“Jurnalisme” Barang Hilang

Oleh: Emerald Magma Audha*

Ilustrasi: Marita Dwi Asriyani

Contoh ilustrasi konten persma. “Telah hilang dompet sawo matang. Berisi KTM, duit, milik Si Anu. Hilang di sekitar jalan raya pada siang bolong, hubungi nomor …”. Biasanya barang hilang karena dua hal: kelalaian pemilik (seperti tertinggal, terlupa, terjatuh) atau dimaling. Barang hilang yang saya maksud dalam tulisan ini barang pribadi serupa KTP, KTM, dompet, gawai, dan lainnya.

Dulu, sejak saya masih baru dalam kehidupan pers kampus, konten-konten semacam itu acap menjejali linimasa media persma di Unsoed. Persma fakultas. Hampir aben pekan, ada. Ramai. Dan laku. Kalaupun menyajikan berita, kadang beritanya tak layak konsumsi−menurut standar kami. Berita yang tendensius, bukan menjernihkan. Atau, kontennya masih parsial, tidak komprehensif. Dan sajian penulisannya bikin mata sakit: kacau dan berantakan.

Beberapa persma sini begitu. Mengabarkan barang hilang. Beberapa lainnya sekarat. Ia seperti menjadi napas pemberitaan persma sini yang sedang terengah-engah. Dalam kecemasan persma akan ketidaklakuan yang hiruk pikuk. Saya menyebut gejala itu sebagai tren “Jurnalisme” Barang Hilang. Saya kutip pada frasa jurnalisme sebab masih ada keraguan menamakan gejala tadi sebagai bentuk jurnalisme. Syahdan, ada pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah “Jurnalisme” Barang Hilang merupakan bagian dari jurnalisme? Apakah ia termasuk proses kerja jurnalistik yang baik?

Konten-konten serupa ilustrasi tadi, sama sekali bukan jurnalisme. Ia anomali. Ketika persma asal mengabarkan barang hilang, ketika itu pula hakikat jurnalisme hilang. Ada esensi jurnalisme yang ia abaikan. Saya maksudkan soal proses kerja jurnalistik. Ia bermasalah. Dan serampangan.

Tak jarang persma hanya langsung memuat kabar barang hilang tanpa proses verifikasi yang layak. Seperti minimal memverifikasi pemilik barang telah melaporkan ke kantor polisi terdekat dan mengurus surat keterangan hilang. Itu penting untuk memastikan kabar yang mereka terbitkan bukan kabar kibul. Saya ragu mereka melakukan itu, terlihat dari sajian konten mereka yang masih mentah tanpa diolah. Padahal disiplin verifikasi inti dari kerja jurnalistik. Ia menjadi diametral kerja jurnalistik dan yang bukan. Dan ia pula seringkali dilupakan dalam praktik jurnalistik wartawan (kampus).

Cara kerja mereka kurang lebih begini: ada laporan barang hilang masuk ke redaksi, “Telah hilang ATM atas nama … bla bla bla”, kemudian teks tadi tinggal disalin persis, paste di kolom unggahan, terakhir klik “terbitkan”. Sudah. Selesai begitu saja. Dan, jadilah konten-konten jurnalisme barang hilang dihidangkan kepada pembaca yang kebanyakan mahasiswa. Jika cara kerja media pers hanya sekadar post dan share tanpa terlebih dulu verifikasi, apa bedanya ia dengan media sosial?

Memang ihwal persma keliru dalam bersikap dan berlaku terhadap laporan barang hilang bukan merupakan satu-satunya pemicu. Ada pemicu lain. Mahasiswa (dan masyarakat umumnya) beranggapan bahwa menyerahkan urusan kehilangan barang ke kantor polisi kadang bikin repot. Ribet.

Lebih merepotkan lagi ketika mengurus laporan barang hilang karena dimaling. Terlalu birokratis. Itu pun belum tentu pelayanannya baik dan tanggap. Sampai ada yang bilang begini, “Mengurus laporan kehilangan lebih mengesalkan ketimbang kehilangan itu sendiri.” Ada pesimisme laporan tadi bakal ditindaklanjuti. Toh, tak ada jaminan barang hilang akan kembali ketika sudah melapor. Alhasil cuma bisa menanti kebaikan hati penemu barang atau taubatnya si maling.

Alternatif lain, masyarakat memilih yang instan: menyebarluaskan informasi kehilangan di media sosial—termasuk meminta bantuan media pers(ma) untuk ikut-ikutan. Berangkat dari pemicu-pemicu tadi, muncullah jurnalisme barang hilang yang dianggap sebagai jawaban atas masalah barang hilang. Meski saya kira ia bukan jawaban yang tepat dan solutif.

Ada contoh baik. Di Jepang, kepolisian punya departemen khusus mengurus barang-barang hilang, Lost and Found Center, yang memiliki banyak pos di titik-titik keramaian. Fungsinya mengamankan barang-barang hilang maupun barang yang ditemukan orang lain. Kehilangan barang sepele semacam payung, sarung tangan, hingga uang dan dompet akan ditindaklanjuti. Bahkan recehan 1 yen yang hilang pun tetap ditangani.

Dalam laporan Tirto.id, Tokyo Metropolitan Police Department’s Lost and Found Center, pada 2016, menangani uang hilang total 3,67 miliar yen (439,6 miliar rupiah). Dan tiga perempatnya berhasil dikembalikan ke pemilik. Jangan heran, Jepang bisa begitu tak lepas dari faktor kejujuran, sistem dan regulasi yang teratur, dan tentunya kinerja pelayanan badan publik yang baik.

Saya rasa badan pelayanan publik sini perlu segera melakukan satu dari dua pilihan ini. Pilihan pertama, silakan lekas edit slogan-slogan “reformasi birokrasi” yang terpampang di kantor-kantor, sekaligus ganti jargon “revolusi mental” ala birokrat yang nyaring digaungkan tetapi kosong isinya. Atau. Pilihan kedua, segeralah benahi sistem dan pelayanan publik yang masih buruk dan lamban, dan yang terpenting mental abdi negaranya.

Tinggal pilih yang mana. Bagi yang waras tentu pilihan kedua merupakan jawaban yang tepat dan solutif atas masalah barang hilang dan lainnya. Jika pilihan itu diseriusi, masalah barang hilang bisa diatasi tanpa perlu melibatkan jurnalisme. Dan, pers(ma) pun bisa fokus menyajikan topik lain yang jauh lebih penting ketimbang laporan mentah barang hilang. Dan, dengan pilihan itu juga bisa mewujudkan “reformasi birokrasi” yang nyata dan menyeluruh. Semoga frasa tadi tidak melulu sebagai slogan yang memilukan.

Jurnalisme dan Kemanusiaan

Saya pikir mengabarkan barang hilang bukan tugas utama jurnalisme. Lebih utama tugas jurnalisme adalah mengabarkan hilangnya kemanusiaan. Kemanusiaan bukan hilang. Mengabarkan kebusukan pejabat-pejabat yang mengorupsi uang negara (uang rakyat). Ada bencana kelaparan menimpa suatu daerah, kemudian mewartakannya agar menjadi perhatian pemerintah. Itu kerja kemanusiaan. Kebijakan kampus yang cenderung lebih banyak memunculkan mudarat ketimbang manfaatnya, dan pers kampus mencoba menguliknya. Dan sebagainya.

Itu semua adalah kerja-kerja kemanusiaan. Jurnalisme bagi saya merupakan manifestasi dari kerja-kerja kemanusiaan. Dan Skëtsa memilih ideologi yang berpijak pada kaki kemanusiaan: humanisme. Bukan pada kaki belas kasihan. Saya mengamini Gabriel García Márquez, penulis Amerika Latin itu, ketika dia bilang jurnalis merupakan pekerjaan paling bagus sedunia. Dan itu bukan profesi yang mudah. Tantangannya bukan sekadar mewartakan sesuatu yang terjadi. Mengolahnya dalam berbagai perspektif tetapi objektif, kemudian menyajikannya dalam kerangka kepentingan publik, baru mewartakannya secara jernih dan komprehensif, tapi menarik. Itulah peran jurnalis, lewat wartanya membantu masyarakat menentukan sikap dengan bijak tentang suatu hal.

Dan, dari ciri tadi, saya kira sama sekali absen dalam praktik jurnalisme barang hilang yang bersliweran di kampus sini. Komitmen jurnalisme? Nihil. Sebab ia memang bergerak bukan dengan bingkai jurnalisme. Jurnalisme barang hilang adalah jurnalisme kacangan.

***

Praktik jurnalisme barang hilang memang tidak lagi jamak dilakukan persma. Entah karena telah insaf atau memang tak ada lagi laporan kehilangan yang masuk. Namun, belakangan gejala itu mulai nampak lagi.

Sebelum itu mewabah lagi, maka saya putuskan menyajikan tulisan ini, sebagai kritik saya sekaligus weling. Agar kita sesama persma mempertimbangkan dulu dengan bijak sebelum mengambil langkah. Kalau persma tetap memilih mewartakan barang hilang dengan berbagai pertimbangan, ya silakan. Asal jangan abai terhadap disiplin verifikasi, dan itu mesti dijalankan dengan serius.

Atau, alternatif lain, kita bisa membikin sebuah media forum khusus yang fungsinya fokus mewadahi segala macam laporan mentah barang hilang. Mahasiswa yang merasa kehilangan barang atau yang menemukan barang bisa saling mengunggah info lewat forum tadi.

Saya paham benar bila geliat kebanyakan persma sini kuyu. Entah itu krisis keanggotaan, atau pejabat kampus yang masih alergi terhadap persma, atau anasir lain. Itu membuat persma jarang menerbitkan berita. Skëtsa pun begitu. Namun, kami tetap pada prinsip: lebih baik menyetop pemberitaan ketimbang menerbitkan berita buruk atau cacat. Dan kami tidak akan melacurkan mutu jurnalisme demi mengemis remah-remah klik pembaca. Begitu.

Purwokerto, Juni 2018.

*Penulis, Pemimpin Umum LPM Skëtsa 2018.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 36 Tahun XXX Januari 2019 bertema “Malaise: Ketika Banyumas Diterpa Krisis” pada Rubrik Kesketsaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *