
Oleh: Miqda Al Auza’i

Hidup, kehidupan—bolehkah disebut tempat?
Bagi pertemuan-pertemuan panjang pun singkat.
Dan sore itu adalah yang nomor sekian,
ialah salah satu dari pertemuan;
berbuah kegelisahan, untuk bersama renungkan.
Hujan di kota enggan mereda,
mengiringi hiruk-pikuk yang tak berjeda.
Anak-anak yang tak kehabisan tawa,
kendati berat karung di pundak mereka,
meski dingin di telapak kakinya,
walau bakul tak kunjung ludes semua.
Hujan adalah kawan, yang penting besok makan;
celetuknya.
Toserba yang tak pernah tidur memberi ruang,
membawa kami pada perkenalan tak terencana.
Pada jiwa yang lelah kubawa, ia gamang,
mendengar binar mata bercerita segalanya;
perihal “aku” batal bersekolah,
dan “aku” sudah lama tak berumah,
pun “aku” yang dari lahir bersusah payah.
Lugu, naif … atau dinaifkan?
Siapa yang menjadikan demikian, ya Tuhan?
Siapakah nama yang kelak Engkau tuntut pintakan?
Semua dan segala bentuk pertanggungjawaban;
tentang apa yang mereka tanyakan,
kala hujan, yang ingin reda tapi enggan.
Ya pantas saja tak reda-reda,
kurasa hujan pun menangis karena,
ia bingung bantu jawab apa.
Pada ratapan yang menjelma tanya,
pada harapan yang nihil bentuknya;
Kak, jika di sekolah mahal harganya,
kalau di pasar mimpi dijual berapa?
Editor: Khofifah Nur Maizaroh