Kepala Ayam

Oleh: Wika G. Wulandari

Ilustrasi: Ari Mai Masturoh
Ilustrasi: Ari Mai Masturoh

Di jalanan itu kepala-kepala menunduk menatap lekat benda mungil serba bisa. Lewat layar yang tak pernah redup, mereka berharap bisa menemukan sesuatu untuk menyudutkan pemerintah. Di balik jendela berbingkai cokelat aku selalu memperhatikan mereka dalam balutan celemek merah bata dan secangkir cokelat hangat di atas nampan. Melayani pelanggan sambil menikmati kehidupan orang-orang yang tak bisa hidup tanpa telepon genggam.

“Mereka sama sepertimu,” ujarmu suatu ketika.

“Aku bukan kepala ayam,” sanggahku.

“Berkelit dan pura-pura tuli saat ada yang berbicara tentang prinsip hidup. Ya, itulah mereka. Orang-orang dengan kepala ayam, karena selalu menunduk mencari sesuatu, dan jempol-jempol yang memperbudak mereka. Menyebarkan berita lewat satelit-satelit agar masyarakat tak lagi percaya pada aturan negara,” katamu dingin.

Kau, laki-laki dengan jaket lusuh dan potongan rambut gondrong, dengan tatapan yang tak pernah lepas dari wajahku, duduk dan memangku kaki seakan-akan tengah mengintimidasi seorang karyawan yang tak bersalah.

“Apakah itu penting?” tanyaku lagi.

“Tepat sekali!” jawabmu sambil menjentikkan jarimu. “Kau memang terlahir dari spesies mereka. Meragukan sesuatu yang penting dan meyakini sesuatu yang tidak penting.” Semakin banyak kau berbicara, semakin banyak pula kadar bingung dalam pikiranku.

“Kembalilah besok. Kau terlalu banyak meracau hari ini,” ujarku seraya berjalan ke dapur.

“Baiklah, aku akan menunggu hingga kau selesai bekerja nanti,” katamu. Saat aku berlalu, kau kembali meneguk isi cangkirmu dengan senyuman simpul yang terpantul di kaca.

***

Masih di jalanan yang sama saat aku kembali mendapati segerombolan anak muda berseragam biru-putih tertawa lepas di bawah langit malam yang kelam. Kendaraan-kendaraan besar dengan bunyi yang menderu-deru tak pernah berhenti untuk terus memenuhi sudut-sudut kota. Internet terlalu bahaya bagi mereka yang baru beranjak dari susu ibunda. Tidak ada saringan dalam pikiran mereka, hingga setiap tulisan yang bebas merayap di internet, dilahap habis hingga ampasnya.

“Ini hidup,” katamu memecah kesunyian di depan kafe.

“Bukan. Ini penjajahan,” selaku dan kau tertawa mendengarnya.

“Jangan bodoh! Penjajahan tidak mungkin bertahan selama ini pada mereka yang mengerti apa itu teknologi.” Aku terdiam mendengar ucapanmu. “Inilah hidup yang sebenarnya. Jika kau tak mau percaya begitu saja pada pemerintah, kau harus mencari kepercayaan lain. Jika tidak, kau tak punya pilihan,” lanjutmu.

“Hidup adalah menghadapi semuanya, dan tentu saja hidup bukan tentang memiliki. Apalagi menunduk, menekan, dan kemudian percaya begitu saja pada yang salah,” ucapku pelan. Kau mengangguk setuju.

“Untuk menghadapi apa yang ada di depanmu kau harus menunduk untuk mengawasi langkah mereka, kau harus menekan semua serangan yang muncul dan kau harus pura-pura percaya untuk mengelabui musuhmu.” Aku terdiam lagi.

“Kau membela mereka?” tanyaku sinis. “Kepalamu bisa bilang tidak, tapi ucapanmu membenarkan tuduhanku.”

“Aku tidak membela siapa pun, tidak mereka, tidak pula kau,” ujarmu. “Aku membela diriku sendiri.”

Alibi yang kau mainkan tadi adalah penutupan dari sebuah pertunjukkan yang kau persembahkan untukku di bawah remang lampu kafe tua. Sebelum kau melangkah dan hilang di perempatan jalan, kau berikan senyuman terakhir yang memperlihatkan rentetan gigimu yang rapi. Di bagian belakang jaketmu tertulis, “pemerintah sayang, pemerintah malang.”

***

Laki-laki tua berjas hitam rapi memasuki kafe dengan wajah tegang. Matanya jelalatan mencari kursi kosong yang bisa melindungi dirinya dari tatapan pelanggan yang ada. Tas kulit yang ia jinjing terlihat mengkilap dalam genggaman tangan kirinya. Saat tubuhnya telah rebah di atas kursi kafe dia melonggarkan ikatan dasi biru tuanya. Untuk sesaat dia hanya menatap kosong interior kafe dan sesekali mendesah gusar.

“Bapak mau pesan apa?” tanyaku saat menghampirinya.

“Duduklah. Aku butuh bantuanmu,” jawabnya masih tegang. Dengan sedikit kebingungan aku menurut. “Kau kenal dia?”

“Siapa?”

“Laki-laki gondrong yang tempo hari berdebat denganmu.”

“Saya tidak tahu namanya dan latar belakangnya. Dia hanya pelanggan biasa yang mengajak ngobrol tentang prinsip hidup,” jawabku seadanya.

“Apa yang dia katakan? Apa dia mengatakan sesuatu yang penting? Sesuatu yang berkaitan dengan pemerintah?” laki-laki berjas itu kembali bertanya.

“Tentang mereka yang suka menunduk dan masih banyak lagi. Apa menurut Bapak itu penting?” bapak itu menggeleng pelan.

“Kau tahu dia dimana?” bapak itu bertanya lagi. Aku menggeleng pelan.

“Hubungi aku jika dia kembali,” ujarnya seraya memberikan kartu nama. Lalu pria itu  keluar kafe sambil berlari kecil.

Aku masih duduk diam menatap kursi kosong di hadapanku. Pria tadi adalah agen pemerintah. Dia bekerja untuk negara. Tapi apakah bisa semudah itu memercayai pria berjas rapi yang mencari seorang pemuda dengan jaket lusuh? Ada apa dengan negeri ini?

***

Kepala ayam makin merajalela. Mulai dari anak SD hingga orang tua, semuanya menunduk. Mereka tak peduli dengan kerikil-kerikil yang tergeletak di jalanan karena saat kepala mereka menunduk semua kepedulian mereka telah disedot oleh benda mungil itu. Klakson-klakson panjang dari kendaraan-kendaraan mewah bertebaran luas di sudut jalanan, memeriahkan suasana siang yang panas. Aku masih menonton mereka dengan celemek merah bata.

Hingga akhirnya kau kembali menampilkan sebuah pertunjukkan di kafe itu lagi.

“Ada yang mencarimu,” ucapku saat mengantarkan kopi susumu.

“Berapa banyak?” tanyamu serius.

“Kau teroris?” tanyaku tak percaya. Kau tertawa renyah.

“Kau tak menjawab pertanyaanku.”

“Hanya satu. Tapi sepertinya dia punya seribu pertanyaan tentangmu tempo hari. Siapa kau sebenarnya?”

“Kembalilah bekerja jika kau bukan kepala ayam. Aku akan menunggumu di depan kafe, seperti biasanya.” Lalu kau memalingkan wajahmu dari pandanganku, menatap jalanan kota besar yang selalu padat oleh manusia dan besi, yang selalu ramai oleh nyanyian pengangguran dan penuh kejutan tentang mereka yang mati karena bertahan hidup, terlebih lagi bertahannya mereka ditempatkan pada kepercayaan yang salah.

Ilustrasi: Imma Mahmudah
Ilustrasi: Imma Mahmudah

***

Kata beberapa orang semua yang terjadi di dunia ini selalu didasarkan pada sebuah alasan. Seberapa konyol kejadian itu pasti ada alasannya. Dan terkadang alasan yang ada sungguh tidak mencerminkan keterkaitan dengan kejadian yang terjadi. Seperti saat aku kembali menemukanmu di depan kafe dengan jaket lusuhmu itu.

“Kau benar-benar menungguku?” tanyaku tak percaya.

“Aku tidak menunggumu,” jawabmu berkelit. “Aku hanya menikmati udara malam di sekitar sini.”

Saat aku melihat kau menengadah ke langit sambil sesekali memeriksa arlojimu di tangan kiri, melirik pintu belakang kafe yang biasa dilewati karyawan, dan gelisah, haruskah aku tetap percaya pada alasanmu bahwa kau berdiri di sana bukan untuk menungguku melainkan menghirup udara yang masih berpolusi itu? Lucu sekali!

“Penipu!” kataku ketus.

“Kau lupa? Di negara ini kau tidak bisa percaya pada siapa pun. Karena satu-satunya pilihan percaya hanya ada pada pemerintah,” katamu menjelaskan.

“Aku mau pulang. Selamat menikmati udara kotor ini, semoga bisa menyembuhkan penyakit munafikmu,” sahutku masih kesal. Kau tertawa lebar mendengar ucapanku dan tawa itu berhasil menghentikan langkahku.

“Jika kau pulang sekarang, orang itu akan mencegatmu di ujung gang rumahmu.”

“Siapa kau bilang?” tanyaku.

“Laki-laki berjas rapi yang tempo hari mencariku dengan ribuan pertanyaannya,” jawabmu enteng.

“Dia ingin merampokku? Yang benar saja! Emas satu gram pun aku tak punya. Bodoh sekali laki-laki tua itu,” kataku sedikit sarkas.

“Kau pun bodoh, Nona. Emas bukan lagi incaran perampok yang tahu apa itu teknologi,” katamu lagi.

Aku tak punya pilihan lain selain menemaninya menghirup udara kotor di bawah langit malam tanpa bintang. “Lalu apa yang mereka cari jika bukan emas?” tanyaku lagi.

“Kepercayaan,” jawabmu.

“Untuk apa? Toh, dia sudah punya jabatan tinggi, untuk apa peduli pada rakyat kecil sepertiku,” kataku ketus.

“Percayanya rakyat kecil sepertimu bisa membawanya lebih tinggi lagi,” ujarmu nyaris tak bersuara.

Hingga bintang pertama menampakkan cahaya di langit malam, aku tetap tak menanggapi pernyataannya. Jalanan makin ramai dengan kendaraan bercahaya, pedagang-pedagang kaki lima yang dikelilingi asap masakan. Letak kafe yang tidak terlalu jauh dari alun-alun kota membuat aku bisa melihat beberapa pasangan yang tengah menikmati malam minggu mereka.

“Aku tak mudah percaya pada orang lewat tulisan-tulisan bodoh di internet. Aku harus pulang,” kataku sebelum melangkah meninggalkanmu.

***

Dua hari kemudian kau muncul dari balik pintu dan tersenyum lesu menatapku yang tengah duduk di balik meja kasir. Rambutmu acak-acakkan, dan jaket lusuh itu masih setia di badanmu.

“Kau punya apa?” tanyamu.

“Cikeas goreng. Kau mau?” jawabku acuh. Dahimu mengkerut mendengar jawabanku.

“Kau sudah tahu semuanya?” kau bertanya lagi.

“Belum semuanya, setidaknya aku sudah tahu. Kau penulis?”

“Apa itu nama pekerjaanku? Padahal aku lebih sering membantai dibanding menulis,” jawabmu santai.

“Kau membantai lewat tulisanmu. Gurita, kepala ayam, apalagi nanti?”

Sebelum bertemu dengan kau hari ini, aku sempat mengintip dunia ‘ayam’ milikmu. Blog yang diberi latar belakang merah bata dan foto rambut gondrong yang menghiasi sudut blog. Lalu deretan artikel yang tersusun rapi dari tahun ke tahun dan bulan ke bulan.

Kepala Lengser Tentakel Dibantai, salah satu judul artikel yang baru Kau tulis satu minggu lalu. Lebih dari tiga ratus komentar hadir memenuhi artikel itu dalam hitungan tiga hari. Dan aku yakin kini komentar itu sudah lebih dari lima ratus.

“Kau tak perlu khawatir. Aku aman.”

“Mengapa kau sangat yakin?” tanyaku.

“Karena aku percaya pada pemerintah.”

 

 

Catatan Redaksi:

Tulisan ini dimuat ulang dari Antologi Cerpen LPM Sketsa tahun 2015: Kejujuran dan Mitos Idealisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *