Kepala Ayam
Oleh: Wika G. Wulandari
Di jalanan itu kepala-kepala menunduk menatap lekat benda mungil serba bisa. Lewat layar yang tak pernah redup, mereka berharap bisa menemukan sesuatu untuk menyudutkan pemerintah. Di balik jendela berbingkai cokelat aku selalu memperhatikan mereka dalam balutan celemek merah bata dan secangkir cokelat hangat di atas nampan. Melayani pelanggan sambil menikmati kehidupan orang-orang yang tak bisa hidup tanpa telepon genggam.
“Mereka sama sepertimu,” ujarmu suatu ketika.
“Aku bukan kepala ayam,” sanggahku.
“Berkelit dan pura-pura tuli saat ada yang berbicara tentang prinsip hidup. Ya, itulah mereka. Orang-orang dengan kepala ayam, karena selalu menunduk mencari sesuatu, dan jempol-jempol yang memperbudak mereka. Menyebarkan berita lewat satelit-satelit agar ...