Oleh: Mukti Palupi
Alun-alun Purwokerto tampak jadi pembatas dua bangunan dengan gaya arsitektur yang berseberangan. Di sisi selatan, telah berdiri Rita Supermall yang menjadi simbol modernitas. Sebaliknya, di utara, bertahan sebuah kompleks bangunan megah mencolok yang berdiri kokoh dengan arsitektur Jawanya.
Bangunan itu ialah kompleks Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas dan Pendopo Si Panji yang telah dipindah secara simbolis puluhan tahun lalu, seiring dengan perpindahan pusat pemerintahan kabupaten.
Penghematan besar-besaran Pemerintah Hindia Belanda pada 1935 menjadi alasan perpindahan itu. Empat kabupaten di Jawa Tengah dihapus dari nomenklatur kewilayahan Hindia Belanda, dan kemudian diturunkan statusnya menjadi setingkat kecamatan. Keempat kabupaten itu ialah Purwokerto, Karanganyar, Kutoarjo, dan Batang. Setelah diturunkan statusnya, Purwokerto dilebur ke dalam wilayah administratif sekaligus menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Namun, banyak narasi lain yang terbangun terkait sebab-musabab pindahnya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Tiga Narasi Sebab Pindahnya Pusat Pemerintahan
Versi pertama tentang pindahnya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas datang dari masalah domestik keluarga Bupati. Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata berselisih dengan Kanjeng Pangeran Aria Gandasubrata.
Hal itu dijabarkan oleh Prof. Sugeng Priyadi, Guru Besar Ilmu Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Priyadi telah bertahun-tahun menekuni penulisan dan penelitian yang mengangkat lokalitas masyarakat Banyumas.
Ia memulai dengan berkilas balik ke zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Di Banyumas pada 1937, Bupati Sudjiman melakukan pemindahan pusat pemerintahan kabupaten dari Banyumas ke Purwokerto.
Menurut Priyadi, pemindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas dari posisi awalnya dilatarbelakangi masalah keluarga Bupati Sudjiman. Bupati Banyumas yang menjabat pada 1933—1950 itu, memiliki hubungan kurang baik dengan Gandasubrata—Bupati Banyumas pendahulunya sekaligus ayahnya sendiri.
“Aku kalau baca surat-suratnya (Gandasubrata-red) itu, Sudjiman didomeih terus nang bapake,” ujar doktor lulusan UGM itu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti, Sudjiman selalu dimarahi oleh ayahnya.
Ketidakharmonisan ini terjadi lantaran Gandasubrata menganggap Sudjiman lebih banyak mendengar ucapan Siti Subinjei sebagai istrinya ketimbang dia sebagai orangtuanya. Gandasubrata merasa tidak dianggap keberadaannya. Bahkan, hingga Gandasubrata meninggal, Sudjiman tak pulang ke Banyumas dengan dalih sedang dieksternir atau dibuang ke Jakarta.
Berbagai usaha dilakukan Sudjiman untuk dapat memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Priyadi curiga, alih-alih Sudjiman mengusir Belanda dari tanah Banyumas, ia justru malah melakukan pendekatan kepada Belanda demi merealisasikan keinginannya.
Setelah dirasa dekat dan memungkinkan, barulah Sudjiman mengutarakan keinginannya kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk bisa pindah dari Banyumas (yang kini disebut Kecamatan Banyumas) ke Purwokerto.
Kecurigaan Priyadi itu didasarkan pada persetujuan yang tetap diberikan Pemerintah Hindia Belanda. Padahal, pemindahan sebuah pusat pemerintahan bukan perihal sederhana. Dan, pemindahan pendopo juga bukan hal yang lazim dilakukan pada masa itu.
Sempat santer sebuah kabar jika krisis Malaise yang terjadi pada 1930-an melatarbelakangi perpindahan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Namun, hal itu langsung dibantah oleh Priyadi, “enggak ada, itu hanya bohong,” begitu tegasnya.
Versi kedua diutarakan Sugeng Wijono, seorang kolektor foto sejarah asal Banyumas. Ia sependapat dengan Priyadi bahwa Malaise bukanlah penyebab dipindahkannya pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Purwokerto. Alasan kronologisnya adalah ketika perpindahan terjadi, kondisi Banyumas sudah stabil, dampak Malaise sudah bisa dikatakan tidak terasa lagi.
Wijono memiliki versi lain. Ia berpendapat bahwa perpindahan itu semata-mata dilakukan Pemerintah Hindia Belanda hanya untuk memangkas sekaligus mengefisienkan anggaran.
“Karena kekurangan keuangan pemerintah yang tidak mampu membiayai pemerintahan di Hindia Belanda ini, maka tiap-tiap karesidenan dikurangi (dihilangkan-red) satu kabupaten,” jelasnya kepada wartawan Skëtsa.
Untuk pemangkasan anggaran itu, harus ada satu kabupaten di Karesidenan Banyumas yang dihilangkan. Lalu, dipilihlah Kabupaten Purwokerto untuk digabung dengan Banyumas. Di mana, saat itu juga bertepatan dengan pensiunnya Bupati Purwokerto Raden Arya Adhipati Tjokroadisurjo.
Bupati Purwokerto yang menjabat sejak tahun 1924 itu tidak memiliki keturunan. Oleh sebab itu, pada 1937, bupati Banyumaslah yang pindah ke Purwokerto untuk mengisi kekosongan kekuasaan. Dan pada saat itu juga Purwokerto dijadikan ibu kota kabupaten sekaligus ibu kota Karesidenan Banyumas. Versi terakhir dikuak oleh Aris Wahyudi melalui hasil penelitian skripsinya. Makalah penelitiannya yang berjudul “Perpindahan Pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Kota Purwokerto Tahun 1930—1937” dapat diakses di laman eprints.uny.ac.id. Saripati dari skripsi itu adalah dua alternatif versi perpindahan pusat pemerintahan kabupaten yang berbeda dari dua pendapat sejarawan sebelumnya.
Pertama, modernisasi transportasi yang terjadi pada awal abad 20 menjadi faktor pendorong utamanya. Modernisasi itu menjadikan Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan pemindahan pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas ke Purwokerto.
Dulu, sebagai ibu kota karesidenan sekaligus ibu kota kabupaten, Banyumas memiliki kedudukan yang sangat penting. Namun, kondisi geografisnya yang terpencil menjadikan Banyumas dianggap kurang berkembang.
Banyumas yang dilalui Sungai Serayu dan dikelilingi bukit membuatnya terisolasi dan lambat berkembang. Hal itu dicatat paling tidak oleh dua orang Residen Banyumas dalam memori serah jabatannya.
Residen M.J. van der Pauwert mengawalinya. Pada 1925, ia menyampaikan bahwa Sungai Serayu yang membelah Karesidenan Banyumas menyebabkan daerah itu terpencil. Jembatan penghubung di dekat Banyumas prapenggabungan hanya ada satu. Jembatan itu juga menghubungkan daerah di sepanjang Sungai Serayu saja, seperti Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purwokerto, dan Purbalingga. Sementara itu, penyeberangan sungai di tempat lain masih harus menggunakan tambang.
Selain Pauwert, Residen J.J. Helsdingen pun mendukung pernyataan itu pada 1928. Memori serah jabatannya menyatakan bila keterbelakangan Banyumas disebabkan oleh letaknya yang terpencil. Hal ini terjadi karena tidak adanya jalan penghubung antardaerah.
Yang kedua, karena kondisi perekonomian di wilayah Kabupaten Banyumas prapenggabungan yang semakin terpuruk akibat krisis ekonomi global yang terjadi pada 1930-an (Baca Laporan Utama “Malaise: Ketika Banyumas Diterpa Krisis”).
Perjalanan Panjang Menuju Pemindahan
Sebelum akhirnya dipindah, usulan mengenai pemindahan Pusat Pemerintahan Banyumas telah bergulir sejak lama. Setidaknya sudah ada empat kali pengajuan.
Ajuan pertama muncul pada 1896. Residen Mullemeister menginisiasi ide itu sebagai bagian dari usulan reorganisasinya.
Usulan reorganisasi itu mulanya dilatarbelakangi kekosongan kursi Bupati Purbalingga. Kala itu, tak ada kandidat yang tepat untuk ditunjuk. Guna mengisi kekosongan, dipilihlah salah satu dari Bupati Banyumas atau Purwokerto. Akan tetapi, harus diiringi dengan penghapusan kabupaten dari bupati yang diangkat.
Hal itu terungkap dalam catatan arsip yang ditulis Residen Banyumas W. Ch. Adrians kepada Gubernur Jawa Tengah. Namun, tulisan bertanggal 4 Februari 1933 itu belum cukup menjadi alasan yang kuat bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan kebijakan pemindahan.
Usulan dari Mullemeister itu malah dianggap akan merugikan Kabupaten Banyumas. Sebab, pusat pemerintahan yang sebelumnya masyhur tersebut dikhawatirkan menjadi terasingkan dan terisolasi.
Usulan kedua muncul tak lama setelah dibukanya jalur kereta api Cirebon-Kroya yang melewati Purwokerto. Jalur itu mulai beroperasi pada Januari 1928. Keadaan itu menjadikan Purwokerto semakin ramai, sedangkan Banyumas berangsur-angsur sepi.
Karena alasan tersebut, Direktur Urusan Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda Schippers memberi usulan untuk pembentukan satu daerah afdeeling (wilayah administratif) baru. Wilayah administratif yang setingkat kabupaten itu hendak dibangun dengan menggabungkan salah satu dari Kabupaten Banyumas atau Cilacap. Namun, Residen Banyumas M. J. van der Peuwert tidak menerima usulan itu.
Schippers tak habis akal. Pada 18 Juni 1921, ia mengirimkan suratnya yang kedua. Berbeda dengan yang ditulis sebelumnya, suratnya kali ini lebih menekankan pada penghematan pengeluaran pemerintah. Harapannya, opsi penghapusan kabupaten bisa ditempuh.
Balasan surat dari Residen M. J. van der Peuwert baru dikirim pada 16 Maret 1925. Isinya berupa penentangan. Peuwert juga meminta untuk lebih dimatangkan lagi rencana pemindahan itu.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Staatsblad tahun 1935 nomor 631 dan 632 menjadi titik terangnya. Kebijakan itu berisi tentang penghapusan Kabupaten Purwokerto yang diikuti penggabungan bekas wilayahnya ke Kabupaten Banyumas.
Boyongan Bupati, Boyongan Pendopo
Setelah melewati proses yang panjang, Residen Banyumas dan Dewan Kabupaten akhirnya sepakat untuk memindahkan pusat Pemerintahan Banyumas ke Purwokerto.
Keputusan itu menuntun ke arah digelarnya upacara perpindahan. Surat Kabar Djawa Tengah memberitakan perpindahan itu dalam artikel berjudul “Oepatjara Pemakean Kaboepaten Jang Baroe Dibikin Betoel”. Berita itu menginformasikan bahwa bupati dari Kabupaten Banyumas dan Purwokerto, Raden Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata beserta istri dan beberapa orang lainnya telah tiba di Purwokerto pada hari Rabu, 6 Januari 1937, jam 8 pagi.
Selain pindahnya Bupati ke Purwokerto, Pendopo Si Panji yang merupakan simbol pusat Pemerintahan Kabupaten Banyumas pun turut dipindah. Sudjiman yang memintanya dengan alasan banyak kayu pendopo yang keropos dan kemungkinan akan roboh dalam jangka waktu 1—2 tahun.
Alasan itu berasal dari klaim Sudjiman, bahwa pendopo telah diperiksa ahli bangunan dari Belanda. Namun nyatanya, bangunan yang berusia lebih dari 200 tahun itu tidak memiliki kerusakan ketika dibongkar.
Di Banyumas, pemindahan Pendopo Si Panji secara prosesi memang dimulai dari membongkar pendopo lama. Segala kayu atau yang jadi bahan bangunan kemudian dibawa dari Banyumas ke Purwokerto.
Ada dua pendapat besar dalam perdebatan mengenai cara pemindahan Pendopo Si Panji ini ke tempatnya yang sekarang, daerah Kantor Pemerintahan Kabupaten Banyumas di Purwokerto.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pemindahan Pendopo Si Panji dilakukan tanpa menyeberangi Sungai Serayu. Jadi, pemindahan pendopo itu harus memutar menyusuri tepi Sungai Serayu. Rutenya melalui Wonosobo terus ke utara sampai Karesidenan Pekalongan hingga berakhir di Purwokerto.
Cara ini dilakukan lantaranmasyarakat setempat memiliki keyakinan memindahkan pendopo tidak boleh sembarangan. Menurut mereka, memindahkan Pendopo Si Panji ke Purwokerto dengan menyeberangi Sungai Serayu merupakan sebuah pantangan dari leluhur.
Pendapat kedua mengatakan sebaliknya. Bahwa pemindahan Pendopo Si Panji sebenarnya tetap menyeberangi Sungai Serayu. Jembatan permanen yang sudah tersedia pada 1937 menjadi bukti penguatnya. Jembatan itu merupakan akses langsung menuju Purwokerto.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Priyadi. Menurutnya, tidak dibolehkannya pemindahan Pendopo Si Panji melewati Sungai Serayu kemungkinan besar atas perintah dari Gandasubrata. Ia berusaha menghalangi perpindahan itu. Pasalnya, Gandasubrata ini memang tidak mengingin tetap dengan melewati dan menyeberanginya.
“Saksi mata menyatakan bahwa semua bagian bangunan Pendopo Si Panji diboyong melalui jembatan Sungai Serayu,” begitu ujarnya.
Di Hindia Belanda saat itu belum terdapat truk. Kemungkinan besar pemindahan Pendopo Si Panji hanya menggunakan dokar atau pedati sapi. Akan membutuhkan waktu yang sangat lama apabila pemindahan itu dilakukan dengan mengitari Sungai Serayu.
Selain Pendopo, seperangkat simbol-simbol kerajaan pun terkena imbas dari pemindahan itu. “Jadi kalau kerajaan pindah maka simbol pusaka-pusaka juga ikut pindah.” Ungkap Priyadi.
Distrik Banyumas Pascaperpindahan
Praperpindahan, Distrik Banyumas menjadi wilayah yang amat penting karena statusnya sebagai pusat pemerintahan. Kondisi itu berbalik usai dipindahkannya pusat Pemerintahan Banyumas ke Purwokerto. Daerah itu perlahan kehilangan hiruk-pikuknya
Staatsblad nomor 343 tahun 1937 yang mulai berlaku pada 1 Juni 1937 menandai awal keadaan itu. Peraturan itu memuat secara sah bahwa Kota Banyumas tak lagi berstatus sebagai ibu kota kabupaten maupun ibu kota karesidenan. Melainkan hanya sebagai distrik dan Ibu kota Kecamatan Banyumas di bawah Pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Kantor residen menjadi kantor pemerintahan terakhir yang masih aktif di Kecamatan Banyumas kala itu. Residen Banyumas H.G.F. van Huls masih menempati gedung lamanya sebelum gedung karesidenan yang baru di Purwokerto selesai dibangun.
Bekas kompleks kantor pemerintahan kabupaten yang lama dijadikan kantor kecamatan. Kompleks kantor pemerintahan itu tak banyak berubah. Yang berbeda hanya pendopo Si Panji yang diganti dengan pendopo duplikatnya yang dibangun tahun 1977.
Menyadari hal tersebut, Priyadi merasa miris, “Jane lucu yah, di tempat yang asli (Kecamatan Banyumas-red), pendoponya palsu,” begitu katanya.
Dipindahkannya pusat pemerintahan membuat Kecamatan Banyumas seolah tidak lagi memiliki arti penting bagi Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini berakibat pada semakin terpuruknya perekonomian di wilayah ini. Kantor-kantor perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta turut berpindah ke Purwokerto yang dianggap memiliki prospek perekonomian lebih baik.
Reporter: Yoga Iswara Rudita Muhammad, Mukti Palupi, Muhammad Muflih Rizqullah, Aziz Dwi Apriyanto, Widya Marsepti Harista, dan Fahry Ammar Maulidian.
Editor: Emerald Magma Audha dan Yoga Iswara R.M.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat ulang dari Majalah Sketsa Edisi 36︱Maret 2019 Pada Rubrik Laporan Khusus.