Oleh: Rofingatun Hamidah

Informasi Film:
Judul : Innocent Witness
Durasi : 129 Menit
Sutradara : Lee Han
Tanggal Rilis : 13 Februari 2019
Rating : 7,4/10 (IMDb)
Bicara soal Korea, masyarakat lebih mengenal dengan K-Popnya yang mendunia atau drama romansa yang menghibur. Masyarakat kerap menstigma industri kreatif negara tersebut. Karena persepsi masyarakat yang sudah kadung menganggap industri kreatif di Korea hanya sekadar hiburan, tak dapat menangkap pesan yang ingin disampaikan dari film-film tersebut. Namun, pandangan tersebut perlahan mengikis sejak menangnya salah satu film buatan Korea di piala Oscar.
Sebenarnya tak harus menunggu film Korea menyabet penghargaan Oscar untuk memercayai kualitasnya. Karena pada kenyataannya, industri perfilman di negara tersebut sudah maju dan beragam. Banyak kritik dan nilai-nilai yang sering kali tak disadari. Menurut saya, kritik tersebut tak hanya relevan di negaranya, namun juga di Indonesia bahkan dunia.
Film garapan Lee Han ini menceritakan bagaimana perjuangan anak dengan spektrum autisme sebagai saksi tunggal atas terbunuhnya seorang kakek tua yang juga tetangganya. Kakek tersebut meninggal dikarenakan sesak napas dan ada indikasi pembunuhan yang dilakukan oleh pembantunya. Im Ji-Woo, seorang gadis berusia 15 tahun yang diperankan oleh Kim Hyang-Gi ini berusaha menyuarakan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, yakni sebagai seorang saksi. Dalam film ini digambarkan pula kehidupan sehari-hari Ji-Woo yang selalu mengalami perundungan oleh lingkungannya. Sering ditertawakan ataupun ditirukan tingkah lakunya sebagai bentuk pelecehan terhadapnya.
Dalam kasus terduga pembunuhan ini, ada seorang pengacara bernama Yang Soon-Ho sebagai pembela terdakwa yang diperankan oleh Jung Woo-Sung. Sebagai pengacara, Soon-Ho berusaha menjalankan tugasnya dengan baik dalam membela kliennya, Oh Mi-Ran yang diperankan oleh Yum Hye-Ran.
Pada awal hingga pertengahan film, Yang Soon-Ho mencoba untuk terus memercayai kliennya. Seperti yang pernah dikatakannya dalam salah satu adegan, “Pengacara punya kewajiban merahasiakan. Kami dihukum jika melanggar itu. Itu berarti meski Kau bersalah atas kejadian tersebut, aku tidak bisa mengungkapkannya kepada siapa pun.” Cerita berjalan dengan gejolak konflik sederhana namun mampu mencampuradukkan perasaan penontonnya.
Saksi yang Mencoba Bersuara Atas Keterbatasannya
Film berdurasi 129 menit ini membuat penontonnya mampu melihat bagaimana hukum berjalan di tengah gejolak pendapat masyarakat yang menyangkal. Saya mengapresiasi film ini, karena merepresentasikan hukum di Korea. Hukum tidak lah pandang bulu. Seseorang dengan keterbatasannya pun berhak untuk bersuara. Terlepas dari pendapat masyarakatnya yang tak setuju.
Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai saksi sebagaimana tertera pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan bahwa, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.”
Kemudian, melalui putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 65/PPU-VIII/2010, pengertian saksi mengalami perluasan makna, bahwa saksi tidak hanya orang yang ia lihat, dengar, alami sendiri, tetapi setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.
Dari pengertian mengenai saksi tersebut, dengan kondisi seperti yang dialami oleh Ji-Woo ini berarti ketika hal semacam itu terjadi di Indonesia, ia tetap sah dinyatakan sebagai saksi. Terlebih, jika melihat peraturan di Indonesia yang masih belum menjangkau semua pihak, termasuk pihak yang membutuhkan perhatian khusus.
Kondisi dengan spektrum autisme ini bukanlah kecacatan mental yang pendapatnya berarti tak benar. Justru orang dengan spektrum autisme seperti Ji-Woo tidak bisa berbohong, seperti yang dikatakan jaksa penuntut umum pada film ini. Sehingga, kesaksiannya valid.
Namun, terlepas dari hukum dan segala macam yang menyertainya, saya memfokuskan pada sisi kemanusiaan dalam film ini. Pandangan yang digambarkan dalam film jelas mewakili realitas yang terjadi di masyarakat. Saya menyayangkan bagaimana respon dan tanggapan masyarakat terhadap kesaksian Ji-Woo. Beberapa adegan dalam film ini dengan gamblang menunjukkan reaksi ketidakpercayaan masyarakat terhadap kesaksian anak berusia lima belas tahun dan mengidap spektrum autisme.
Seperti misalnya, teman sekantor Yang Soon-Ho yang mengatakan, “Siapa yang akan percaya kepadanya?” Ungkapan pesimistis ini bukan tanpa alasan. Meremehkan dan ketidakpercayaan tersebut timbul dikarenakan asumsi masyarakat yang keliru. Hal ini sungguh menjadi perhatian bersama. Tak seharusnya kita men-judge seseorang berdasarkan ketidaksempurnaannya.
Belum lagi, ketika si pengacara ingin berkunjung ke TKP dan menanyakannya pada salah satu tetangga Ji-Woo, respon tetangga tersebut terkesan tidak percaya terhadap kesaksian Ji-Woo dengan mengatakan, “Itu tidak masuk akal, menahannya berdasarkan ucapan seorang anak bermental tak sehat.”
Dari kalimat itu saja, bukan hanya rasa ketidakpercayaan, namun juga ejekan yang keliru. Masyarakat awam masih menyamaratakan autisme dengan mental tak sehat atau bisa dibilang gila.
Padahal, keduanya amat berbeda. Bahkan, penyandang spektrum autisme dapat dikatakan genius. Seperti yang diceritakan Ibu Ji-Woo yang diperankan oleh Jang Young-Nam, Ji-Woo mampu membaca koran ketika usianya baru dua tahun.
Dalam sebuah artikel hellosehat.com, dijelaskan bahwa Autisme Spectrum Disorder (ASD) merupakan suatu gangguan perkembangan pada otak dan saraf yang kemudian memengaruhi kemampuan anak dalam berinteraksi, berperilaku, bersosialisasi, ataupun berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal. Jadi, bukan masalah kejiwaannya yang salah. Hanya saja mereka susah dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Jaksa penuntut umum yang diperankan oleh Lee Kyu-Hyung dalam film ini pernah berkata, “Jika Anda ingin berbicara dengan seseorang seperti dia (Ji-Woo), berarti Anda harus menjangkau mereka.”
Menurut saya, ucapan Jaksa tersebut sudah cukup mewakili. Sudut pandang tak hanya berpusat pada apa yang ingin kita lihat (das sein), namun juga apa yang seharusnya kita lihat (das sollen). Untuk mencapainya, kita perlu memahami orang lain di sekitar kita. Perlu mencari tahu sudut pandang mereka dalam melihat dunia. Serta menempatkan diri seperti yang seharusnya.
Kesadaran mengenai setiap orang itu berbeda, setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing, toleransi yang tinggi, dalam bahasan kali ini jelas masih sangat dangkal. Artinya, orang-orang yang sering kali dianggap lemah secara perlahan kalah. Bukan karena kelemahannya, namun karena ketidaksadaran masyarakat mengenai kelemahannya. Pada akhirnya, bukan kelemahan yang mereka punya yang mampu membunuhnya. Namun, sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya lah yang akhirnya membunuhnya secara perlahan.
Film ini jelas menarik. Alur cerita yang tersaji ataupun teknik penggarapan yang bagus mampu menjungkirbalikkan emosi penonton. Apalagi, terdapat humor sederhana yang menggelitik yang dapat menyeimbangkan jalan ceritanya yang serius. Dengan begitu, penonton dapat menikmati film yang menarik ini. Tidak sepaneng.
Karena ceritanya yang cukup sensitif, film ini layak ditonton untuk orang yang kritis atau sedang belajar kritis. Hal ini perlu ditekankan. Pasalnya, mereka yang tak kritis ataupun tak mau belajar untuk kritis tidak akan mampu meresap nilai moral yang disajikan dalam film. Film ini tidak cocok untuk orang yang berpendapat kolot bahwa berbeda merupakan kelemahan seseorang. Dengan menonton film ini, kekolotan dalam diri mereka justru akan berontak. Tak akan merubah apa pun. Jadi, untuk orang-orang kolot, saya sarankan untuk tidak menonton film yang luar biasa ini.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2018