Oleh: Mukti Palupi

“Clung plak clung blung gelung gepak mandul-mandul.”
Lirik itu merupakan penggalan lagu dolanan khas Desa Plana yang biasa dinyanyikan beriringan dengan permainan tradisional Kunclungan. Kunclungan pula disebut-sebut sebagai permainan khas Desa Plana yang sudah hampir punah. Lantunan musik dapat dihasilkan lewat tepukan dan kayuhan tangan di sungai.
Hujan menemani kami untuk sampai di sebuah pedesaan, Minggu (19/11/2017). Papringan yang rimbun kian mendinginkan suasana. Berkendara di atas aspal koyak, akhirnya kami sampai di Desa Plana.
Desa Plana merupakan desa terpencil di ujung timur Somagede, Kabupaten Banyumas, yang berbatasan dengan Desa Pelumutan, Kabupaten Purbalingga. Kedua desa itu dipisahkan oleh Sungai Serayu. Dulu, masyarakat Desa Plana biasa bermain Kunclungan di sepanjang Sungai Serayu.
Wartawan Skëtsa menyambangi rumah Sarno yang tak jauh dari Sungai Serayu. Ia salah satu tokoh masyarakat sekaligus salah satu Kepala Dusun di Desa Plana. Sarno mulai bercerita soal Kunclungan atau biasa disebut Kuclukan.
Dulu, masyarakat Desa Plana percaya jika air sungai dapat menghilangkan rasa lelah, sehingga mereka punya tradisi mandi di sungai selepas bekerja. Kebanyakan dari mereka itu petani. Mereka membersihkan diri di sungai sambil menepukkan tangan di air. Tepukan itu menghasilkan irama yang semarak dan enak didengar.
“Jadi ceritanya, orang zaman dahulu senang apabila sepulang dari sawah kemudian mandi di air yang dalam (sungai-red), sehingga mereka sileman dan memainkan tangan kecebak-kecebuk,” tutur Sarno.
Kalau kata Ahmad Tohari, seorang budayawan Banyumas, Kunclungan tidak hanya dijumpai di Desa Plana. Hampir semua tempat di Pulau Jawa yang dekat dengan aliran sungai juga mengenal permainan ini dengan beragam istilah. Kunclungan adalah permainan anak-anak desa ketika mandi di sungai yang umumnya dimainkan pada musim kemarau.
“Karena saat kemarau airnya lebih jernih. Mainnya di lubuk, bagian terdalam sungai, lebih banyak ramai-ramai. Yang ditiru orang main rebana atau main kendang,” kata Tohari pada Kamis (18/10/2018).
Clung, Plak, dan Blung
Permainan Kunclungan biasa dimainkan banyak orang meski bisa juga dimainkan satu orang saja. Sarno pun menjelaskan ada tiga jenis bunyi yang dihasilkan tangan ketika bermain Kunclungan: bunyi clung, plak, dan blung.
Bunyi yang dimainkan secara berurutan menghasilkan irama “clung plak clung blung”. Begitulah ritme yang dihasilkan dari tepukan dan kayuhan tangan di air. Irama itu dibunyikan secara berulang-ulang dan berselang-seling antara pemain satu dengan yang lain hingga jadilah irama permainan Kunclungan.
Bunyi “clung” dihasilkan dengan cara membuka tangan lebar-lebar dan dengan cepat mendorongnya ke dalam air. Arah dorongannya pun harus berlawanan dengan arus dan harus membentuk sudut kemiringan tertentu.
Kemudian bunyi “plak” dihasilkan ketika telapak tangan bertemu dengan permukaan air. Cara melakukannya hanya dengan merapatkan jari, lalu menepuknya ke permukaan air.
Sedangkan bunyi “blung” ditimbulkan dari jatuhnya tangan yang mendorong air dalam takaran yang lebih banyak. Caranya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam air, kemudian membuatnya seakan berpapasan di dalam air.
Bunyi yang sempurna dihasilkan dengan teknik khusus yang baik pula. Semangat, penekanan, dan kecepatan menjadi kunci apiknya permainan Kunclungan.
Sungai yang dipilih pun harus memenuhi kriteria. Untuk mendukung penciptaan bunyi yang bagus, kata Sarno, biasanya dicari sungai yang cukup dalam. Kriteria sungai ini dipilih juga karena alasan keamanan. Apabila sungai dangkal, dikhawatirkan jari bisa membentur dasar sungai yang dapat berakibat cederauhuy
“Itu Kesenian, seni karena dipilar ke dalam kurun yang cukup lama sehingga mentradisi.”
Soal batas kedalaman sungai, menurut Ahmad Tohari, minimal satu pusar. “Di kali itu di kedungnya, kedalaman kali paling tidak sebatas pusar. Kalau lebih rendah dari itu susah, suaranya juga kurang bagus.”
Permainan atau Kesenian
Sarno yang sejak kecil telah mengenal Kunclungan, mengatakan bahwa Kunclungan tidak diketahui sejarahnya. Masyarakat bermain hanya mengikuti pendahulunya saja. Bahkan, ayahnya yang dahulu setiap hari beraktivitas di sungai pun tidak tahu dari mana asalnya permainan ini.
Sulitnya melacak asal-usul Kunclungan juga dianggukkan Ahmad Tohari. Tohari bilang, Kunclungan merupakan bagian dari tradisi masyarakat desa yang terbiasa beraktivitas di sungai.
“Jangankan mandi, minum di kali saja biasa itu. Jadi, ketika orang menepuk-nepuk air seperti menirukan orang menepuk gendang,” sambung Tohari, “Kemudian berkembang menjadi Kunclungan. Itu sangat sulit untuk tahu kapan dimulainya, mustahil (ditelusuri-red).”
Alhasil, Kunclungan hanya dianggap sebagai permainan saja oleh kebanyakan warga Desa Plana. Ia bukan kesenian. Namun, Ahmad Tohari punya pendapat lain. Ia memandang Kunclungan bukan sekadar permainan belaka, tetapi juga kesenian.
“Itu kesenian, seni karena dipilar ke dalam kurun yang cukup lama sehingga mentradisi. Itu ya boleh dong dianggap seni, seperti seni main enggrang.”
Kunclungan Menjelang Punah
Ketika Sarno kecil, Kunclungan sangat digemari masyarakat Desa Plana. Dari laki-laki sampai perempuan, anak-anak hingga orang dewasa, semua bermain Kunclungan. Kini, Kunclungan jarang dimainkan. Barangkali kini hanya para sesepuh saja yang tahu dan bisa memainkannya. Kunclungan sudah hampir punah.
Bahkan, di desa asal Ahmad Tohari, Desa Tinggar Jaya, sudah tidak ada lagi Kunclungan. “Padahal sungainya masih ada, tetapi orang main Kunclungan sudah tidak ada,” begitu kata Tohari yang juga dikenal sebagai sastrawan kenamaan Banyumas.
Lalu, Sarno menduga jika keberadaan fasilitas MCK menjadi satu penyebab hampir punahnya Kunclungan. Dulu, sebelum tiap rumah di Desa Plana ada fasilitas MCK, aktivitas seperti mandi, mencuci pakaian, sampai membuang hajat biasa dilakukan di sungai. Mereka biasa beraktivitas sembari bermain Kunclungan di sungai.
Berbeda dengan sekarang, hampir setiap rumah di Desa Plana memiliki fasilitas MCK. Bapak-bapak yang dulunya setiap hari mandi di sungai sampai ibu-ibu yang biasa mencuci pakaian di sungai, sekarang lebih memilih melakukannya di rumah.
Bahkan anak-anak sekarang dilarang bermain atau pun mandi di sungai oleh para orang tua. Takut kena penyakit kulit atau tenggelam terbawa arus.
“Akan sangat baik kalau Kunclungan hendak dihidupkan kembali.” -Ahmad Tohari-
Penyebab lain menurut Sarno, tidak ada transfer pengetahuan tentang Kunclungan seperti pelatihan atau pengenalan kebudayaan kepada kaum muda. Sarno pun merasa miris ketika ada beberapa warga setempat—terutama pemancing ikan—malah melarang permainan ini. Alasannya, jika Kunclungan dimainkan, mereka khawatir ikan-ikan akan kabur, sehingga mereka gagal memperoleh hasil pancingan.
Rustam, salah seorang warga Plana, ikutan nimbrung dalam perbincangan kami dengan Sarno. Rustam terbilang tua. Dulu, ia sering bermain Kunclungan ketika kecil.
Pada usianya yang sudah senja, ada keinginan Rustam agar kaum muda bisa sadar serta ikut berperan merawat kesenian Kunclungan. Agar Kunclungan senantiasa bisa eksis dalam perkembangan zaman, menurut Rustam, diperlukan dukungan pemerintah daerah untuk memperkenalkan kesenian ini melalui progam kerjanya.
“Seperti memasukkannya ke dalam event-event yang akan dijalankan. Bisa juga dengan memasukkannya ke dalam mata pelajaran muatan lokal. Dengan demikian generasi muda dapat mengenal kesenian ini,” begitu ujar Rustam.

Ahmad Tohari, budayawan asal Banyumas, saat ditemui di acara pergantian tahun di Cilongok (31/12/2018). Foto: Yoga Iswara Rudita Muhammad
Ahmad Tohari pun memandang perlunya upaya pelestarian kesenian Kunclungan. Salah satu caranya seperti pengadaan festival Kunclungan. Menurut Tohari, akan sangat baik kalau Kunclungan hendak dihidupkan kembali. Kunclungan menjadi penting, sebab ia merupakan tradisi yang bisa memberikan hiburan kepada masyarakat.
“Saya menganjurkan ada festival Kunclungan di desa-desa yang mungkin akan dikumpulkan, misalnya se-Kabupaten Banyumas. Satu desa diminta mengirimkan satu tim terdiri dari tiga sampai empat orang. Bisa di kolam renang. Kalau ada kali, ya di kali,” begitu tandasnya.
Editor: Emerald Magma Audha
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 36︱Maret 2019 Pada Rubrik Feature.