar begitu dari tetangga lain. Datang seorang diri tanpa sanak saudara, membuat warga berbondong-bondong membantunya. Perempuan itu berhasil mencuri perhatian terutama oleh para lelaki.

Mendengar kabar tersebut, tentu saja Kadrun dan Kadrin langsung gerak cepat. Apalagi rumahnya yang dekat dengan perempuan tersebut. Mulai lah mereka berdua mencoba menggoda dan mendekati perempuan tersebut.

Esok harinya, kebetulan Kadrin tengah pergi ke sawah bersama Bapak. Sedangkan Kadrun menjadi penunggu rumah sambil menjemur padi hasil panen beberapa hari yang lalu.

Selagi ia menjemur padi, ia melihat perempuan cantik tetangga barunya, yang sudah ia ketahui bernama Mariyem, tengah menyapu teras rumahnya. Sontak Kadrun berhenti dari pekerjaannya dan menghampiri Mariyem.

“Kamu sedang apa?” tanya Kadrun sedikit malu-malu.

Nyapu, Mas. Ada apa ya kemari?” tanya Mariyem sambil tetap menyapu. Matanya fokus memandang ke bawah.

“Oh, ndak. Ingin ngobrol saja sama kamu.”

“Oh begitu, kalau begitu ayo masuk saja. Nanti saya buatkan kopi buat teman ngobrol,” yang kemudian disetujui oleh Kadrun. Berbincang-bincang lah mereka berdua. Di tengah perbincangan mereka, Kadrun iseng bertanya pada Mariyem,

“Mariyem, kamu suka lelaki yang seperti apa?”

“Saya suka lelaki yang melamar saya dengan  lima hektar sawah, Mas,” jawab Mariyem.

Mendengar jawaban Mariyem, sontak Kadrun bergegas minta pamit pulang ke rumah. Kemudian ia duduk termenung di teras rumahnya, berpikir. Bagaimana mungkin aku bisa beli lima hektar sawah untuk melamarnya, sawah Bapak saja tak sampai satu hektar.

Namun, karena Kadrun sudah terlanjur jatuh cinta yang amat sangat terhadap Mariyem, ia pun bertekad akan melamar dan menikahinya, bagaimana pun caranya.

Demi dapat membeli lima hektar sawah, ia pun pergi ke kota, hendak mencari pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Kadrin heran dengan tingkah kakaknya, yang ia tahu, kakaknya adalah seorang pemalas. Tiba-tiba saja ia ingin punya uang banyak. Namun terlepas dari itu, Kadrin pun senang karena barangkali perekonomian keluarganya dapat berubah.

“Saya ndak peduli kalian mau ngomong apa. Pokoknya saya mau ke kota mencari uang. Saya cape jadi miskin terus. Masalah gabah, biar Kadrin saja ya yang urus,” kata Kadrun.

Kemudian Kadrun pun pergi, tinggal lah Kadrin yang dibebankan dengan segala pekerjaan rumah dan menemani Bapak.

Beberapa hari setelah kepergian Kadrun, Kadrin sibuk menjemur padi yang belum kunjung kering, pekerjaan yang ditinggalkan oleh Kadrun.

Selagi menjemur padi, Kadrin mendapati Mariyem tengah menyirami bunga di depan rumahnya. Tentu saja, dengan sigap Kadrin menghampiri perempuan tersebut.

“Kamu sedang apa, Mariyem?” tanya Kadrin.

Nyiram kembang, Mas. Ada apa Mas Kadrin datang kemari?” tanya Mariyem.

“Oh ndak. Hanya ingin ngobrol saja. Rumah kita bersebelahan, tetapi belum pernah ngobrol sama sekali. Kan lucu,” kata Kadrin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau begitu, mari masuk, Mas. Nanti Mariyem buatkan kopi buat teman ngobrol,” setelah Mariyem mengatakan itu, Kadrin kemudian mengangguk dan masuk ke rumah Mariyem.

Mereka berbincang-bincang, dan saat tengah berbincang, Kadrin iseng menanyakan, “Mariyem, kamu suka lelaki yang seperti apa?”

“Saya suka lelaki yang melamar saya dengan tiga hektar tanah, Mas,” jawab Mariyem. Mendengar hal tersebut, Kadrin pamit pulang. Ia pun duduk di teras dan merenung sama seperti yang dilakukan oleh Kadrun sebelumnya. Bagaimana aku dapat membeli tiga hektar tanah, sedang tanah Bapak saja kurang dari satu hektar.

Namun, karena ia bertekad untuk mendapatkan Mariyem, ia pun berangkat ke kota untuk mencari uang yang banyak. Meski sempat dilarang Bapak karena ia bakal ditinggal sendirian, namun Kadrin tetap pada pendiriannya dan berjanji akan pulang dengan membawa banyak uang.

Bapak pun pasrah. Tinggal lah Bapak seorang diri, mengelus dada melihat tingkah aneh kedua anaknya, dan hanya berharap yang terbaik untuk keduanya.

Begitulah akhirnya Kadrun dan Kadrin pergi demi dapat melamar Mariyem.

***

Setahun berlalu begitu cepat, entah bagaimana, Kadrun dan Kadrin pulang ke rumah bersama-sama. Bapak terkejut mendengar bahwa Kadrun dan Kadrin sukses besar di kota. Kadrun menjadi pengusaha sukses, sedangkan Kadrin bekerja di kantor yang kerjanya bolak-balik ke luar negeri.

Bapak tambah senang ketika kedua anaknya, Kadrun mengatakan membeli lima hektar sawah dan Kadrin membeli tiga hektar tanah. Namun dibuat kecewa karena semua itu bukan untuknya.

“Terus, mau buat apa kalian beli semua itu?” tanya Bapak heran.

“Mau buat mahar, Pak. Mau ngelamar Mariyem,” jawab Kadrun yang membuat Kadrin kaget. Begitu pun Bapak.

“Jadi, kamu beli itu semua buat ngelamar Mariyem?” tanya Kadrin memastikan.

Kadrun mengangguk dan berkata, ”Mariyem bilang dia suka perempuan yang melamarnya dengan lima hektar sawah. Makanya aku beli lima hektar sawah.”

Kadrin terdiam. Begitu juga Bapak.

“Aku juga beli tiga hektar tanah buat ngelamar Mariyem. Katanya dia suka lelaki yang melamarnya dengan tiga hektar tanah,” jelas Kadrin.

Kadrun melongo. Begitu pun Bapak.

“Goblok kalian!” kata Bapak, “Mariyem itu sudah menikah. Dia baru melahirkan minggu kemarin. Suaminya saudagar yang bolak-balik ke luar negeri.”

Kadrun dan Kadrin seketika lemas. Ditengoknya rumah sebelah, terdengar suara tangisan bayi. Mariyem keluar rumah sambil menggendong bayinya.

Bergegas Kadrun dan Kadrin keluar menghampiri Mariyem.

“Mariyem!” panggil Kadrun dan kemudian menghampiri perempuan tersebut.

“Kenapa kamu bohong sama kami!” kata Kadrin.

“Bohong gimana ta, Mas. Eh Mas Kadrin sama Mas Kadrun baru pulang? Sudah lama Mariyem enggak ngobrol-ngobrol sama kalian.”

“Kata kamu, kamu suka laki-laki yang melamarmu dengan lima hektar sawah!” kata Kadrun.

“Kamu juga mengatakan padaku, katanya kamu suka lelaki yang melamarmu dengan tiga hektar tanah!” timpal Kadrin.

Lah, saya ndak bohong, Mas. Suami saya melamar dengan lima hektar sawah. Saya suka sekali, jadi saya terima lamaran tersebut. Kemudian setelah menikah, Ia memberikan saya hadiah tiga hektar tanah. Saya bahagia sekali dan tidak menyesal menikah dengannya,” jawab Mariyem. Ia tersenyum bahagia mengingat betapa kaya suaminya.

Mendengar itu, Kadrun dan Kadrin tambah lemas. Sementara Bapak amat senang karena ia bakal punya lima hektar sawah dan tiga hektar tanah, pun turut bangga pada kedua anaknya yang sekarang sukses besar membuat mereka tak akan lagi merasa miskin seperti sebelumnya.

“Terima kasih, anak-anakku. Bapak bisa merasakan jadi orang kaya. Hahaha,” kata Bapak tertawa lebar sembari mengusap-usap pundak kedua anaknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *