Oleh: Emerald Magma Audha*

Ini soal hasrat. Onani, sebuah lema vulgar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya pengeluaran mani (sperma) tanpa melakukan sanggama, istilah lainnya masturbasi. Masturbasi atau onani, keduanya bermakna setara, bisa disematkan untuk lelaki atau puan. Meski umumnya istilah onani lebih lekat untuk aktivitas lelaki. Kalau kaum muda akrab menyebutnya “asyik main sendiri” atau dalam bahasa slang, mereka fasih melafalkan dalam kata “coli”. Saya lebih suka memakai istilah onani dalam tulisan ini. Bagi saya, macam istilah tersebut semua sama, tak lebih dari cara mencapai derajat kepuasan seksual secara berdikari.
Dalam kebermasyarakatan, banyak yang memandang onani sebagai laku lucah, dursila, atau segala serapah lainnya. Orang berlaku onani adalah ihwal menjijikan yang sejajar dengan batas kehinaan, atau mungkin lebih, apalagi jika sampai ketahuan. Namun, ada yang beranggapan, beronani lebih baik ketimbang mendekati zina. Cukup, bahasan seputar onani. Saya yakin pembaca lazim dengan kata tersebut, atau, barangkali pembaca sudah sering melakukannya pada barang kalian, kan? Oh ya, dalam tulisan ini, saya tak bermaksud untuk mesum atau cabul, lebih-lebih mengajak pembaca beronani selazimnya beronani. Percayalah, saya ini orang baik-baik seperti kalian, wahai pembaca yang budiman! Akan saya beritahu cara “beronani” yang beradab.
***
Dahulu, masyarakat Indonesia lebih kental dengan budaya bertutur. Bisa diketahui, begitu banyak cerita rakyat seperti legenda, dongeng, atau lainnya, tersebar di masyarakat seluruh nusantara tanpa tahu siapa penciptanya. Jelas saja, saya kira hampir semua cerita-cerita rakyat diwariskan turun-temurun hanya dari mulut ke mulut. Masyarakat kita cukup tertinggal dalam budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) dibanding bangsa lain, bahkan hingga kini.
Budaya membaca di masyarakat Indonesia sungguh rendah, sangat. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia jauh terbelakang soal minat membaca. Indonesia menduduki posisi kedua terendah, yakni peringkat ke-60 dari 61 negara. Itu berdasarkan hasil penelitian “The World’s Most Literate Nations (WMLN)” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University yang dirilis pada Maret 2016 lalu.
Bacalah! Membaca adalah perintah Tuhan, setidaknya itu dalam ajaran agama saya. Membaca itu akan melepas sekat-sekat ketidaktahuan yang ada dalam pikiran. Pemahaman terhadap sesuatu akan makin lawas. Orang akan berpikiran lebih terbuka dengan membaca.
Alasan membaca bukan untuk menjadi pandai, tetapi melawan kebodohan. Kebodohan adalah bahaya laten, wujud kesesatan paling nyata yang dihadapi manusia. Apakah kita ingin mengulang zaman kejahilan?
Lalu, soal budaya menulis. Menulis tidak luput dari budaya membaca. Ahmad Tohari (sastrawan kenamaan Banyumas) pernah bilang dalam suatu acara kesusastraan, membaca merupakan prasyarat sebelum melangkah ke budaya menulis. Tohari benar, lebih banyak membaca, lebih banyak pula yang bisa dituliskan. Semakin kerap membaca, tulisan yang diciptakan kian kaya makna serta rasa.
Antara baca-tulis dan onani itu mirip, ada kesamaan. Bagi saya, baca-tulis bukan hobi, bukan sekadar keinginan, bukan pula soal minat. Ini soal hasrat, laiknya onani. Ketika melihat atau membayangkan sesuatu yang merangsang berahi, libido timbul menggebu. Ada hasrat untuk bercinta. Jika tak ada “lawan main”, bisa tuntaskan hasrat itu secara berdikari lewat beronani. Kalian tahu atau pernah rasakan, betapa gelisahnya hasrat yang tertahan, menyesaki setiap relung pikiran. Begitu gelisah, mungkin sampai hanya tersisa satu hal dibenakmu: lakukanlah! Kenikmatan pun mulai terasa seiring dengan irama beronani. Perlahan-lahan hasrat mulai tersalurkan. Sampai pada klimaks, mencapai titik kepuasan, hasrat pun tertuntaskan. Hasrat beronani bisa muncul lagi kapan saja, tak peduli di mana pun. Bahkan, ada yang menjadikan onani sebagai candu.
Sama, seperti baca-tulis. Saat melirik buku atau bacaan yang menarik atensi, timbul hasrat untuk menilik isi. Penasaran kala membuka setiap halaman, seperti apa wujud isinya. Kata demi kata, setiap mata melahap tulisan yang tersaji. Pikiran yang menikmati bagaimana rasanya. Kadang sambil merenung. Sesekali mengkhayal, mencoba mengimaji maksud dari setiap rangkaian kata. Begitu seterusnya. Ketika usai membaca, di situlah sampai pada titik kepuasan: ah, ini mengikis ketidaktahuan, mencerahkan pemahaman, menumpulkan kebodohan, serta kepuasan lainnya. Namun, tidak selesai sampai di situ. Setelah membaca, akal kini bertafakur: antara sepakat atau menolak terhadap gagasan si penulis, entah meyakini atau justru ingin membantah isi tulisan. Atau, ah itu keliru, bukan seperti itu, harusnya begini. Boleh jadi malah kalian yang tak sepakat dengan tulisan saya ini. Ya, silakan saja. Tak masalah. Jika seperti itu, maka itu salah satu pertanda bahwa kalian sedang bertafakur.
Begitu juga dengan menulis. Sebab gelisah melihat realitas yang terjadi tidak sebagaimana mestinya. Mungkin dari keadaan sosial budaya, atau kebobrokan hukum dan politik, barangkali juga soal krisis ekonomi, tentang kekerasan atas dasar primodialisme, etnosentrisme, sektarian yang berujung pada laku diskriminasi rasial, atau lainnya. Ketidakadilan, kesewenangan penguasa, kesengsaraan, korupsi, birokrasi yang buruk dan tidak transparan, realitas-realitas semacam itulah yang mendatangkan kegelisahan. Dari kegelisahan itu, timbul hasrat untuk bertindak, salah satunya hasrat untuk menulis. Alasan saya menulis tulisan ini pun sebab gelisah, gelisah melihat banyak masyarakat mudah dibodohi dengan hoaks picisan. Gelisah dengan kaum—katanya—intelektual muda yang alergi dengan bacaan bermutu, justru doyan memelototi banyak pos sampah di media sosial (medsos) yang tidak berfaedah. Gelisah karena ramai dijumpai perdebatan konyol tapi diskusi sehat malah sepi.
Soal hasrat membaca dan menulis, tak setara dengan rasa ingin, suka, ataupun minat. Tingkatan hasrat jauh berada di atas dibanding ketiga hal tersebut. Hasrat itu kehendak kuat, sulit tertahan, dan sebisa mungkin harus disalurkan. Jika ditahan, yang muncul adalah penyakit hati: gelisah berkelanjutan. Memang tidak semua hasrat yang ada dalam diri manusia mesti disalurkan. Namun, pada yakin saya, hasrat keberaksaraan adalah hasrat yang layak (kalau bisa harus) disalurkan. Nah, jika sudah mampu merangsang hasrat keberaksaraan, maka tinggal memikirkan selera membaca dan menulis.
Saya kira baca-tulis merupakan salah satu ciri berpikir. Mana mungkin Karl Marx mampu menciptakan Das Kapital yang menjagat tanpa berpikir. Mustahil akan lahir Madilog bila Tan Malaka dianggap sebagai orang tak berpikir. Soekarno, Hatta, dan banyak tokoh menjadi besar, diawali dengan budaya keberaksaraan yang mumpuni. Berpikir adalah untuk beribadah. Tuhan Mahabijak, makanya orang sinting dibebaskan dari kewajiban beribadah sebab tak mampu berpikir waras. Akal untuk berpikirlah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Manusia yang tak mau memakai akalnya untuk berpikir waras, layak diragukan kemanusiannya. Semoga saja kita senantiasa dalam kewarasan.
Membaca dan menulis kapanpun serta di manapun yang perlu dibudayakan, mumpung sekarang masih dibebaskan untuk itu. Meski pelarangan atau pembubaran agenda literasi masih kerap terjadi belakangan ini. Dalangnya siapa lagi kalau bukan aparat berwatak Orba. Ingatlah, dahulu, menulis—terutama yang isinya mengkritik penguasa—itu pernah dilarang. Gara-gara menulis, Pram ditangkap. Tetralogi Buru karya Pram pun dihasilkan saat dia di penjara tempo Orba. Menulislah sebelum menulis akan dilarang lagi. Menulislah yang bertanggung jawab.
Menulis itu merupakan upaya untuk membangun peradaban, kata Tohari. Saya menulis bukan berniat menjadi besar. Saya pun sedang belajar membudayakan baca-tulis yang baik. Tulislah apapun yang ingin ditulis. Hasilkan tulisan yang selayak mungkin untuk dibaca, agar bisa mencerahkan bagi yang membaca. Dan ketika ada (syukur banyak) yang tercerahkan, maka itulah salah satu wujud upaya membangun peradaban. Minimal menulis untuk konsumsi pribadi. Setidaknya dengan menulis, saya telah meninggalkan jejak dalam sejarah.
Baca-tulis itu laiknya onani. Saya sudah bilang, ini soal hasrat. Budaya beronani seperti itulah yang beradab. Beronani seperti itulah yang layak dijadikan candu. Jadi, “beronanilah”!
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2014.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Buletin InfoSketsa Edisi XXXIV/Juni 2017.