Lautan Plastik, Gunung Sampah

Oleh: Aziz Dwi Apriyanto*
Ilustrasi: Reza Yahya

Persoalan sampah me­manglah hal yang klise. Meski begitu, masalah sampah masih saja menjadi polemik di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Sampah “menyebar” di daratan, menumpuk, lalu menjadi gunungan-gunungan sampah yang menjulang tinggi di setiap peradaban manusia. Sampah yang tak terkelola dengan baik, menghasilkan aroma tak sedap dan jadi sarang berkumpulnya bibit penyakit, juga berbagai lain ma­salah. Masalah sampah bukan hanya di daratan, namun tak sedikit sampah yang “berlayar” di lautan. Sadar atau tidak, Indonesia menempati urutan kedua sebagai penyumbang sampah plastik lautan terbesar di dunia setelah China, sedangkan urutan ke­tiga ditempati Filipina. Prestasi luar biasa miris yang “sukses” diraih Indo­nesia. Itu berdasarkan hasil penelitian Jenna Jambeck—peneliti asal Universi­tas Georgia, Amerika Serikat. Hal sema­cam ini harus ditanggapi dengan serius mengingat sampah plastik adalah sampah yang sulit terurai.

Masalah sampah seakan menjadi PR bersama tiap negara. Banyak yang mengeluhkan besarnya volume sampah yang makin hari makin meruah. Be­lum lagi sampah yang berserakan tak karuan, sampah yang dibuang sem­barang. Mungkin di beberapa negara, budaya buang sampah sembarangan sudah bisa dikikis, tetapi belum dengan negeri kita. Budaya buang sampah sem­barangan yang tanpa berpikir panjang akibat darinya masih sering dijumpai. Dengan santainya, masyarakat—barang­kali termasuk kita—membuang sampah seenaknya. Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya terasa masih jauh dari harapan. 

Tak Terbendung

Bahkan, ada pelesetan pepatah untuk menggambarkan fenomena perilaku manusia yang berbunyi demikian, “Gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya, sementara manusia mati meninggalkan sampahnya”. Pelesetan ini mungkin akan tetap relevan sampai kapanpun, melihat kondisi manusia yang selalu mempro­duksi limbah sampah. Populasi manusia yang selalu bertambah akan berdampak pula pada produksi sampah yang terus menjulang. Akhirnya, sampah-sampah itu menggunung tinggi di Tempat Pem­buangan Akhir (TPA) tanpa ada pengo­lahan yang layak.

Menengok infografik tirto.id, pada tahun 2015, volume sampah di Indone­sia mencapai kisaran 175.000 ton/hari atau 64 juta ton/tahun. Sebelumnya, pada tahun 2010, berdasarkan riset ko­munitas pecinta lingkungan, Greenera­tion Indonesia, di kota-kota besar, satu orang rata-rata menggunakan kantong plastik sebanyak 700 buah per tahunnya.

Sampah plastik di lautan juga menjadi problem bersama. Terlebih, Indonesia adalah negara kepulau­an yang diapit lautan luas dari dua samudera. Asal muasal sampah plas­tik di lautan itu jelas, dari sampah yang mengalir di sungai, kemudian ber­muara di pantai, lalu bergerak mengi­kuti arus laut. Kebiasaan masyarakat pesisir yang membuang sampah langsung di bibir pantai juga menja­di sorotan. Belum lagi nelayan dan kapal-kapal yang membuang sampah ke laut. Menteri Kelautan dan Peri­kanan, Susi Pudjiastuti, dalam kun­jungannya di Kolaka, Sulawesi Teng­gara, meminta kepada masyarakat setempat untuk turut menjaga ekosistem laut, dengan tidak mem­buang plastik dan menggunakan bom ikan. Persoalan sampah di laut memang sangat serius. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jenna Jambeck, menunjukkan bahwa pada tahun 2010, 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik diproduksi oleh 192 negara di seluruh dunia. Dari esti­masi tersebut, sekitar 4,8-12,7 juta MT sampah mengalir ke lautan lepas. In­donesia sendiri “sukses” menyumbang sampah plastik ke lautan sebanyak 3,2 juta metrik ton (MT).

Biang Persoalan

Biang persoalan paling utama ada­lah buruknya kesadaran masyarakat akan arti penting membuang sampah pada tempatnya. Ketika kita bandingkan dengan orang luar negeri, misalnya orang Jepang, mereka akan sangat malu apabi­la kedapatan membuang sampah sem­barangan. Mereka selalu membiasakan mengantongi sampah mereka sambil mencari-cari tong sampah, baru kemu­dian mereka membuangnya ke tempat sampah. Beda dengan orang Indonesia, ketika barang yang digenggamnya ting­gallah sampah, mudah ditebak, mereka segera membuangnya tanpa peduli ada tempat sampah atau tidak. Tanpa pikir, malu, atau merasa berdosa.

Kemudian, persoalan selanjutnya adalah kurangnya ketersediaan tempat sampah. Banyak sekali ruang terbuka yang kekurangan tempat sampah. Per­bandingan antara luas suatu wilayah tidak sebanding dengan bak sampah yang disediakan. Hal ini menimbulkan sampah berserakan di setiap sudut kota, di jalanan, di pusat perekonomian, dan di manapun. Kondisi demikian barangka­li bisa dijadikan dalih pembenaran bagi masyarakat yang membuang sampah di sembarang tempat.

Pengolahan sampah yang buruk juga memperparah keadaan. Dimulai dari pemilahan sampah organik dan anorganik yang buruk. Usaha warga un­tuk memisahkan antara sampah organik maupun anorganik dirasa sia-sia lantaran petugas pengangkut sampah langsung memasukkan kedua jenis sampah itu ke dalam tempat yang sama (truk atau gerobak sampah). Setelah itu, sampah dibawa ke TPA setempat. Percuma warga mengelompokkan sampah tersebut, jika akhirnya sampah itu sama saja tercam­pur. Hal ini pula yang mempersulit proses pemilahan sampah.

Mengurai Benang Kusut

Negara maju seperti Singapu­ra telah memberlakukan larangan ketat bagi warganya yang membuang sampah sembarangan. Ada denda yang tinggi bagi warga yang melanggar atur­an tersebut. Penegakan aturan di sana juga efektif dan tegas. Di Indonesia se­benarnya juga sudah ada beberapa pera­turan terkait larangan semacam denda di Singapura (umumnya berupa Perda). Namun, soal penegakan aturan di In­donesia masih buruk. Selain itu, upaya penyadaran kepada masyarakat tentang dampak baik dan buruk sampah, ser­ta cara pengelolaan sampah yang baik melalui sosialisasi harus masif digalak­kan. Pengefektifan pengolahan sampah dan limbah secara terpadu juga harus terus diperbaiki.

Dalam hal kontrol sampah, menurut saya ada beberapa tahapan yang per­lu dilakukan guna mencapai Indonesia yang berhasil mengolah sampah. Secara sistematis saya akan menguraikannya dari poin ke poin. Pertama, perlunya penam­bahan tempat sampah yang jumlahnya proporsional disesuaikan dengan luas tempat dan kepadatan penduduk. Lalu, sebar tempat sampah itu di setiap titik tempat. Perbanyak tempat sampah di titik yang banyak dilalui orang. Setiap ru­mah juga harus mempunyai bak sampah sendiri. Catatan, semua bak sampah su­dah menyediakan tempat untuk sampah organik maupun anorganik. Kedua, petugas pengangkut harus mengangkut sampah sesuai dengan pengelompokan­nya. Karena itu perlu alat pengangkut sampah yang punya wadah sampah ter­pisah, agar tidak tercampur. Tidak boleh dicampur karena akan mempersulit proses pemilahan sampah.

Ketiga, tahap selanjutnya yaitu pemindahan ke tempat pengolahan sampah. Di sini, sampah organik dan anorganik ditempatkan di wadah yang berbeda. Sampah organik yang ter­kumpul kemudian bisa diolah menjadi kompos atau briket sebagai pengganti arang kayu bakar. Atau, bisa diolah men­jadi barang yang bernilai guna lainnya. Sampah anorganik dikelompokkan lagi menjadi beberapa kelompok sesuai ba­han bakunya seperti dari kaca, plastik, karet, dan lainnya. Sampah plastik bisa didaur ulang jadi plastik lagi. Bekas-bekas kaleng pun, masih bisa didaur ulang dengan dicacah dijadikan partikel yang paling kecil, kemudian dilebur dan dice­tak menjadi kaleng lagi. Limbah kain perca juga bisa dimanfaatkan kembali menjadi keset yang berguna.

Setiap kecamatan saya kira harus mempunyai minimal satu tempat pengo­lahan sampah sendiri yang diolah secara mandiri. Hasil pengolahan sampah nan­tinya dikembalikan ke masyarakat lagi, misal, pupuk kompos yang terkumpul bisa dimanfaaatkan untuk menyuburkan lahan pertanian di wilayah itu. Hasil pengumpulan sampah plastik bisa dijual kembali ke pabrik pembuatan plastik yang nantinya menambah pemasukan kecamatan. Begitu juga sampah yang lain. Sehingga sampah yang semula tak bernilai, sekarang bernilai guna juga ekonomis. Secara langsung kuantitas sampah yang nanti dibawa ke TPA pasti berkurang, karena hanya sisa-sisa saja yang kemudian diangkut ke TPA.

Membaca laman The Times of In­dia, saya banyak menemukan artikel ter­kait pemanfaatan limbah sampah. Yang mengejutkan, adalah sampah plastik di­sulap menjadi pengganti aspal sebagai bahan baku pembuatan jalan. Ternyata, di India, sudah banyak jalan raya yang terbuat dari sampah plastik. Mengutip laporan di laman The Guardian, Jalan Jambulingam, Chennai, merupakan jalan plastik yang pertama kali dibuat di India, dibuat pada tahun 2002. Kabarnya juga, pemerintah Indonesia akan mempertim­bangkan pemanfaatan sampah plastik sebagai bahan baku jalan raya. Semoga saja benar, karena ini merupakan pe­manfaatan sampah yang tepat guna.

Tirto.id pernah melaporkan, menurut klaim pemerintah, hasil uji coba kantong plastik berbayar tahun lalu mampu menurunkan penggunaan plas­tik hingga 82,90%. Kalau memang benar, program ini pun bisa segera diberlaku­kan, asal payung hukum diperjelas. Se­mentara, pemakaian bioplastik seperti plastik berbahan dasar singkong pun bisa menjadi alternatif pengganti plastik ber­bahan polyethylene, karena lebih ramah lingkungan. Laporan BBC Indonesia juga menyebutkan bahwa Pemerintah Indo­nesia sedang dalam usaha untuk mengu­rangi sampah plastik di lautan sebanyak 70% hingga tahun 2025.

Ikhtiar Bersama

Sampah bukanlah masalah kecil dan sepele. Sampah adalah masalah besar yang sebenarnya bisa kita pikul bersama. Maka perlu langkah konkret dan menyeluruh dari semua elemen masyarakat untuk menuntaskannya. Saya berharap setiap masyarakat sadar benar persoalan sampah serta bersedia mewu­judkan kehidupan yang sehat dan bersih. Masalah sampah, masalah dunia. Ke­baikan peradaban manusia akan dinilai dari cara ia memperlakukan bumi yang dipijaknya. Maka dari itu, perlu menja­ga keasrian bumi, pengolahan limbah sampah lah salah satunya. Sekali lagi, demi anak cucu kita, demi peradaban yang lebih baik. Mari, tebang gunung sampah, kuras lautan plastik!

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2015.

Editor: Emerald Magma Audha

Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 35 Tahun XXIX Oktober 2017 bertema “Meraba Pemilihan Rektor” pada Rubrik Opini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *