Oleh: Nurul Irmah Agustina
Dahiku mengernyit seusai membaca pengumuman peringkat paralel jurusan IPA angkatanku. Di sana memang terpampang namaku di urutan puncak, Sarah Prasetya. Impian besar yang terasa hampa sebab menetas tanpa cangkang. Cangkang yang selalu mencegat ambisiku, ialah rivalku. Perlahan, tercium keanehan mengakar dalam jiwaku dan aku pertama kalinya bertanya perihal tak berguna. Di mana rivalku yang kerap mengalahkanku? Di mana namanya? Di mana Laras Maharani?
Awalnya aku tak menyebutnya rival—ini bermula dari tatapan merendahkan yang dilayangkannya untukku, saat itu. Tentu hatiku terusik hingga membakar rasa kesal yang berujung dendam. Aku benci dengan sebuah tatapan meremehkan. Setiap kali mata kami bersirobok, pasti ia akan mengerling sengit lalu menumpahkan segumpal kata jemawa sekaligus najis. Kupikir pantas tuk menjulukinya mawar berhati iblis.
Dari berita yang kudengar, Laras akhir-akhir ini sekala mereguk kata absen—tak sekalipun kulihat batang hidungnya yang congkak itu di sekolah. Saat iseng mencari tahu perihal mawar iblis itu kepada teman-teman sekelasnya, mereka kerap menggelengkan kepala atau mengangkat bahu dengan malas. Hatiku merekah lalu meringis—kenyataan bahwa tak ada satu pun yang peduli dengan rivalku itu. Memang, ia terlampau menyendiri hingga ada yang menyebut mawar berduri.
Awalnya aku ingin mengabaikan keanehan ini, tetapi rasa penasaranku bergerak liar dari alam bawah sadar. Hari-hariku juga terasa hambar juga senyap apabila tak ada duri yang berusaha menusuk ambisiku. Entah suara jiwa dari mana yang mengusik hingga kuputuskan untuk mencari tahu akar di balik lekangnya rivalku, mawar iblis berduri: Laras Maharani.
Misi aneh ini kujejaki seusai pulang sekolah, dengan titik awal menuju ruang kesiswaan—menanyakan di mana rumah Laras berada. Awalnya guru yang merupakan wali kelas Laras berusaha tutup mulut sebab aku bukan siapa-siapa Laras. Teman sekelas pun bukan. Namun, itu tidak bertahan lama usai rautku menampilkan sepercik sorot khawatir dan menumpahkan segelas dusta simpati.
Tungkaiku memberi jejak pada jalan demi jalan berupa tanah yang usai kulewati menggunakan kendaraan roda dua dengan spion di kanan dan kiri. Rodanya semakin semangat berjalan hingga memasuki sebuah gang sempit yang tampak asing. Netraku mencerap pemandangan yang kontras dengan daerah tempat tinggalku.
Perlahan kakiku bergerak turun dan mulai menapaki tanah selangkah demi selangkah menuju sebuah rumah kecil yang mengundang tatapan miris—relung hatiku tampak siap tuk melingsirkan rasa filantropis. Tak pernah disangka bahwa seorang gadis congkak dengan tatapan berduri itu tidur di bawah atap di depanku ini? Dengan lembut, mataku menjilati setiap inci bangunan reyot yang dikelilingi tanaman yang merambat tanpa ujung.
Seusai menatap cukup lama rumah Laras, jemariku segera mengetuk pintu bercat cokelat. Aneh, sudah beberapa kali kuketuk tetapi tak ada tanda-tanda sebuah suara akan menyautnya. Rumah ini senyap, gelap, guram seolah sudah tak ada yang menghuninya. Tanpa aba bulu kudukku merinding sebab angin yang membelai kulitku semakin dingin, ditambah keadaan langit yang semakin menggelap. Merasa tak akan mendapatkan hasil, aku memutuskan pulang dan melanjutkan misiku esok.
Esok demi esok sudah kulalui, tetap tetap saja yang kulahap adalah kata nihil. Nyaris aku berpikir tuk mengibarkan bendera putih saja, karena ini bukanlah ambisi yang kuinginkan. Bukankah lebih baik bersenang-senang setelah berhasil melenyapkan rival tanpa perlu menyentuhnya? Tidak, hati kecilku sekala berkata bahwa ada sesuatu yang terjadi pada gadis mawar iblis berduri itu. Kini aku merasa bahwa pikiranku mulai gila. Laras, sebenarnya kamu di mana?
Memanfaatkan waktu libur sekolah setelah ujian, aku kembali mencari tahu keberadaan Laras—mengunjungi daerah rumahnya. Mengetahui bahwa Laras memang tak berada di rumahnya sejak lekangnya hari itu, aku mencoba berkunjung dan menanyakan kepada para tetangga sekitar. Kebanyakan dari mereka memberi jawaban tanpa minat, tetapi ada satu tetangga dengan rumah paling dekat memberi respons yang berbeda—Bu Sekar namanya. Ia mengutarakan bahwa dirinya prihatin terhadap Laras yang hidup sebatang kara—ditinggal kedua orang tuanya saat masih kecil dan oleh neneknya saat menginjak SMP. Hatiku tersentuh seusai mendengarnya. Kembali, aku terperangah fakta kelam rivalku itu. Tatapan yang kupikir menyiratkan keberanian tanpa sedikit pun ketakutan atau bahkan kesedihan, nyatanya hanya memainkan peran sebagai topeng kepalsuan. Mawar berduri itu ternyata terjerat sisi kelam yang tak diketahui orang-orang.
“Laras anak yang kuat, dia selama ini bekerja begitu keras. Ya … buat mencukupi hidupnya. Dari pagi sampai siang sekolah, sore sampai malam bekerja,” ungkap Bu Sekar dengan tatapan kosong ke depan seolah menerawang sesuatu.
“Apa Ibu tau di mana Laras sekarang?” tanyaku sembari menahan rintihan dalam hatiku.
Bu Sekar menoleh dan berkata, “Saya juga bertanya-tanya Mbak. Dari kemarin saya ga pernah liat lagi Laras keluar dari rumahnya.”
Aku pun kembali bertanya—kapan terakhir melihat Laras. Bu Sekar tampak berpikir lalu menuturkan, “Seinget saya dua minggu yang lalu, dia keluar bareng temen kerjanya.”
***
Sepasang sepatuku mulai menapaki jalur yang mengarah ke sebuah kafe dekat sekolahku. Terbesit pertanyaan dalam pikiranku, mengapa aku tidak pernah menyadari Laras bekerja di sini? Padahal aku kerap berkunjung ke tempat ini. Mengabaikan pikiran sekilas itu, kakiku dengan cepat menerobos masuk dan mataku mulai menelusuri segala sisi ruang. Tak berselang lama aku menemukan seseorang yang mirip dengan ciri-ciri yang dikatakan Bu Sekar. Buru-buru kakiku berjalan ke arahnya.
Kutepuk bahunya dari belakang, membuatnya berbalik cepat.
“Apa kamu kenal Laras?” tanyaku.
Sosok pemuda di depanku menampakkan raut bingung. Namun, tak berselang lama ia tiba-tiba menarik tanganku dan menyuruhku duduk pada salah satu bangku di sudut kafe.
“Lo siapanya Laras?” tanyanya dengan nada serius.
“Emm … teman, mungkin,” jawabku ragu.
“Kenapa nanyain soal Laras?” Tatapannya seolah menginterogasi.
“Dia menghilang dari sekolah tanpa kabar,” jawabku sekenanya.
“Laras udah lama nggak dateng ke sini. Pas gua coba telfon, nomernya selalu gak aktif. Gua coba ke rumahnya juga nggak ada. Dia bener-bener kayak udah ngilang dari bumi.” Pemuda di depanku menunduk. “Dua minggu yang lalu, gua sempet jemput dia dari rumah. Tapi tiba-tiba Laras minta turun, kata dia ada keperluan penting sama pamannya. Ya gua percaya aja gitu. Eh setelah kejadian itu, si Laras malah kayak ilang ga ada kabar …,” lanjutnya dengan nada lemah di akhir kalimat.
Mataku mencerap rasa kekhawatiran pada pemuda yang diketahui teman kerja Laras itu, Arkan. Sehingga aku pun memutuskan untuk mengajaknya masuk dalam misiku. Bekerja berdua lebih bagus ‘kan? Kupikir memang misteri keberadaan Laras memang serumit itu, dan aku merasa tak bisa menuntaskannya sendirian. Kuakui aku memang bodoh perihal bermain teka-teki. Pasti Laras akan tersenyum dengan satu ujung bibir terangkat ke atas apabila ia mendengarnya langsung dari mulutku.
Kupikir langkah selanjutnya adalah menuju rumah paman Laras, tetapi ternyata Arkan tak mengetahui di mana. Akhirnya aku mengusulkan untuk kembali menemui Bu Sekar, tetangga terdekat dari rumah Laras. Ketika aku dan Arkan tiba, Bu Sekar kembali menyambut dengan senyum—tak lupa Arkan memperkenalkan dirinya sebagai teman Laras.
Bu Sekar mempersilahkan kami duduk di ruang tamu. Beliau pasti tahu niatku datang kembali ke sini. “Apa ada yang bisa saya bantu lagi, Mbak?” Bu Sekar memulai obrolan.
Aku pun tersenyum sopan, dan bersama Arkan menanyakan apakah Bu Sekar mengetahui di mana rumah paman Laras berada. Jawaban tak terduga membuat benang-benang dalam kepalaku saling terikat tak tentu arah. Lantaran Bu Sekar menuturkan bahwa Laras sudah tak memiliki kerabat satu pun—gadis itu benar-benar hidup sebatang kara di rumah tua itu. Bahkan yang Bu Sekar tahu, orang tua Laras tak memiliki satu pun saudara. Bagaimana bisa Laras memiliki seorang paman?
Masalah yang rumit ini justru semakin rumit. Mengapa kisah hidup Laras seolah penuh akan teka-teki dan misteri. Memecahkan di mana Laras berada pun sulit. Bagaimana bisa tahu rasa yang selama ini Laras pendam seorang diri?
Sejak awal aku menduga, persoalan ini tak akan begitu rumit, apalagi menyimpan banyak misteri dan membuatku menjadi detektif. Namun, semakin lama misteri itu semakin menjerangkak liar dan melebar. Dulu, kupikir akan bertemu Laras di rumahnya lalu Laras sebenarnya hanya sakit sehingga kerap absen di sekolah. Namun apa? Laras menghilang bagai tertelan semesta—menyisakan beribu pertanyaan dalam benak.
Apa aku menyerah saja? Memecahkan puzzle keberadaan Laras lebih sulit daripada memecahkan secuil soal Matematika yang jawabannya berbanding terbalik dengan soalnya. Tujuan awalku hanya ingin mengetahui mengapa nama Laras tidak ada dalam urutan peringkat paralel IPA kelas 11. Namun, urusannya justru semakin panjang jika ditelisik lebih mendalam.
Kala hatiku terselimut rasa bimbang, Arkan tiba-tiba memberitahu bahwa ia mendapat petunjuk tentang Laras dari temannya. Niatku yang ingin mundur, lantas lesap. Baru juga beberapa langkah dan aku nyaris menyerah? Mental lemah begini bagaimana bisa mengalahkan rival seperti Laras? Aku juga ingin kembali bersaing dengannya. Maka, aku harus segera menemukannya.
Kini, aku dan Arkan sudah berada di sebuah tempat yang membuatku takut setengah mampus. Bagaimana bisa Arkan mengajakku kemari. Apa pemuda ini ingin membuatku jadi tumbal untuk lelaki haus berahi? Aku berusaha menolak dan berniat minggat, tetapi Arkan dengan sigap mencegah dan bilang bahwa ia akan selalu waspada dan berada di dekatku.
Tanganku gemetaran, tak pernah terbayangkan dalam hidupku harus memijak tempat seperti ini. Sejenak aku merutuki nasibku, lalu samar-samar mataku tak sengaja mencerap seorang pria yang keluar dari tempat dugem bersama seorang wanita. Tampaknya aku mengenali pria itu dan … benar! Dia pria yang setiap hari kutemui di rumah, ayah. Kejutan macam apa ini? Kupikir ayah adalah lelaki hebat dan setia. Namun kini … hatiku berkata bahwa ayah adalah lelaki bejat.
Tanpa peduli dengan Arkan di depanku yang sedang mengawasi tempat penuh manusia berlumur dosa, aku segera berbalik dan berlari ke arah jalanan bersama derai air mata yang tak henti mengucur. Cukup jauh aku meninggalkan tempat biadab itu. Penglihatanku kabur hingga tak sadar sesuatu yang tengah mengarah ke arahku bergerak semakin dekat. Hingga perlahan … pandanganku semakin memburam lalu menyisakan pemandangan hitam.
***
“Datanglah ke rumahku, Sarah,” ucap seseorang yang berjalan semakin mendekat.
Kala suah berada di depanku, sosok itu tampak jelas. Aku tak menyangka bisa melihat Laras kembali. Lalu bagaimana bisa ia di sini? Tempat apa ini dan mengapa semuanya putih?
Laras berkata sekali lagi. “Datanglah ke rumahku … aku mohon.” Rautnya sarat akan rasa memohon dan harapan besar.
“Untuk apa? Bukannya kamu tidak ada di sana? Aku sudah pernah mencoba,” jawabku.
“Kamu salah … kamu harus ke rumahku lagi, Sarah,” katanya lagi.
“Kamu ingin pergi dari sini bukan? Berjanjilah untuk datang kembali ke rumahku. Akan kubuat kamu kembali ke duniamu,” lanjut Laras.
Alisku menukik tajam. “Memang ini dunia apa? Dan … sebenarnya kamu selama ini di mana?”
“Berjanjilah, Sarah.” Tampaknya ia benar-benar berharap besar padaku.
Aku pun berjanji kepadanya. Sepersekian detik tiba-tiba semuanya gelap, mataku tak bisa melihat apa-apa.
Tak lama sebuah suara lembut merambat menuju pendengaranku. Mataku mulai bergerak perlahan, mencerap sesosok wanita berumur yang amat kusayangi. Aku pun teringat pertemuanku dengan Laras tadi, mana permintaannya yang sebenarnya kecil, tetapi penuh harap yang begitu besar. Sebenarnya apa yang terjadi pada Laras? Di mana ia?
Kepalaku seketika berdenyut nyeri dan baru menyadari bahwa aku telah berada di rumah sakit. Apa yang terjadi sebelumnya?
“Aku kenapa, Bu?” tanyaku pada ibu.
“Kamu mengalami kecelakaan, Sayang.” Tangan ibu membelai rambutku. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian.
Bukannya menjawab, aku justru melontarkan sebuah permintaan. “Aku ingin ke rumah Laras, Bu.”
Mendengar itu, ibu tampak terkejut. Padahal aku masih terbaring sakit di sini. Bagaimana bisa kuat untuk berjalan apalagi sampai ke rumah Laras. Ibu pun menyarankan agar setelah pulang dari rumah sakit saja, baru pergi ke rumah Laras. Aku pun menyetujuinya.
Seminggu kemudian aku sudah pulang dari rumah sakit dan sesuai janjiku, aku akan pergi ke rumah rivalku itu. Kakiku berpijak kembali di depan rumah reyot dengan tanaman yang semakin memanjang dari waktu terakhir aku ke sini. Jemariku mengepal—mulai mengetuk. Merasa tak ada suara, tanganku lantas memutar knop pintu. Kupikir rumah Laras terkunci, tetapi saat tuas kuputar, pintu itu bisa terbuka kala kudorong pelan.
Astaga! Penampakan rumah ini sungguh mengerikan. Seolah sudah lama sekali tak ada yang menghuninya. Beruntung aku datang tatkala matahari berada di tengah. Sehingga cahaya bisa masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Itu mampu menyurutkan rasa takut yang tadi sempat hadir.
Kini aku termenung. Sebenarnya apa maksud Laras waktu itu?
“Laras, apa kamu di sini?!” teriakku mencoba memanggil.
Namun, tak ada suara apapun barang sekutil. Hanya suara angin dan tiupannya yang sesekali menjatuhkan benda-benda tipis di sini. Aku mulai menelusuri ruang demi ruang dan kini kakiku melangkah ke sebuah ruang yang kuduga adalah kamar Laras. Penampakannya tak jauh berbeda dengan beberapa ruang sebelumnya tampak berserakan.
Mataku menatap sekeliling kamar, sebuah buku yang terbuka di meja menarik perhatian. Buku itu sudah berdebu, tetapi masih terbuka? Lalu, jemariku perlahan menjumput buku itu dan membersihkan debu yang menghalangi berjebah coretan di sana. Dalam hati kumulai membaca kata demi kata yang tertulis dalam buku itu.
“Aku tidak tahu apakah hidupku yang paling menderita di dunia ini? Namun, entah mengapa aku merasa begitu. Aku hanya berteman dalam sepi tanpa keluarga yang melindungi. Di mana mereka sekarang? Pergi meninggalkanku sendirian? Dalam dunia yang penuh kekejaman dan kepalsuan.
Aku benar-benar percaya bahwa semua orang di dunia ini munafik. Semua jahat! Mereka hanya manis di depan dan berubah pahit di belakang! Aku pikir pria yang tak sengaja kutemui di sebuah tempat ibadah itu adalah pria yang baik. Ternyata aku salah … dia pria bejat!
Waktu dulu, pria itu tak sengaja mendengar keluh kesahku dan tiba-tiba menawarkan pertolongan padaku. Aku yang memang saat itu sedang buntu lantaran tak memiliki uang sepeser pun, tentu saja mau menerima pinjaman uang darinya.
Ya, awalnya memang dia bersikap biasa saja, layaknya orang lain pada umumnya. Namun, semakin ke sini dia menjadi aneh kepadaku. Dia mulai mengancam jika aku tak menuruti kemauannya. Pria itu bilang akan menuntutku karena tak bisa membayar hutang. Orang rendahan sepertiku bisa apa?
Mau tak mau aku menuruti kemauannya. Dia memaksaku untuk ikut dengannya setelah bekerja di kafe menuju tempat jahanam—klub malam. Tak pernah sekalipun aku berniat mencicipi dunia ini. Namun, apa boleh buat? Aku terkurung oleh pria sialan!
Pria ini memperkenalkanku kepada teman-temannya sebagai kekasihnya. Apa dia kurang sinting? Ia mulai berani merendahkanku—membuatku seperti budak yang kapan pun bisa ia perlakukan seenaknya. Aku muak, tetapi harus meminta tolong kepada siapa? Teman saja aku tak punya. Di sekolah saja semua orang memandangku dengan sorot kebencian.
Tak sampai di situ, ketika aku menghindar dari pelukannya, dia justru membabi buta. Aku berusaha kabur waktu itu dan berhasil. Aku sampai di rumah dengan selamat pada saat tengah malam. Namun, aku salah … aku lupa pria itu tahu rumahku. Seperti dugaan, pria itu mengejarku sampai ke rumah.
Aku pun bersembunyi di sebuah lemari kecil dalam kamarku. Pria itu seolah tahu. Ia berteriak memanggil namaku. Aku hanya bisa menahan rasa takut dengan tubuh bergetar hebat penuh keringat dingin di dahi. Tak lupa sejuta tangis yang suah membasahi pipi, berusaha kutahan meski nyatanya sulit.
Siapa yang menyangka, dia berhasil menemukanku dan langsung menyeretku keluar, lalu mendorongku ke kasur dengan kasar. Hingga … ia melakukan sesuatu yang menjijikkan—membuatku merasa menjadi seorang wanita paling hina di dunia. Ya, pria itu benar-benar melakukan hal bejat padaku. Pria itu memang berengsek!
Mengapa dia tega melakukan ini kepada gadis lemah dan rapuh sepertiku? Yang ditakdirkan hidup sebatang kara yang tiap hari menyesap lara? Duniaku seakan hancur, hatiku remuk tak terbentuk. Hingga hari-hari setelah kejadian itu, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menulis kisah sialanku di buku ini. Terlihat begitu malang bukan?
Aku hanya berharap akan ada manusia baik yang datang ke sini dan membaca kisah deritaku selama ini. Yang kupendam erat-erat dalam lubuk hati. Hahaha bicara apa kau ini Laras? Memangnya siapa yang sudi ke rumah peyotmu ini? Deritaku … apakah akan terkubur selamanya?
Apa aku lebih baik mati saja? Lagian, siapa yang peduli dengan Laras yang sudah tak suci ini? Yang memiliki julukan mawar iblis berduri dengan mahkota yang sudah hancur berkeping-keping? Ya, jangan pikir aku ini tuli wahai para pembenci. Senang ‘kan kalian? Melihatku, Laras Maharani, yang tatapannya bagai belati kini hanya berharap ingin mati?
Siapa pun kamu yang membaca buku ini, aku akan memberitahu siapa pria sialan itu. Apa akan ada seseorang yang terkejut? Pria bejat itu adalah ayah dari rivalku. Lucu bukan? Namanya … Edgar Prasetya.
Apa kamu merasa hancur, Sarah? Seharusnya tidak, sebab aku yang lebih hancur di sini! Apa kamu menunggu balasanku di dunia setelah aku mati?”
~ Laras Maharani.
Editor: Helmalia Putri