Oleh: Faiz Maulida
“Jangan expect gratifikasi ini sebagai sesuatu yang wah banget, ya,” ucap Wiman Rizkidarajat, Sekretaris Tim Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) saat kami temui untuk meminta keterangan mengenai masalah gratifikasi yang ada di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) pada (12/6/2023).
Pernyataan tersebut dapat dipertanyakan mengingat gratifikasi merupakan hal yang seharusnya serius untuk ditangani. Gratifikasi merupakan bagian dari praktik korupsi karena terdapat pemberian hadiah yang mempunyai maksud tertentu. Dalam dunia kampus, ada beberapa kegiatan yang dapat dikategorikan ke dalam bentuk gratifikasi seperti pemberian hadiah kepada dosen.
Di lingkungan Unsoed, gratifikasi merupakan hal yang sudah sering ditemui. Beberapa narasumber mahasiswa yang kami temui bahkan mengaku pernah melakukan praktik ini. “Kalau ditanya pernah atau tidak sih pernah, saat lagi seminar” ungkap mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed yang enggan disebutkan identitasnya.
Padahal dalam keterangan lanjutannya, mahasiswa FISIP tersebut mengatakan jika memang sudah terdapat larangan praktik gratifikasi di fakultasnya. “Kalau gratifikasi dari yang aku lihat, ada banner dilarang gratifikasi.”
Wiman bersama tim UPG sudah mengambil beberapa upaya dalam rangka mencegah adanya gratifikasi. “Dosen di sini sudah diupayakan untuk tidak menerima hadiah dari mahasiswa dalam bentuk apapun. Contoh, sekarang yang namanya sempro (seminar proposal-red) sudah tidak boleh menyediakan konsumsi yang berasal dari mahasiswa. Kalaupun mereka menerima gratifikasi yang bentuknya barang kurang dari satu juta, para dosen didorong untuk melakukan pelaporan kepada UPG,” ucap Wiman.
Secara spesifik, pelaksanaan program anti gratifikasi digerakkan dengan cara menyebarkan formulir pelaporan kepada para dosen. Nantinya bukti-bukti berupa uang, barang, makanan, dan lainnya yang diberikan oleh mahasiswa akan diupayakan untuk dikembalikan. Jika tidak dapat dikembalikan, Tim UPG sudah menyediakan ‘lemari gratifikasi’ untuk menaruh benda yang terindikasi gratifikasi agar kemudian disalurkan ke pihak-pihak yang lebih membutuhkan.
Namun, tindakan yang lebih tegas berupa hukuman masih belum diterapkan. “Kalau misalnya di sini, orang ngasih roti atau batik mau dihukum apa? Jadi belum ada hukuman apapun,” ucapnya lebih lanjut.
Dalam konteks hukum, gratifikasi tidak termasuk ke dalam extraordinary crime sehingga hukuman pidananya hanya diterapkan pada lingkup tertentu. Jika dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, pidana untuk pelaku yang melakukan gratifikasi hanya diterapkan di tingkat Peraturan Daerah ke atas. Oleh karena itu, tindak pidana untuk pelaku gratifikasi tidak berlaku dalam lingkup kampus.
Gratifikasi mulanya dianggap hanya sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan, sehingga dianggap wajar karena nilainya dianggap tidak seberapa. Namun, apabila sudah menjadi hal yang lumrah maka suatu saat akan menjadi kebiasaan dan mengikat menjadi kewajiban. Tindakan pemberian pelayanan yang seharusnya diberikan gratis tidak akan terjadi jika tidak ada pemberian gratifikasi.
Gratifikasi di Unsoed seringkali terjadi karena praktik ini merupakan hal yang turun menurun dilakukan tanpa adanya langkah pencegahan yang pasti. Hal ini menjadi justifikasi bagi para mahasiswa untuk terus melakukannya. “Jadi kayak emang udah kultural turun menurun. Toh, kalau mau engga ngasih jadi engga enak, karena sudah biasa dari kakak tingkat,” ungkap mahasiswa FISIP tersebut. Pengakuan lainnya juga datang dari mantan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang juga enggan diketahui identitasnya. “Jadi ada unsur-unsur kebudayaan juga di situ, maksudnya turun temurun.”
Langkah Kebijakan Yang Diambil
Zona Integritas adalah predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas Dari Korupsi (WBK) atau Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Zona Integritas diukur dengan enam aspek pengungkit, yaitu manajemen perubahan, tata laksana, sumber daya manusia, akuntabilitas, pendekatan kualitas layanan, dan pengawasan. Setiap pengungkit punya ‘champion’-nya masing-masing. Tim UPG menjadi kampiun dari aspek pengawasan yang dibentuk untuk mewujudkan Zona Integritas ini.
Sementara itu, Wiman memberi informasi jika UPG ini hanya terdapat di FISIP saja karena Zona Integritas baru diamanatkan untuk diujicobakan di FISIP. Belum menyeluruh ke seluruh fakultas yang ada di Unsoed. Dengan kata lain, Tim UPG hanyalah bagian kecil dari kebijakan universitas bernama Zona Integritas yang diamanatkan kepada FISIP.
Agus Haryanto selaku ketua Zona Integritas FISIP mengonfirmasi jika memang Zona Integritas baru ada di FISIP karena itu memang langkah awal yang diambil oleh pihak universitas. “Untuk di Unsoed, ya, hanya di FISIP. Unsoed itu menggunakan pilot project yaitu FISIP,” jawabnya.
Pilot Project adalah metode untuk menguji efektivitas dan efisiensi suatu program. Pilot project juga dapat menghasilkan informasi yang berguna untuk dijadikan sebuah patokan program tersebut ke depannya. Ini adalah cara terbaik untuk mengevaluasi program sebelum diluncurkan secara lebih luas. Jadi, FISIP yang ditunjuk oleh pihak universitas untuk mengambil predikat Zona Integritas adalah langkah awal sebelum diterapkan secara luas ke fakultas-fakultas lainnya yang ada di Unsoed.
Untuk meraih predikat Zona Integritas, FISIP perlu mendapat pengakuan dari tiga instansi berbeda yaitu pihak internal (Unsoed), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), serta Kementerian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
Mengacu pada pelaksanaan evaluasi yang dilakukan Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek pada (9/5/2023), Agus sebagai salah satu yang mengikuti kegiatan tersebut mengaku jika pihaknya sudah mendapat predikat yang layak sebagai Zona Integritas. “Kita sudah ada sosialisasi dengan dosen. Kita sudah ada video di Youtube FISIP Official tentang edukasi terhadap dosen. Mereka mengevaluasi itu dan nanti mereka memberikan skor, kita nih layak engga diajukan sebagai wilayah bebas dari korupsi dan mereka menilainya layak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agus juga mengatakan jika pihaknya hanya tinggal mendapat predikat dari Kementerian PANRB sebelum akhirnya FISIP dapat dikatakan sebagai WBK dan WBBM. “Nanti dari PANRB ada penilaian lagi, jadi kita evaluasi tiga kali. Mulai dari internal kita, Kemendikbud, dan kemudian satu lagi dari PANRB. Nah, kita dua ini sudah lolos, tinggal satu.”
Reporter: Faiz Maulida, Putri Sabhrina, Triana Niken Ayu, Indah Dea Susanti
Editor: Desi Fitriani