MALAISE: Ketika Banyumas Diterpa Krisis

Oleh: Yoga Iswara Rudita Muhammad

Gedung Karesidenan Banyumas dibangun di kota Banyumas tahun 1843. Foto diabadikan pada 1921 dalam rangka pemberian peng hargaan pada para bupati dan pamong oleh Patih Danoeredjo VII dari Ngayogyakarta, yang berjasa dalam memberantas busung lapar. Foto: Koleksi Sugeng Wijono.

“Sol solami adang se-ons biyung aja bingung anake katokan karung.”

Demikian lirik sebuah lagu rakyat Banyumas. Isinya curahan keresahan masyarakat Banyumas atas krisis ekonomi yang sempat melanda pada 1930-an. Lewat lagu itu, para ibu diharap tak bingung bila anaknya memakai celana dari karung. Sebabnya, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis ekonomi yang publik sekarang menyebutnya “Malaise”. Dampak krisis itu terasa sampai Hindia Belanda (HB). Terkadang, istilah itu dipelesetkan menjadi “Zaman Meleset”.

***

Depresi Besar yang melanda AS pada dekade 1930-an adalah episode dramatik dalam sejarah perekonomian dunia. Bagaimana tidak, sepanjang dekade tersebut pasar saham lesu. Bank-bank tersandung pailit, dan spekulasi mata uang tak terkendali menciptakan kondisi krisis tersendiri.

Berkilas balik satu dekade sebelumnya, AS mencatatkan jejak gemilang dalam hal perekonomian. Ekonomi tumbuh pesat. Kekayaan negara berlipat ganda. Situasi itu disebut oleh pengamat sebagai “The Roaring Twenties”. Ekonomi yang bergairah memicu terjadinya spekulasi besar-besaran di pasar saham. Indeks saham melejit dan menemui puncaknya pada Agustus 1929.

Kondisi itu berbalik pada September 1929. Harga saham perlahan merosot. Turunnya harga saham itu mencapai titik nadir pada 24 Oktober 1929. Terjadi pelepasan saham secara besar-besaran. Hampir 13 juta lembar saham dioper kepemilikannya dalam waktu satu hari. Bahkan, harga indeks saham sekelas Dow Jones Industrial Average tercatat anjlok hingga 11% dalam sehari.

Ekonom Amerika Serikat Ben S. Bernanke dalam bukunya Essays on the Great Depression, terbitan tahun 2000, mencatat bahwa Depresi Besar berdampak nyaris pada seluruh dunia. Namun begitu, dampaknya di tiap negara tidaklah sama.

“Negara-negara yang tidak begitu memedulikan sistem standar emas pada saat itu ternyata pulih lebih cepat dari depresi ekonomi,” tulis Bernanke mengutip pendapat ekonom lain, Barry Eichgreen dan Jeffry Sach.

Bernanke mencontohkan, hal itu terjadi pada Inggris dan Swedia yang meninggalkan standar emas pada 1931 dan AS menyusul pada 1933. Ketiganya pulih lebih cepat dibandingkan negara yang bertahan pada sistem standar emas. Sayangnya, Belanda tak sigap mengekor kebijakan tiga negara itu.

Ujungnya, negara yang segera meninggalkan standar emas cenderung bisa mengendalikan tingkat harga. Sebaliknya, mereka yang bertahan malah kian tertekan oleh deflasi, simpul Bernanke.

Mereka yang Terdampak Depresi Besar

Depresi Besar diawali morat-maritnya pasar saham di AS. Pasar saham jadi tak stabil. Rumor penyebabnya ada bermacam versi. Yang paling fatal, dalam catatan ekonom Prof. Boediono, ialah adanya sejumlah bank yang tak bisa membayar uang simpanan nasabahnya. Hal itu membuat publik pasar saham AS panik. Argumen itu termuat di bukunya, Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah.

Resah uangnya tak bisa diambil, masyarakat AS ramai-ramai menarik simpanannya di bank. Penarikan uang yang masif menimbulkan kesulitan likuiditas berantai pada operasi perbankan yang berbuntut penutupan bank-bank.

Buahnya, sektor finansial dan perbankan macet. Kegiatan perdagangan dan produksi ikut mandek. Kondisi itu disusul gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di AS.

Dalam waktu relatif singkat, daya beli masyarakat tiba-tiba turun. Barang-barang yang kadung diproduksi tidak lagi bisa terserap pasar. Alhasil, stok menumpuk. Mengetahui kondisi pasar yang demikian, para produsen mencari jalan keluar. Mengurangi volume produksi jadi salah satu pilihannya. Cara lain yang ditempuh yakni menyusutkan jumlah karyawan. Puncak penyusutan karyawan itu terjadi pada 1933, lebih dari 15 juta penduduk AS kehilangan pekerjaannya.

Krisis yang awalnya terjadi di lokal AS saja, dengan cepat merembet ke Eropa dan negara-negara lain. Tak terkecuali HB. Ini mengingat adanya hubungan perdagangan antarnegara. Deflasi di AS menjelma deflasi global dan melahirkan depresi ekonomi global, papar Boediono menyoal menjalarnya krisis.

HB dibuat terpuruk oleh krisis itu. Komoditas ekspor seperti karet, kopra, kopi, gula, dan timah minim permintaan sehingga harganya anjlok. Sepanjang 1929—1932/1934, kelima komoditas itu tercatat mengalami penurunan harga lebih dari 50%. Seturut Boediono, ketergantungan pemerintah terhadap devisa dari komoditas ekspor yang begitu tinggi membuat dampak krisis lebih berat dirasakan dan lebih cepat merebak di HB.

Mulai tahun 1930, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) HB terus merosot dan mencapai titik terendahnya pada pertengahan 1930-an. Dampak depresi ekonomi itu bertahan lebih lama dari negara lain. Salah satu penyebabnya, menurut Boediono, HB memberlakukan kebijakan ekonomi yang intinya mempertahankan sistem standar emas. Buntutnya, kebijakan itu ikut memperparah kondisi harga komoditas ekspor HB sehingga kalah bersaing di pasar internasional.

Di tingkat masyarakat HB kala itu, harga beras tercatat turun sebesar 36%. Imbasnya dirasakan betul oleh petani tradisional. Sementara itu, sektor ekonomi modern, semisal perkebunan, sempat terjadi PHK besar-besaran. Mereka yang terkena PHK kembali ke kampung halaman sebagai pekerja serabutan. Sebagian lainnya pulang kampung sebagai pengangguran terselubung.

Boediono menyorot ada kekeliruan mendasar terkait pengelolaan ekonomi HB. Keliru itu bercokol pada kebijakan menggantungkan pendapatan negara terhadap aktivitas ekspor dan impor komoditas. Hal itu dilakukan tanpa menyiapkan perekonomian dalam negeri yang tahan gejolak. Imbasnya, perekonomian dalam negeri tak berkutik ketika krisis global terjadi.

Baru pada 1933, perubahan diinisiasi. Pemerintah banting setir. Mulai saat itu, kebijakan perdagangan bebas yang diterapkan sejak 1870 resmi ditinggalkan. Industri dalam negeri didorong tumbuh dengan pemberlakuan sistem kuota impor berbagai barang kebutuhan.

Di samping itu, dalam kacamata Pemerintah, hal itu dilakukan guna melindungi jaringan perdagangan dalam negeri—yang didominasi perusahaan Belanda—dari persaingan negara luar. Saat itu, Jepang dinyana bakal mengalahkan Belanda lewat upayanya membentuk jaringan perdagangan dan strategi banting harga di HB.

Upaya-upaya tadi akhirnya membuahkan hasil juga. Selama rentang 1933—1942 sektor industri dalam negeri mulai menjamur. Industri tekstil tumbuh pesat, dengan lokasi utama di Jawa Barat. Nama-nama besar seperti General Motors, Goodyear, Unilever, dan Bata mulai masuk dan membangun pabrik di HB. Sementara itu, produksi barang-barang kebutuhan dalam negeri ikut meningkat pesat. Pangsa sektor industri olahan dalam PDB meningkat dari 8% pada 1931 menjadi 12% pada 1941.

Banyumas dan Krisis yang Meluas

Krisis ekonomi pada 1929 yang diikuti Depresi Besar dalam perekonomian awalnya hanya dirasakan di AS saja. Namun, lama-kelamaan dampaknya sampai HB juga. Pemerintah HB meresponnya dengan menolak segala tindakan yang berkonsekuensi devaluasi gulden.

Depresi Besar 1930 bukanlah kejadian sejarah yang muncul tiba-tiba. Ada versi yang mengatakan kejadian itu dilatarbelakangi Perang Dunia (PD) I yang belum lama terjadi. Negara-negara yang terlibat perang itu mengalami defisit keuangan karena membiayai perang. Namun, ada pula versi lain yang mengatakan kalau Depresi Besar terjadi bukan karena kondisi perang.

Dalam artikel berjudul “What Ended the Great Depression?”, sejarawan AS Burton W. Folsom menilai bahwa Depresi Besar ekonomi di AS era ‘30-an adalah yang terbesar dalam sejarah negara itu. Merentang dari 1931 sampai 1940, angka pengangguran di AS tercatat membengkak.

Dampak krisis dunia akhirnya merambah Banyumas juga. Hal itu dicatat oleh Dizka Meizi Arinda dalam artikelnya berjudul “Krisis Ekonomi di Banyumas 1930—1935 sampai Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Banyumas ke Purwokerto Tahun 1937”.

Keadaan ekonomi memburuk dan keresahan sosial meluas. Efeknya makin parah menyusul terjadinya krisis pabrik gula 1918, krisis ekonomi 1921, dan kenaikan pajak rakyat. Laporan Meyer Ranneft menyebut bahwa sejak Gubernur Jenderal van Limburg Stirum di gantikan Fock pada 1921, pajak rakyat di Pulau Jawa dan Madura dinaikkan sekitar 40%. Keadaan semakin memburuk dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan de Jonge tahun 1931—1936.

Di samping itu, ada pula Egbert de Vries yang menyebut Depresi Besar Ekonomi dunia tahun 1929 membawa pengaruh buruk terhadap negeri-negeri seberang lautan, tak terkecuali HB yang dikenal banyak menghasilkan bahan mentah.

Satu Nama Tiga Arti

Apabila disebut nama “Banyumas” pada zaman kolonial, ada tiga pengertian yang timbul. Pertama, itu merujuk pada nama wilayah administratif berbentuk distrik di sebelah selatan Sungai Serayu.

Kedua, itu adalah nama sebuah regentschap (kabupaten) yang berada di sekitar Lembah Serayu dengan Kota Banyumas sebagai pusatnya. Belakangan status itu masih dipertahankan, hanya yang berpindah pusat administratifnya saja: dulu di Banyumas, sekarang di Purwokerto.

Ketiga, penyebutan itu mengacu pada sekumpulan wilayah di sekitar Banyumas yang tergabung dalam residentie (karesidenan) Banyumas. Wilayahnya terdiri dari Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Purwokerto, dan Banyumas sebagai pusat pemerintahannya.

Secara historis, wilayah Banyumas merupakan hasil alih tangan dari Kasunanan Surakarta. Wilayah Banyumas diserahkan kepada kolonial Belanda sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti. Sebagai gantinya, Kasunanan Surakarta mendapat uang kompensasi sebesar f90.000 atau 90 ribu gulden. Nilai itu hampir setara f22 untuk setiap km2nya, mengingat luas Banyumas sekira 5.500 km2. Lepasnya wilayah Banyumas dari Kasunanan Surakarta secara resmi terjadi pada 22 Juni 1830.

Sebelum berada dalam kekuasaan kolonial, Banyumas adalah wilayah bawahan (vasal) dari kerajaan-kerajaan Islam: Demak, Pajang, dan Mataram Islam.

Dalam perjalanannya, Kerajaan Mataram hampir menguasai seluruh Pulau Jawa. Pada situasi tersebut, kerajaan itu menerapkan sistem pemerintahan yang membagi wilayah kekuasaannya ke dalam lingkaran-lingkaran dengan ciri khasnya masing-masing.

Dari ring terdalam hingga terluar, urutannya seperti ini: Kraton (pusat inti pemerintahan), Kuthagara (ibu kota negara), Negaragung (tempat tinggal bangsawan), Mancanegara (wilayah di luar Negaragung yang tidak berada di pesisir pantai utara Jawa), dan Pasisiran (wilayah di luar Negaragung yang berada di pesisir pantai utara Jawa).


PG Kalibagor pasca direnovasi (16/9/2018). Foto: Marita Dwi Asriyani.

Berdasarkan pembagian tersebut, Banyumas dimasukkan wilayah Mancanegara Kilen dan berstatus kabupaten.

Wilayah Kabupaten Banyumas diapit dua jalur pegunungan. Di antara apitan itu, wilayah inti Banyumas terbentang dan membentuk peradaban yang dibelah Sungai Serayu. Konon, karena itu pula Banyumas mendapatkan namanya: Lembah Serayu.

Tanah Banyumas terdiri dari lapisan vulkanis muda. Tipikal tanah itu dikenal subur dan dapat dijadikan lahan persawahan yang menghasilkan padi. Sungai Serayu beserta anak-anak sungainya diyakini dapat mengairi lahan pertanian sepanjang musim. Belakangan, hal itulah yang menarik pihak kolonial untuk datang dan berkuasa.

Namun, karunia bagusnya kondisi tanah dan sungai itu tak lantas menjadikan Banyumas bebas dari isolasi. Sejarawan Tanto Sukardi mencatat dalam bukunya Tanam Paksa di Banyumas: Kajian mengenai Sistem, Pelaksanaan, dan Dampak Sosial Ekonomi, Banyumas pada zaman pra-kolonial kesulitan menjalin hubungan dengan pusat kerajaan, baik Demak, Pajang, Mataram, maupun Surakarta.

Kesulitan itu dapat terlihat dari citraan peta yang dibuat oleh pemerintah kolonial pada tahun-tahun pertama kekuasaannya di Banyumas, era 1830-an. Kala itu, Banyumas hanya memiliki sebuah alur jalan darat ke arah timur. Jalur itu menghubungkan Wirasaba, Mandiraja, Purwanegara, kemudian sampai di Bagelan. Jalan yang ada berupa lorong-lorong atau jalan setapak yang tak begitu lebar dan tidak mulus. Peta tersebut sampai sekarang masih tersimpan di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia.

Konsep penguasaan tanah secara tradisional di Banyumas sangat berbeda dari konsep penguasaan tanah yang berlaku di Barat. Di Barat, dikenal konsep kepemi likan atau property. Pada zaman kekuasaan Mataram, tanah yang merupakan bagian kerajaan dipercayakan pada pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau pihak yang berwenang di istana. Pejabat-pejabat itu tak dianggap sebagai pemilik tanah, mereka cuma dibekali hak politis untuk melakukan pengelolaan atas tanah.

Secara tradisional, desa-desa di Banyumas bukan hanya sebagai basis ekonomi bagi pemerintah pusat kerajaan. Akan tetapi, ia juga menjadi basis tenaga kerja.

Menurut Tanto Sukardi, sejak era Tanam Paksa, Pulau Jawa merupakan daerah penghasil komoditas perkebunan berskala besar. Komoditas itu meliputi indigo, kopi, tebu, lada, teh, tembakau, serta kayu manis. Di Karesidenan Banyumas sendiri, tebu menjadi komoditas kedua yang paling banyak ditanam setelah kopi. Tanaman tebu dibudidayakan pada 13 dari 18 karesidenan yang ada di Pulau Jawa dengan pusatnya ada di Jawa Timur.

Semenjak tahun 1930, pabrik gula menduduki tempat penting dalam pengelolaan lahan subur di Pulau Jawa dan sekitarnya. Sejarawan Belanda Pierre van der Eng mencatat dalam bukunya Agricultural Growth in Indonesia, tanaman perkebunan mulai masuk ke Jawa pasca 1862. Tanaman-tanaman itu awalnya dibudidayakan di Sumatera Utara.

Terdapat dua sistem pertanian yang marak dilakukan pada waktu itu: perkebunan dan perladangan. Sistem perkebunan lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan komoditas di pasar internasional. Perkebunan dibangun untuk memenuhi permintaan ekspor semata. Karenanya, naik turun sektor itu sangat dipengaruhi permintaan pasar internasional. Kebanyakan perkebunan hanya menghasilkan satu jenis tanaman saja. Sementara itu, sistem perladangan lebih berfokus pada pemenuhan pasar domestik. Adapun komoditas yang dihasilkan lebih variatif.

Upaya Pemerintah Kolonial Menghadapi Krisis

Dekade 1930-an adalah saat-saat terburuk yang dialami warga Banyumas. Di tingkat global, terjadi krisis ekonomi yang belakangan publik sebut sebagai Malaise. Keadaan ekonomi tercatat semakin membelit.

Kemiskinan ada di mana-mana. Hampir menyentuh seluruh wilayah Banyumas. Pengemis laki-laki maupun perempuan banyak berkeliaran di jalan-jalan. Mereka berpakaian seadanya. Badan kurus kering, kaki bengkak-bengkak, dan perut buncit menjadi gambaran umum atas fisik mereka. Ada pula beberapa yang menderita busung lapar. Kondisi itu diceritakan ulang oleh Sugeng Wijono, seorang pegiat sejarah Banyumas. Ia dikenal banyak mengumpulkan foto berlatar Banyumas tempo dulu.

Rumah Administrator perkebunan karet di Krumput, Banyumas. Foto: Tropenmuseum.nl

Gudang pegadaian penuh. Masyarakat ramai-ramai menggadaikan barangnya agar tetap bisa makan. Nahas, tak banyak dari barang itu yang kembali ke tangan pemiliknya. Mereka tak mampu menebus barang yang digadaikan. Sementara itu, lahan pekerjaan di pabrik-pabrik dan perkebunan lenyap.

“Rakyat Banyumas jatuh miskin bersama-sama,” ungkap Wijono ditemui di rumahnya pada 10 Oktober 2018. Dalam kondisi itu, pilihan makanan tak banyak. Rakyat yang tak bisa membeli bahan makanan terpaksa mengonsumsi daun aras, bonggol pisang, gaber, hingga ampas ketela pohon.

Wijono memaparkan, kondisi demikian terjadi karena perekonomian HB melesu. Pemerintah kolonial menyadarkan pendapatan negara dari hasil ekspor bahan-bahan mentah sementara perekonomian dunia sedang terpuruk. Hal itu mengantarkan masyarakat pada kondisi yang sulit.

Guna mengurangi dampak Malaise, pemerintah kolonial membangun lumbung desa. Wijono berujar, hasil pertanian masyarakat disisihkan 10% untuk dimasukkan lumbung guna mengurangi dampak paceklik. Di samping itu, pemerintah juga menyediakan kebijakan Studiefonds berupa dana bantuan pendidikan.

Sementara itu, dibangun juga saluran irigasi, pembangkit listrik tenaga air, sebuah jembatan yang sekarang dikenal sebagai Jembatan Cindaga, dan mengadakan pengairan untuk Kawedanaan Kroya, Sumpiuh, dan Cilacap dari aliran Sungai Serayu.

Perlahan, dampak krisis mulai bisa ditekan. “Banyumas merupakan daerah pertama yang bisa mengatasi krisis,” ungkap Wijono.

Pada waktu itu, muncul juga kebijakan Pemerintah Kolonial untuk menggabungkan beberapa kabupaten di karesidenan yang sama. Alasannya, pemerintah tidak lagi mampu membiayai wilayah administratif yang terlalu banyak.

Banyumas termasuk karesidenan yang terimbas kebijakan tersebut. Karesidenan ini terdiri dari Kabupaten Majenang (Cilacap), Ajibarang (Purwokerto), Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Kabupaten Majenang dihapuskan, kemudian sebagian wilayahnya digabungkan dengan Ajibarang. Tersebab Ajibarang sering ditimpa bencana puting beliung, pusat pemerintahannya pun dipindah ke Purwokerto.

Wijono menambahkan, penghapusan diikuti penggabungan wilayah itu tidak ada hubungannya dengan krisis ekonomi yang terjadi. Menurutnya, itu hanya menyoal efisiensi penggunaan dana pemerintah.

Ilustrasi: Helda Puspitasari

Catatan Pribadi Bupati Gandasubrata

Raden Sudjiman Martadiredja Gandasubrata tak bisa dibilang beruntung saat ia menjabat sebagai Bupati Banyumas. Ia mulai menjabat pada tahun-tahun di mana krisis ekonomi di AS mengobrak-abrik perekonomian dunia. Kala itu, kepemimpinan Sudjiman baru berusia 4 tahun. Ia menjabat sebagai bupati pada 1933—1950. Ia mencatat pengalaman-pengalamannya semasa menjadi bupati ke dalam sebuah memoar berjudul Kenang-kenangan 19331950.

Raden Sudjiman Martadiredja Gandasubrata tak bisa dibilang beruntung saat ia menjabat sebagai Bupati Banyumas. Ia mulai menjabat pada tahun-tahun di mana krisis ekonomi di AS mengobrakabrik perekonomian dunia. Kala itu, kepemimpinan Sudjiman baru berusia 4 tahun. Ia menjabat sebagai bupati pada 1933—1950. Ia mencatat pengalaman-pengalamannya semasa menjadi bupati ke dalam sebuah memoar berjudul Kenang-kenangan 19331950.

Pada masa kepemimpinannya, sejumlah kebijakan guna mengurangi dampak krisis diberlakukan. Di antaranya mendirikan rumah miskin di Kota Banyumas. Rumah miskin itu berlokasi di Jayengan—semacam tempat tinggal bagi para prajurit Jayengsekar di Karesidenan Banyumas.

Di situ, orang miskin dicukupi kebutuhan pangan, sandang, dan dibekali pengetahuan hidup sehat. Di samping itu, mereka yang menghuni rumah miskin juga dilatih membuat kerajinan alat rumah tangga yang dapat dijual. Hasil penjualan itu dijadikan milik bersama.

Hidup pada Zaman Malaise tak memberikan banyak pilihan. Akibatnya, selama periode 1934—1936, ribuan keluarga di Banyumas mengajukan permintaan untuk ditransmigrasikan ke luar Jawa. Daerah Lampung menjadi tujuan utama kala itu. Istilah yang digunakan adalah kolonisasi. Warga Dukuh Kalibening Desa Dawuhan bahkan mengajukan dipindah ke Lampung genap beserta perangkat pamong desa.

Beriringan dengan Malaise, jabatan wedana kota di Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara dihapuskan pada 1933. Beban kerjanya dikembalikan pada patih seperti sebelum 1926. Hal itu dimaksudkan guna menghemat anggaran. Penghapusan yang sama juga terjadi pada jabatan asisten wedana di ibu kota distrik.

Penghematan anggaran itu berlanjut pada 1 Januari 1936. Di Karesidenan Banyumas, Kabupaten Purwokerto dan Karanganyar dihapuskan. Melalui Besluit atau Surat Keputusan Nomor 3, tertanggal 31 Desember 1935, Kota Banyumas ditetapkan sebagai ibu kota karesidenan dan Kabupaten Banyumas.

Sejak itu, bekas wilayah Purwokerto sepenuhnya masuk wilayah Banyumas. Bekas wilayah Karanganyar dimasukkan ke Karesidenan Bagelen. Setahun kemudian, terjadi pemindahan pusat kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto. Dengan demikian, Karesidenan Banyumas membawahi empat kabupaten: Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara. Pembagian tersebut masih bertahan hingga kini.

Di Mata Sejarawan Banyumas

Beberapa saat menjelang Malaise, Pemerintah kolonial tercatat masih menarik pajak kepada rakyat dalam bentuk hasil bumi. Pilihannya dua: bahan mentah atau barang jadi. Untuk memudahkan urusan transportasi dan mobilisasi barang, dibangun rel kereta api Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) diikuti dibukanya pabrik-pabrik gula di sekitar Kabupaten Banyumas.

Pabrik Gula (PG) Kalibagor adalah pabrik tertua dan terbesar di Karesidenan Banyumas. Pabrik itu sudah berdiri bahkan sebelum rel kereta SDS dibangun. Di samping itu, pabrik gula lain itu meliputi PG Purwokerto, PG Bojong, dan PG Kalireja. Hasil produksinya diekspor ke Eropa. Demikian itu dikatakan sejarawan Prof. Sugeng Priyadi. Ia menulis beberapa literatur terkait Banyumas di antaranya Sejarah Kota Purwakerta dan Sejarah Kota Banyumas. Sembari menjadi peneliti sejarah, ia mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Pada saat krisis melanda, PG Purwokerto, Bojong, dan Kalireja ditutup karena tak bisa lagi beroperasi. Sementara itu, PG Kalibagor menjadi satu-satunya pabrik gula yang masih bisa bertahan di Banyumas. Pabrik gula itu baru setop berproduksi pada 1996 dan setahun berikutnya resmi ditutup.


Kereta Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) melayani kebutuhan transportasi produk pabrik gula. Foto: Tropenmuseum.nl

Tambaha Priyadi, wilayah Banyumas selain menghasilkan tebu juga menghasilkan komoditas pertanian indigo. Keberadaan pabrik indigo sampai sekarang tak terlacak sebab indigo tergolong bahan mentah dan hasil panennya langsung diekspor.

Menyoal upaya mengatasi krisis, Bupati Banyumas waktu itu, Sudjiman   Gandasubrata melakukan sejumlah usaha guna melakukan perbaikan kondisi. Di antaranya perbaikan irigasi untuk mengairi sawah, pembuatan bendungan-bendungan agar hasil bumi meningkat sehingga bencana kelaparan tidak terulang lagi. Priyadi memandang, pemborosan dana pemerintah menjadi alasan utama munculnya kebijakan penggabungan Kabupaten Banyumas dan Purwokerto pada 1935. Priyadi juga menyebutkan hal serupa juga terjadi di Karesidenan Bagelen yang sekarang lebih dikenal sebagai Kebumen. Kutoarjo tadinya adalah kabupaten tersendiri di bawah Karesidenan Bagelen. Belakangan, kabupaten itu dibubarkan dan wilayah bekasnya dileburkan dengan Kabupaten Purworejo.

Reporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Mukti Palupi, Muhammad Muflih Rizqullah, Aziz Dwi Apriyanto, Widya Marsepti Harista, dan Fahry Ammar Maulidian.

Editor: Emerald Magma Audha

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 36︱Maret 2019  Pada Rubrik Laporan Utama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *