
Oleh: Nurhidayat*

“Semua kemajuan di Indonesia itu dimotori oleh angkatan muda dan mahasiswa” – Pramoedya Ananta Toer
Mahasiswa pernah menjadi garda utama perubahan keadaan bangsa Indonesia. Beberapa pencapaian mahasiswa—bersama pelajar, buruh, dan komponen pemuda yang lain—yang pada tahun 1908 melahirkan Boedi Utomo, 1928 melahirkan Sumpah Pemuda, 1945 menculik Soekarno guna mempercepat proklamasi kemerdekaan NKRI, 1974 melawan isu korupsi, dan akhirnya pada 1998 menurunkan Soeharto sekaligus melahirkan reformasi. Meski menurut Pramoedya Ananta Toer, dalam sebuah wawancara, gerakan 1998 gagal menciptakan people power karena tidak bisa menarik angkatan bersenjata untuk bergabung (contoh baiknya ada di Filipina), nyatanya kekuatan yang dibangun bisa meruntuhkan kekuasaan yang sudah tertanam kukuh sepanjang lebih dari tiga dekade. Gerakan yang saya sebutkan terakhir, ada dan besar karena krisis moneter yang semakin parah, selain karena adanya proses normalisasi kampus semenjak awal 90-an yang membuat mahasiswa jengah. Juga perlu dicatat dengan cermat bahwa beberapa di antara keberhasilan menyebabkan ceceran darah dan lenyapnya nyawa.
Itulah beberapa bukti empiris yang selalu diagung-agungkan mahasiswa ketika memberikan wejangan kepada adik kelas yang baru masuk. Jelas, yang bicara sekalipun tak pernah merasakan masa-masa itu. Hanya saja, mahasiswa tetaplah mahasiswa. Gerakan itu adalah gerakan mahasiswa. Semua yang berstatus mahasiswa berusaha dibawa kepada nuansa kekuatan. Penanaman pemahaman bahwa mereka adalah sebuah komunitas besar yang seharusnya tetap garang melawan ketidakadilan, selalu dipupuk. Intinya, mahasiswa ingin selalu diberi label “agen perubahan” dan “iron stock” untuk bangsa ini.
Namun, apa daya? Mahasiswa pasca-1998 tak punya lagi apa yang dinamakan semangat zaman. Tak ada musuh, tak ada tantangan, selain tantangan guna demitosisasi fungsi dan peranan dalam tatanan kehidupan berbangsa. Tak ada larangan berorganisasi dengan beraneka ideologi, meski akhir-akhir ini muncul beberapa. Namun, yang sedang dilarang bukanlah organisasi yang kritis pada kesengsaraan rakyat, melainkan sebatas karena intoleransi dan isu makar. Mahasiswa yang menulis lalu diberedel juga akan selalu dibela.
Sayang, sepertinya mahasiswa telah kehilangan arah dan tujuan dalam proses pengembalian kepercayaan itu. Daya tawar sudah tak ada karena mahasiswa tak sanggup lagi meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah sosok agen perubahan. Akhirnya, sebagian besar mahasiswa menjadi sekadar penyandang status akademik kosong. Cukup tinggal di ruang kuliah dan kosan, yang penting IPK tinggi, lulus cepat, dan segera kerja. Tak terlihat lagi keringat perjuangan mahasiswa sebagai penggagas perubahan. Hal ini yang akan membuat, tanpa bunuh diri sekalian pun, kelas mahasiswa sebagai agen perubahan perlahan mati. Memang tak semua, ini kecenderungan saja.
Lalu siapa yang salah? Menurut saya nihil. Mahasiswa adalah korban dari perjalanan reformasi. Hanya mahasiswa yang ikut reformasilah yang merasakan reformasi. Mahasiswa sesudahnya tak begitu terpakai. Contohnya: pers mahasiswa kini tak laku dibaca. Media alternatif bernama pers mahasiswa kini kembang kempis, beberapa harus berjualan gorengan untuk sekadar bisa mencetak buletin 12 halaman. Juga demonstrasi mahasiswa yang kini pun hanya menjadi sekadar proker, tak sedikit berupa titipan. Kebijakan-kebijakan politik mahasiswa sangat tertebak. Gerak mahasiswa hampir tak pernah lagi menghiasi laman pertama media massa nasional, tidak memiliki nilai jual. Tulisan mahasiswa pun akan sulit sekali menembus relung pemikiran di opini atau kolom koran nasional. Tidak ada ruang yang disediakan kecuali kolom-kolom tulisan klise tanpa esensi yang benar-benar.
Pemerintah atau siapapun sekarang, juga tak begitu takut kepada opini mahasiswa yang memang sudah tak sekuat dahulu. Kini, ketika gerak mahasiswa sangat leluasa, harusnya banyak yang harus dikerjakan. Namun, bentuk konsolidasi gerakan mahasiswa seringkali tidak logis dan terburu-buru. Sedikit-sedikit ingin menurunkan presiden. Yang berdemo pun kelompok-kelompok itu saja. Kelompok yang cenderung kritis dan dialektis sekarang justru terserang penyakit konflik intern, meskipun konflik yang konstruktif lebih baik ketimbang hegemoni ketokohan.
Meski jika suatu saat negara dalam keadaan mendesak, mahasiswa harus kembali memadati jalan, menunjukkan suara, keringat, dan perjuangan, semuanya harus dengan strategi yang matang. Gerak mahasiswa harus melihat keadaan, bukan sekadar mengada-ada. Tentu saja jika cara-cara seperti sekarang masih dipertahankan, akan kurang efektif untuk meyakinkan publik, terlalu gegabah. Dan media, tentu saja tak akan benar-benar memberi ruang untuk aksi tendensius yang dilakukan tanpa mewakili seluruh elemen mahasiswa alias hanya kelompok tertentu.
Meski mengaku lepas dari belenggu senior yang kini jadi politisi, mereka tak terkesan independen. Namun, apa yang dimiliki mahasiswa saat ini ketika mereka tak punya daya tawar? Idealisme mereka pun kini tak sanggup mencegah sikap koruptif, bahkan dari hal paling sederhana, tak banyak yang jujur di ruang kelas. Tentu jika kita melihat mahasiswa sebagai representasi pemuda, petuah Tan Malaka, pahlawan perjuangan kemerdekaan kita, masih berlaku. “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda,” katanya. Lalu, dengan apa lagi mereka berjuang jika idealisme yang paling sederhana saja sudah langka?
Mahasiswa saat ini harus mulai demitosisasi fungsi dan peranan dengan mengubah pola perjuangan, harus bersabar dan jangan gegabah. Mulailah dari hal kecil untuk meyakinkan bangsa ini bahwa mahasiswa adalah penerus bangsa yang seharusnya dipercaya. Caranya bagaimana? Usul saya, mahasiswa harus memulai merubah tatanan masyarakat kita yang koruptif dengan memberikan contoh, mulai dari kelas. Lalu, buatlah tulisan dan lakukan aksi-aksi damai yang menginspirasi. Hindari cara-cara lama dalam menggalang dana, juga beretikalah ketika melakukan tindakan apapun. Dengan perubahan pola tersebut, saya kira marwah mahasiswa akan kembali hidup, dengan versi lain, menjawab tuntutan demitosisasi peran dan fungsi mahasiswa. Semua langkah bangsa ini ada di dalam pemikiran dan tindakan angkatan pemuda, terutama mahasiswa.
Dan ada satu hal lain yang menjadi tugas mahasiswa dalam mengendalikan kemerdekaan warisan leluhur: pendidikan politik. Demokrasi yang hancur adalah demokrasi yang tanpa adanya pendidikan politik dalam masyarakatnya. Lihatlah apa yang menjadi masalah di sana? Lihatlah ketika antarpaham saling mencaci, yang seagama mulai saling mengkafirkan, apalagi yang beda. Sesama miskin saling menyerang demi yang kaya dan agung. Rasio gini seperti layang-layang terkena angin barat, membumbung jauh menuju surga. Di mana-mana berjualan dua hal yang tetap laku sampai sekarang: uang dan agama. Pendidikan politik adalah salah satu kunci dan penggeraknya adalah kita, yang tumbuh bersama teknologi informasi.
Nah, bisakah mahasiswa diharapkan untuk menjadi pendidik politik di desa-desa, kampung-kampung, kota-kota, dan pusat-pusat peradaban korup yang lain, ketika mereka masih menganggap bahwa kampus adalah menara gading: tempat suci untuk memuja-muja dan menyembah-nyembah nilai dan gelar akademik secara buta?
*NURHIDAYAT Aktif dalam LPM Skëtsa, menulis beberapa esai dan cerita pendek, serta puisi ringkas
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Opini.