Oleh: Emerald Magma Audha*
Seperti Émile Zola yang sedang tercekik, ketika karbon monoksida mulai menyesaki rongga paru-parunya, itulah yang sedang saya rasakan. Bedanya, otak saya yang tercekik, berbagai macam pikiran menyesaki. Saya tengah mencari sesuatu, lebih benar, tepekur. Dalam proses itu, sekelebat, ada yang merentas di rongga pikiran. Itulah ingatan. Saya jadi terkenang pada obrolan dengan kawan sejawat saya—kawan di lembaga Skëtsa, bercerita tentang angan masing-masing. Ada yang berangan besar seolah bernafsu pretensi, ada pula yang angannya penuh hal utopis sekalipun. Bahkan, angan tentang lembaga ini, lembaga yang sedang saya kulum amanahnya. Layar lembaga ini mau dikembangkan ke arah mana? Akan seperti apa jadinya? Agaknya seperti itu. Hasilnya, dari perembukan itu, ada beberapa pengandaian yang sama-sama kami amini, khususnya tentang angan untuk lembaga ini. Bolehlah saya sedikit berbagi tentang itu. Baiklah. Jadi, begini…
***
Perihal angan atau mimpi atau cita atau apalah, apapun sebutannya, memiliki kekuatan sendiri. Semacam daya untuk menggerakkan daging manusia. Menggerakkan manusia untuk berlaku. Berlaku untuk terus menyempitkan ruang antara status quo dan harapannya. Setiap anak Adam berhak berangan. Itu adalah manusiawi. Namun, tidak saban orang bernyali untuk berangan besar, lantaran takut gagal. Bahkan, ada kekhawatiran dalam diri Edgar Allan Poe—tersurat dari karyanya yang berjudul The Raven—yang membayangkan jikalau nanti tak ada lagi manusia yang berani bermimpi.
Angan itu beraneka rupa. Ada angan yang remeh, angan yang sekadar bayangan. Ada angan yang cukup realistis untuk direngkuh. Atau, angan besar yang penuh hal utopis yang kiranya bertele. Sampai angan yang busuk sekalipun, ada. Dari berupa-rupa angan tersebut, kiranya seperti ini angan yang kami dambakan untuk lembaga ini—juga pers mahasiswa.
Kami berangan, suatu saat, Skëtsa sebagai lembaga pers mahasiswa (persma), bisa terlepas dari kungkungan kampus— Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), tidak lagi terikat dengan rektorat sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unsoed, melainkan berdiri secara berdikari. Berdikari secara utuh dalam hal pendanaan, tidak lagi dibebani dana dari rektorat, agar bisa lepas dari jerat birokrat. Tidak lagi bergelantung pada ruang sekretariat yang luasnya sekira 7×4 meter. Legalitas lembaga tidak lagi hanya berlandaskan SK Rektor. Semua itu bukan tanpa esensi, melainkan demi Skëtsa agar bisa menjadi lembaga pers yang lebih independen dalam segala hal.
Ya, kami mendamba Skëtsa bisa keluar dari Unsoed, menjadikan Skëtsa sebagai badan usaha penerbitan pers mahasiswa yang berbadan hukum. Untuk apa? Agar posisi Skëtsa menjadi lebih layak untuk diwajibkan menaati kode etik dan UU Pers (40/1999). Itu bila mengikuti perspektif Dewan Pers dalam menyikapi status persma. Menjadi lembaga yang berbadan hukum untuk melakoni kegiatan pers adalah pilihan paling logis bagi kami, bagi persma, jika persma ingin diakui Dewan Pers dan dilindungi UU Pers. Dan yang terpenting, persma—yang saat ini statusnya masih “lemah”—jadi lebih dilindungi dari beraneka macam ancaman misalnya upaya pemberedelan, seperti yang sudah dialami oleh banyak persma sewaktu “kemarin”.1 Kenapa? Sebab bagi mereka, persma seperti kami baru bisa menikmati buah UU Pers bilamana persma memenuhi syarat sebagai perusahaan pers, yakni berbadan hukum. Barangkali aroma dari manisnya buah UU Pers pun tidak bisa kami hirup, meski kami selalu berusaha memenuhi kode etik jurnalistik dan UU Pers dalam hal pemberitaan sekalipun. Menjadi badan hukum adalah pilihan terakhir yang mau tidak mau harus dicapai persma, jika apa yang tertuang dalam UU Pers soal syarat perusahaan berbadan hukum tidak ditiadakan.
Lalu, mempunyai gedung milik kami sendiri, agar tidak lagi menumpang di ruang sekretariat milik kampus itu, juga kami angankan. Gedung yang bukan cuma untuk menggaya supaya pantas disebut kantor redaksi. Karena memang butuh lebih dari sekadar ruangan 28 meter2 untuk melakoni kegiatan pers. Paling tidak, biar tidak sesak untuk rapat.
Kami juga memimpikan, Skëtsa yang telah menjadi badan usaha, mampu “menggaji” wartawannya. Ketika para awak melakukan pekerjaan dengan baik, paling mentok mereka hanya mendapat reward berupa pujian untuk menukar segala peluh yang menetes. Kami ingin melakukan lebih dari itu. Sudah sepantasnya bagi yang bekerja serius, mau belajar dengan sungguh, atas peluhnya, patut diganti dengan penghargaan yang selayak mungkin. Nilai humanisme yang dianut lembaga ini akan jadi lebih terasa, dalam hal ini, memanusiakan para awaknya.
Benar, kami belum puas dengan keadaan lembaga yang sekarang, yang penuh serba keterbatasan. Ruang yang terbatas, dana yang terbatas, awak yang terbatas pula, fasilitas yang kurang, bahkan sebuah kamera pun kami tak punya! Tidak hanya lembaga kami saja, banyak UKM lain di Unsoed pun dalam keadaan serupa, yang paling kentara: krisis keanggotaan. Apalagi krisis keanggotaan itu akan makin parah jika draf Peraturan Rektor tentang Tata Laksana dan Organisasi Kemahasiswaan tetap ngotot diberlakukan—meski banyak penolakan dari pegiat UKM.2 Bisa dibayangkan, geliat kegiatan mahasiswa jelas akan makin lesu. Lambat laun kerontang, dan akhirnya mati layu.
Dengan segala keterbatasan itu, tidak lantas jadi kewajaran bagi kami untuk menurunkan standar kualitas pemberitaan. Kami tetap berusaha menjaga bahkan meninggikan standar pemberitaan kami.
Ya, kami belum puas dengan keadaan yang sekarang. Itu bukan berarti tidak bersyukur atas apa yang telah kami punyai, ataupun mengeluh. Bila makna syukur adalah menjadikan diam lantas tidak berbuat apapun untuk mengubah agar keadaan lebih baik lagi, bukankah itulah kufur yang sesungguhnya?
Namun, tentu saja bukan sebatas berangan, beragam siasat ataupun macam cara sedang kami usahakan untuk mencapai itu. Mungkin dengan lebih memperkencang pencarian iklan dan usaha lainnya, lalu hasilnya ditabung sedikit-sedikit. Atau, yang lainnya. Siapa tahu, pada suatu masa, kelak Skëtsa bisa mencapai angan-angan tadi. Kemudian esensi lembaga ini sebagai media yang menjalankan fungsi jurnalistik, lebih terejawantahkan lagi.
Soal alasan kami berangan untuk keluar dari Unsoed? Tentu yang paling utama agar kami lebih leluasa dalam melakoni kerja jurnalistik. Kami pun juga punya angan yang mesti diraih, sebelum keluar dari Unsoed. Seperti, mampu mencerdaskan sivitas akademika Unsoed dengan laporan jurnalistik kami. Lalu, berusaha mengidealkan kondisi lingkungan kampus, seperti mendorong birokrat pengelola Unsoed menuju ke arah yang selalu dinantikan: Transparansi Perguruan Tinggi3—yang saat ini masih jauh dari frasa itu. Kemudian, berusaha menjadikan persma sebagai laboratorium ideal yang berperan menempa “generasi penerus pers nasional” di masa kelak.
Sepertinya, angan tadi itu, kelewat utopis, ya? Ya, mungkin ada benarnya, mungkin juga tidak. Kendati itu terkesan terlampau utopis, tetapi, bukankah hal yang utopis sekalipun, bila itu baik, tak masalah?
Banyak hal besar yang pernah terjadi, berasal dari orang-orang yang menghasratkan angan yang utopis sekalipun. Dulu, sebelum Neil Amstrong berjaya menapaki muka bulan, mengangankan bisa pergi ke bulan merupakan bualan konyol. Sekarang? Lalu, mungkin juga Indonesia tak kan pernah ada jikalau para pejuang terdahulu tak pernah memimpikan Indonesia merdeka. Mereka-mereka yang menciptakan sejarah itu, mereka mengawalinya dari angan besar. Orang hidup boleh berangan apapun. Namun, jangan sampai hidup diperbudak angan.
Menilik masa lalu, apa yang dilakukan Skëtsa, bermula dari sebuah angan, mimpi. Dari situ, kami yang melanjutkan cita para pendahulu sampai sekarang. Tentu saja cita itu bukan tanpa ada kebaruan.
Dalam perjalanannya pula, banyak hal yang telah Skëtsa lakukan, berakar dari angan. Angan-angan yang gila, bermacam ide terliar pun disuarakan. Banyak pencapaian yang dituai, berawal dari angan. Tidak, pencapaian yang kami maksud bukan sekadar pencapaian seperti membanggakan piala kosong atau menjuarai perlombaan. Tidak sesederhana itu. Segala hal yang kami lakukan, kami anggap berhasil, manakala apa yang kami hasilkan bisa berguna bagi orang banyak. Dalam hal ini, salah satunya, selalu mencipta produk jurnalistik yang bermutu—dan tentu saja sesuai kaidah jurnalistik yang baik, agar masyarakat bisa tercerahkan setelah melahap sajian kami.
Hingga kini, Skëtsa terus hidup bersama angan-angan besarnya. Dan selalu mengejar itu. Jika tidak, bila sekadar hidup tanpa angan, hidup akan terasa boyak. Lalu, tinggal merawatnya dan tak lelah untuk menyawainya, agar tidak hilang ditelan lupa.
Purwokerto, 26 Juni 2017
*Emerald Magma Audha adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi LPM Skëtsa 2017.
Catatan kaki:
1 Lihat tulisan Nurhidayat, “Lemahnya Pers Mahasiswa”, dalam Majalah Skëtsa Edisi 33 Tahun XXVII Januari 2016 pada Rubrik Analisis.
2 Lihat Laporan Utama, “Balada Jam Malam Unsoed”, dalam Majalah Skëtsa Edisi 34 Tahun XXVIII April 2017.
3 Baca Majalah Skëtsa Edisi 33 Tahun XXVII Januari 2016 bertema “Transparansi Perguruan Tinggi”.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Kesketsaan.