Seperti Membersihkan Cendawan di Musim Hujan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata bijak sebagai selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. Kata bijak artinya menggunakan segenap akal budi dalam laku hidup. Dalam berpikir maupun bertindak. Bijak melahirkan kata kebijakan. Kebijakan butuh kebijaksanaan.

Selang 25 hari usai pelantikan, Rektor Unsoed Suwarto meneken peraturan yang mengejutkan mahasiswa. Peraturan Rektor (PR) Unsoed bernomor KEPT. 945/UN23/PP.01.00/2018  melegalkan Unsoed menarik dana dari mahasiswa baru jalur mandiri dalam bentuk penarikan Uang Pangkal (UP). Besaran yang sudah ditentukan terdiri dari empat kelompok, dengan sertaan kelompok kelima yang bebas diisi nominalnya. Rektor mensyarahkan bahwa besaran UP didasarkan pada kesanggupan mahasiswa.

Baca laporan “Setelah Uang Pangkal Berlaku

Di sinilah arti bijak itu dipertanyakan. Mahasiswa menilai besaran UP tidak ramah pada konteks kondisi ekonomi yang berlaku. Muncul juga dugaan PR itu cacat hukum. Di pihak lain, Rektor beralasan penerapan UP untuk meningkatkan sarana-prasarana, aktivitas pembelajaran, dan kegiatan mahasiswa. Nominal UP berbeda tiap fakultas. Besarannya ditentukan dengan pertimbangan dekan. Itu karena kebutuhan terkait sarana-prasarana di masing-masing fakultas berbeda.

Dalam aksi menolak UP (12/7) di muka Gedung Rektorat Unsoed, mahasiswa menuntut dua hal. Pertama, pencabutan PR terkait UP. Kedua, mendorong terciptanya transparansi anggaran Unsoed.

Jika memang kebijakan UP tidak bisa tidak diberlakukan, tentu pimpinan mesti turut menimbang kembali filosofi pendirian Unsoed itu sendiri. Unsoed pada awal berdirinya dimaksudkan untuk memperluas akses pendidikan masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang waktu itu didominasi kaum petani. Kalau prinsip ini tak lagi diacuhkan, tentu muncul pertanyaan besar. Ditujukan kepada siapa pendidikan tinggi di Unsoed?

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada mulanya diterapkan dengan maksud agar tidak ada pungutan lain di luar UKT dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi. Seluruh pembiayaan dicakup dalam satu tagihan. Dengan adanya UP, makna ketunggalan biaya itu cedera. Kemenristekdikti dalam hal ini menjadi inkonsisten terhadap kebijakannya sendiri dengan membolehkan PTN memungut biaya pendidikan di luar UKT.

Ilustrasi: Yoga Iswara Rudita Muhammad

Sejauh pantauan lembaga pers ini, mayoritas perwakilan mahasiswa di fakultas-fakultas cenderung menolak Uang Pangkal. Namun, ada pula perwakilan mahasiswa fakultas yang menyetujui Uang Pangkal diberlakukan. Aksi menentang UP vokal digemakan. Di sisi lain, narasi berupa dukungan terhadap UP tidak nyaring bunyinya.

Kecenderungan aksi menolak Uang Pangkal pada 2016 dan 2018 menunjukkan pola serupa. Tuntutannya sama: pencabutan peraturan rektor yang melegalkan UP. Namun begitu, tidak muncul tuntutan untuk pencabutan peraturan di atasnya yaitu Permenristekdikti yang menjadi dasar lahirnya peraturan rektor tentang UP.

Kalau hal semacam ini terus dibiarkan, mahasiswa hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Mendapat lelah tetapi belum tentu mendapat hasil. Kalaupun hasilnya ada, mestilah cuma sementara. Misalnya, Aksi Tolak Uang Pangkal 2016. Aksi itu tak ubahnya membersihkan cendawan pada musim hujan. Usai aksi, SK Uang Pangkal memang dicabut. Namun, setelah aksi itu, tak ada gerakan mahasiswa menyinggung peraturan di atasnya yang berupa Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016. Pasca-Aksi 12 Juli kemarin, UP di Unsoed masih berlaku.

Alih-alih menuntut pihak kampus, mahasiswa lebih perlu mengkritik Kemenristekdikti. Mahasiswa perlu menggalang kekuatan berskala nasional untuk mencabut Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 kepada Menteri yang mengesahkannya. Peraturan itu menjadi landasan hukum sistem pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia yang memungkinkan adanya penarikan Uang Pangkal oleh PTN. Mungkin tidak mudah. Tetapi, kalau permasalahan ini dianggap serius, tentu gerakan harus segera diinisiasi.

Sistem UKT pada mulanya diterapkan agar tidak ada pungutan lain di luar UKT. Dengan adanya Uang Pangkal, makna ketunggalan biaya itu cedera.

Terlepas dari bagaimana akhirnya kebijakan Uang Pangkal di Unsoed, penerapannya sekarang ini wajib dikawal. Kita mendamba pelayanan publik yang lebih transparan. Kita mendamba pelayan publik yang lebih terbuka. Kalau hal ini muncul dari kesadaran institusi, maka sudah saatnya kata keterbukaan itu boleh digaungkan ke mana-mana. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan setiap badan publik untuk berlaku transparan dalam kerjanya.

Masyarakat berhak mengakses informasi dari badan publik dengan perkecualian informasi yang dapat membahayakan negara, informasi berkaitan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat, menyinggung hak-hak pribadi, rahasia jabatan, dan informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. Informasi penggunaan anggaran Unsoed sama sekali tidak masuk perkecualian itu sehingga tidak ada alasan menutupinya dari publik.

Transparansi bagi Unsoed tak ubahnya pil pahit yang mesti ditelan. Pada awalnya, barangkali tidak mengenakkan, namun ia bisa membantu penyehatan. Rektor mesti menyadari kalau penyakit birokrasi bisa muncul salah satunya karena intransparansi. Obatnya tentu saja transparansi. Transparansi barangkali bukan panasea, tetapi ia bisa meringankan gejala sakit birokrasi yang terus-terusan muncul.

Yoga Iswara Rudita Muhammad – Pemimpin Redaksi

 

 

Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah sikap Redaksi LPM Skëtsa. Pembaca yang cerdas harus paham jika pers boleh dan harus berpihak pada situasi tertentu. Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi 35 | Agustus 2018 bertema “Setelah Uang Pangkal Berlaku” pada Rubrik Editorial.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *