
Oleh: Intan Ramadhani

Dalam jenggala belantara padat ranting
Hujan menumpahi selalu lahannya yang kering
Di sana kusuma higanbana tumbuh selasa
Rancap menyayat pada nadi empunya
Kelopak rupawannya mengerat mata serupa beling
Umbinya kasar berakar mengetati daging
Ruah darah tiada hingga ditelannya
Kusuma higanbana memerahi daksanya
Dalam jenggala belantara minim pemukim
Hujan menumpahi selalu malamnya yang dingin
Saban hari cemeti pula belati berarakan tanpa kendali
Serampangan pagan tertanam di sana-sini
Bilahnya menengadah, menyabiti jari petandang
Bilahnya melambai, melecuti kaki pendatang
Ruah darah melintangi suaranya
Cemeti pula belati memerahi matanya
Dalam jenggala belantara, bukan
Satu gubuk kumuh dalam gang
Puan menghuni sendirian
Dan mendiami keheningan
Di sana hanya ada malam
Di angkasa jua tanpa bulan
Dalam jenggala belantara, bukan
Satu gubuk kumuh dalam gang
Hujan selalu dari matanya
Merah darah sesaki hatinya
Duka menggenangi jiwanya
Lara penaka baka baginya
Satu gubuk kumuh dalam gang, bukan
Satu insan kehilangan lintasan
Saban hari gemakan pertanyaan
“Aku di mana, Tuhan?”
*Penulis merupakan mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura.
Editor: Gauri Indah Sukmawati